Kasih sayang itu tetap menyala di pekat hutan Nduga

Ilustrasi. Pixabay.com/Jubi

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayawijaya, Jubi – Delapan bulan telah berlalu. Sejak kejadian penembakan karyawan PT. Istaka Karya di Yigi, Kabupaten Nduga 2 Desember 2018 silam, dampaknya meninggalkan luka yang dalam bagi masyarakat. Luka lahir dan batin.

Read More

Tak sedikit masyarakat sipil yang tidak bersalah menjadi korban, baik nyawa, terkena luka tembak, sakit akibat mengungsi berbulan-bulan. Banyak jiwa yang terguncang oleh trauma.

Itu juga yang dirasakan seorang warga, perempuan berusia 21 tahun. Semenjak awal kejadian di Desember 2018, mula-mula ia memilih bertahan di kampungnya di distrik Mugi, Nduga, Papua.

Dia punya enam anak. Satu masih di dalam perutnya. Saat itu dia sedang hamil sekitar dua bulan. Ketika penyerangan atau penyisiran hingga ke distrik Mugi, dia pun memilih mengungsi.

“Suami saya mengungsi duluan membawa dua orang anak kami untuk mencari tempat aman,” katanya kepada Jubi di tempat pengungsiannya saat  ini,  di salah satu tempat di Jayawijaya, Sabtu (3/8/2019).

Setelah konflik menyambar tempat tinggalnya, ia pun memilih pergi dengan membawa tiga orang anaknya plus satu janin ke dalam hutan sejak Januari 2019.

Waktu itu, ia bersama keluarganya mendengar tembakan dan pembakaran Honai di kanan kiri rumah mereka. Ketakutan, ia dan anaknya memilih mengungsi.

Sesampainya di hutan , ia bersama masyarakat lainya dan juga keluarganya memanfaatkan apa yang ada di hutan untuk bertahan hidup.“Kadang kita makan daun-daun saja, atau apa saja yang bisa buat makan untuk bertahan hidup,” katanya.

Hampir enam bulan lamanya dia bertahan hidup  hutan. Dia tidak mengetahui jika akan melahirkan. Suatu hari dia mengalami pendarahan dan memilih untuk beristirahat, barulah di malam harinya ia melahirkan seorang anak laki-laki. Tanpa pertolongan dari siapa pun.

“Proses melahirkan di bawah pohon besar dan saya sendirian tidak ada yang tolong. Setelah itu baru keluarga yang lain datang,” katanya.

Sebelum melahirkan, posisi janin dalam perutnya itu diduga melintang. Dia menduga itu akibat kondisinya yang harus berjalan kaki jauh ke hutan saat mengungsi.

“Yang saya tahu anak ini meninggal dalam perut, lalu saya berusaha sendiri tekan perut saya tapi ternyata setelah lahir dia masih hidup, itu semua berkat pertolongan Tuhan,” ujar dia.

Setelah melahirkan, ia menggunakan daun sejenis daun paku untuk membungkus tubuh anaknya. Berhari hari ia lakukan seperti itu karena tidak ada pakaian. Di samping ia mengandalkan api unggun agar buah hatinya itu selalu hangat. Dia terus mendekapnya di tengah kondisi cuaca yang sangat dingin.

Setelah melahirkan, dia terus melanjutkan perjalanan dan di Juni 2019 lalu ia tiba di rumah keluarganya di suatu tempat di Jayawijaya. Di sana kini mereka untuk tinggal.

Saat Jubi menemuinya, hingga kini anaknya itu masih belum berpakaian. Ia mengaku jika hingga kini mereka belum mau menerima bantuan dari pemerintah. Karena bantuan itu diberikan lewat TNI, sedangkan dia masih trauma melihat tentara.

“Saya lihat langsung depan mata saya tentara tembak keluarga saya, makanya saya takut sekali sama tentara. Masyarakat yang lain mereka langsung lari, tapi saya saksi depan mata melihat langsung, saya trauma dengan bunyi tembakan itu,” ucapnya.

Kini, ia hanya mengandalkan Air Susu Ibu (ASI) untuk memberi makan bayinya itu. Walau kadang ASInya tidak sepenuhnya lancar.

Perempuan lainnya yang lebih dulu mengungsi menambahkan, ia memilih pergi dari kampungnya bersama tiga keluarga lainya, karena tentara telah masuk ke perkampungan mereka.

“Kami memilih tidur di dalam gua, tidak ada tenda atau apa untuk berlindung. Setelah situasi sedikit aman, barulah kami membuat hunian dari kayu dan daun-daun di hutan,” katanya.

Untuk makan sehari-hari, mereka hanya mengandalkan dedaunan yang sekiranya bisa dimakan dan dijadikan sayur.

Jubi juga menemui satu perempuan yang juga hamil dan melahirkan anak kedelapannya di pengungsian. “Anak saya perempuan, lahir di pengungsian, ” tuturnya.

Setiap harinya ia menyaksikan baku tembak antara TPNPB dan aparat TNI. Mereka juga hanya mengandalkan apa yang ada di hutan untuk bertahan hidup.

“Di saat saya sudah merasa lelah berjalan dan berlari untuk menghindari konflik, sempat berpikir yang penting anak saya selamat biar saya tertembak tidak masalah,” kisahnya. (*)

Editor: Syam Terrajana

Related posts

Leave a Reply