Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jakarta, Jubi – Satu per satu peserta diskusi–membahas perkembangan kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan–memasuki ruangan jumpa pers di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Selasa (31/10/2017) sore.
Ketua KPK Agus Rahardjo duduk di tengah, di antara mantan pimpinan KPK, Abraham Samad dan Busyro Muqoddas. Di sisi kanan Samad duduk mantan Wakil Ketua KPK M Jasin, yang kini menjabat Inspektur Jenderal Kementerian Agama.
Di sisi kiri Busyro, duduk Najwa Shihab dan mantan peneliti utama bidang politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Mochtar Pabotinggi.
Di belakang Agus Rahardjo, ada Direktur Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid, mantan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, serta mantan Koordinator Kontras Haris Azhar Haris Azhar.
Kemudian Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Dadang Trisasongko, Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak, dan Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur.
Diskusi berlangsung alot. Setidaknya tiga jam waktu yang mereka habiskan untuk membahas penuntasan kasus penyerangan ke Novel, salah satu penyidik senior KPK.
Najwa sedikit menggambarkan diskusi yang juga dihadiri Wakil Ketua KPK Laode M Syarif dan Basaria Panjaitan. Namun, Syarif tak mengikuti diskusi hingga akhir karena ada kegiatan lain.
Rapat diawali dengan perdebatan keras. Terutama Dahnil yang menurut Najwa sangat 'galak' di forum tersebut. Setelahnya diskusi berlangsung cair dan menghasilkan dua kesepakatan bersama.
Pertama, kata Najwa, peserta diskusi sepakat bahwa serangan terhadap Novel bukan sekadar serangan pribadi, melainkan serangan yang ditujukan kepada semua pihak yang tak mau tinggal diam melihat korupsi merajalela.
Kemudian yang kedua, semua juga sepakat bahwa kasus penyerangan Novel yang ditangani jajaran kepolisian terbilang lamban. Pasalnya, sudah lebih dari 200 hari pasca-penyerangan, polisi belum juga berhasil mengungkap pelaku penyerangan.
Abraham Samad menambahkan, diskusi itu menyepakati bahwa solusi untuk mengungkap kasus penyerangan Novel ini adalah dengan membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF).
Meski pada diskusi sudah lahir dua kesimpulan, salah satunya mendorong pembentukan TGPF kasus Novel, Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan pihaknya belum bisa mengambil keputusan. Alasannya, saat diskusi pimpinan KPK tak lengkap, sehingga perlu dibahas kembali oleh para pimpinan.
"Pimpinan KPK collective collegial, hasilnya akan tanya pimpinan yang lain. Seandainya pimpinan lain setuju bisa saja usulkan ke presiden untuk bentuk TGPF," ujar Agus.
Agus menuturkan, pembentukan TGPF untuk mengungkap kasus penyerangan Novel sebelumnya sudah dibahas antar pimpinan KPK dengan mempertimbangkan TGPF kasus lain. Dimana ditemukan, TGPF kasus lain tersebut menghasilkan hal-hal yang tak begitu signifikan.
Sejauh ini, kata Agus, pihaknya baru dua kali bertemu secara formal dengan Tito dan jajarannya dalam penyelesaian kasus penyiraman air keras ke Novel.
Belakangan, pihak kepolisian mengajak jajaran KPK bergabung dalam tim khusus untuk ikut mengusut kasus tersebut.
Namun, menurut Agus, usulan itu tak disepakati jajarannya dan mereka tak mau masuk dalam tim gabungan yang ditawarkan Tito.
Politis
Sementara itu, Bambang Widjojanto menilai tak kunjung ditemukannya pelaku penyerangan Novel lantaran ada hambatan politis, baik di dalam maupun di luar Polri. Menurutnya, secara teknis, Korps Bhayangkara sebenarnya bisa mengungkap kasus penyerangan ini dengan cepat.
"Dalam pandangan kami ini bukan masalah teknis, ini masalah politis. Kalau soal teknis teman-teman kepolisian hebatlah, tapi jangan-jangan ada hambatan politis, ini yang kita lacak," kata dia.
Novel sendiri saat ini masih menjalani perawatan di Singapura. Dia tengah menunggu operasi kedua untuk mata kirinya, yang mengalami kerusakan paling parah akibat siraman air keras oleh orang tak dikenal.
Jokowi pun sempat memanggil Tito, meminta penjelasan penanganan kasus Novel, pada akhir Juli lalu. Namun, hingga hari ini, pengusutan yang dilakukan jajaran kepolisian belum menghasilkan perkembangan yang signifikan.
Kabagpenum Divhumas Mabes Polri, Kombes Pol Martinus Sitompul mengatakan, untuk memecahkan masalah ini, pihaknya masih kekurangan sejumlah saksi yang mengetahui atau melihat kejadian penyiraman air keras terhadap Novel.
"Kan sama-sama penyidik tahu kesulitan-kesulitan teknis dalam mengungkap suatu perkara minimnya saksi, saksi dalam arti yang bisa memilih minimnya upaya alat-alat bukti yang menjadi dasar untuk menangkap, memproses menahan, memproses orang itu kan harus terpenuhi," katanya di Kompleks Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis (2/11/2017).
Katanya Polri tidak ingin tergesa-gesa untuk mengusut kasus ini karena dengan minimnya saksi yang mengetahui kejadian tersebut serta tak mempunyai alat bukti yang lengkap. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari salah melakukan penangkapan terhadap seseorang yang tak bersalah. (*)
Sumber: CNN Indonesia/Merdeka.com