Oleh: Frianapatri Meilaine Osok
Alkisah pada suatu pagi, seorang bapak dengan dua ekor anjingnya pergi berburu ke Tanjung Saoka dan Kasuari. Sepanjang hari dia dan dua ekor anjingnya mencari hewan buruan ke dalam hutan.
Menjelang sore, menggonggonglah anjing-anjing ini karena mencium sesuatu. Keduanya berlari kencang dan menerjang seekor lau-lau (Dorcopsis veterum atau kangguru papua) yang hendak menyelamatkan diri.
Gonggongan itu membuat tuannya terkejut. Dengan segera ia mengangkat tombak dan melempar ke arah lau-lau yang diterjang anjing-anjingnya. Tombak menancap tepat di leher lau-lau itu. Mereka berhasil membunuh buruan.
Akhirnya, bersiap-siaplah bapak ini dan kedua anjingnya kembali ke rumah.
Sementara bersiap, berpikirlah bapak ini sambil melihat ke sekeliling hutan, tempat dia dan kedua anjingnya berdiri.
”Lau-lau ini berat, bagaimana caranya aku membawanya pulang?” katanya.
Setelah berpikir cukup lama, dia kemudian mendapat ide untuk mengangkut lau-lau tersebut dengan sebatang bambu. Bapak itu lalu berbicara dengan anjingnya, “Wombik, kalian berdua tunggu di sini dan jaga hasil buruan kita, ya! Aku mau pergi mencari bambu supaya lau-lau ini bisa kita bawa pulang. Kalian tunggu sampai aku kembali ya!”
Suara gonggongan kedua anjing yang bernama wombik, seolah menyetujui perintah tuannya.
Sebelum pergi, bapak itu mengangkut lau-lau lalu menggantungnya pada sebatang pohon. Ia menuju ke tempat dimana bambu tumbuh dan memotong sebatang bambu untuk mengangkut lau-lau hasil buruannya.
Kedua anjing yang menunggu tuannya melemparkan pandangan dengan rasa lapar kepada lau-lau yang digantung itu. Seekor anjing itu bertanya, “Sebentar, kalau kita punya tuan ini bagi lau-lau ni, kitong dua nanti dapat e?”
“Kita dapat dia punya daging to,” jawab anjing yang satunya.
“Ah trada, paling nanti tuan bilang kitong dapat dia pu tali perut kapa dengan dia pu kaki-kaki dan tulang-tulang itu,” balas anjing yang lain.
Ketika dua anjing itu asyik bercakap-cakap, mereka tidak menyadari bahwa tuannya sedang menuju ke tempat mereka berdiri. Sang tuan pun terkejut mendengar suara orang yang sedang berbincang-bincang. Dia berhenti sebentar dan bersembunyi di balik sebatang pohon, lalu memeriksa sekelilingnya kira-kira siapa yang sedang berbincang-bincang.
Dia mengintip, tetapi tidak melihat seorang pun di sana, kecuali dua anjing miliknya yang berdiri di bawah pohon sedang menjaga lau-lau miliknya.
Dia mengintip sekali lagi dengan saksama. Betapa terkejutnya ia, ternyata suara bincang-bincang itu adalah kedua anjingnya. Tanpa menunggu lama, bapak itu melangkah dengan cepat dan muncul di depan kedua anjing tersebut.
Sang wombik yang tidak menyadari kehadiran tuannya itu, tiba-tiba berubah bentuk menjadi sesosok hantu ketika merasa ada orang asing di situ yang menyadari mereka bisa bersuara seperti manusia. Dengan rasa takut luar biasa, sang bapak lari meninggalkan tombak dan lau-lau hasil buruannya, dan menuju permukiman penduduk di tepi pantai dan berteriak, “Kasas, kasas wombik, kasaaasss, kasaaaaasss wombik!!”
Kedua anjing yang telah berubah bentuk menjadi hantu itu terbang mengejar bapak itu sampai ke tepi pantai. Setelah tiba di permukiman warga, kebingunganlah bapak itu mencari rumah untuk bersembunyi. Dia bercerita perihal kedua anjingnya kepada warga di situ, lalu bersembunyi di salah satu rumah warga di tepi pantai Tanjung Kasuari.
Selama bapak itu bersembunyi, semua warga mencari cara untuk menangkap hantu terbang jelmaan kedua anjing itu. Selama berhari-hari warga mencoba untuk menangkap wombik tetapi mereka tidak berhasil.
Perjuangan warga ini ternyata dilihat oleh seekor burung. Selama percobaan membunuh wombik, burung ini memperhatikan, sampai akhirnya dia menemukan kelemahan kedua anjing tersebut.
Akhirnya, terjadilah pertarungan antara wombik dan burung itu yang dibantu warga. Warga mengambil tombak hendak melukai wombik, tetapi wombik terbang dan melompat dari satu batu ke batu yang lain. Wombik masih bisa menyelamatkan diri. Burung yang melihat pergerakan wombik, mengambil daun dari tumbuhan kiwuru lalu menggosoknya ke batu tempat pijakan wombik.
Wombik yang tidak mengetahui perbuatan burung itu lalu hinggap pada batu yang telah digosok dengan daun kiwuru. Kaki anjing-anjing jelmaan itu tidak bisa bertumpu pada batu karena licin, dan mereka pun terjatuh.
Pada saat jatuh itulah, menjadi kemalangan buat anjing-anjing jelmaan itu. Mereka akhirnya mati karena tertimbun batu yang berjatuhan pada tubuh mereka saat tak berdaya.
Wombik pun tiada meninggalkan jasadnya. Burung itu mengambil darah wombik dan menggosok darah tersebut pada dadanya hingga berwarna merah, sebagai tanda dia telah berhasil membantu membebaskan warga dari teror kasas wombik.
Warna merah pada dada burung itu masih dapat ditemukan sampai hari ini. Suku Moi menamakan burung tersebut keln tosara atau burung berdada merah.
Sementara itu, kisah wombik ini masih diingat karena diceritakan turun-temurun oleh suku Moi dalam sebuah lagu berjudul Kasas Wombik, yang diciptakan bapak Barend Malibela.
“Wombik, wombik, wombik o…
Dungka lagi kasas wombik, wombik o…
Tamo, tamo, tamo Tawo, tawo, tawo,
Nama mili yo nurun miliyo Aufoto wusu se migi yo. Se migi yo.” (*)
Penulis adalah pengajar Sekolah Cinta Kasih Kota Sorong dan pendiri rumah baca Keik Tsinagi. Cerita ditulis berdasarkan penuturan sumber cerita, Bapak Otto Maros Osok dan Welem Osok. Cerita ini terpilih sebagai pemenang juara 2 lomba cerita rakyat dalam rangka HUT 18 Jubi