Papua No.1 News Portal | Jubi
Oleh Moses Sakai
Papua Nugini telah membentuk sebuah komisi untuk melawan korupsi. Sekarang, negara ini perlu melakukan hal yang sama dalam hal melindungi HAM masyarakatnya.
Korupsi adalah salah satu masalah paling besar di Papua Nugini, menurut Transparency International PNG. Pada tahun 2020, pemerintah nasional berhasil membentuk sebuah Komisi Independen Anti Korupsi (Independent Commission Against Corruption/ ICAC) untuk melindungi sistem pemerintah dan menyediakan mekanisme pelaporan dan pengaduan bagi pelapor dan informan. Meskipun ICAC belum dapat bekerja sepenuhnya tahun ini, dan akan perlu ‘waktu lebih lama’ sebelum komisi itu bisa mulai menangani kasus apa pun, ini merupakan langkah maju yang positif.
Tetapi bagaimana dengan persoalan HAM lainnya? Dalam 45 tahun sejak mencapai kemerdekaan, negara ini telah melewati isu terkait HAM yang tak terkira. Selain korupsi, ini termasuk persoalan ekonomi, kekerasan berbasis gender, kekerasan aparat, tuduhan sihir dan kekerasan terkait tuduhan sihir, kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh industri ekstraktif, ketaksetaraan dan ketimpangan, serta masih banyak lagi.
Bagaimana PNG dapat menyelesaikan tantangan-tantangan seperti itu? Mengingat laporan dan rekomendasi dari organisasi-organisasi internasional seperti Human Rights Watch, Amnesty International serta PBB, PNG perlu membentuk sebuah lembaga yang dapat mengatasi masalah-masalah tersebut.
PNG pertama kali mengusulkan pembentukan ‘Komisi Nasional HAM’ (National Human Rights Commission/ NHRC) pada Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia pada tahun 1993. Usulan tersebut lalu secara resmi disahkan oleh Dewan Eksekutif Nasional (kabinet PNG) dua kali, pada tahun 1997 dan 2007, dan perundang-undangan itu disusun pada 2008. Pada 2011, PNG berkomitmen dalam putaran pertama Peninjauan Berkala Universal (Universal Periodic Review/ UPR) kepada Dewan Hak Asasi Manusia PBB bahwa sebuah NHRC akan dibentuk. Namun hingga saat ini belum ada indikasi yang jelas dari pemerintah mengenai kapan hal ini akan benar-benar terjadi.
Almarhum Sir Michael Somare merupakan seorang pejuang pembela HAM. Pada 1965, dia termasuk di antara 13 pelajar muda dari sekolah tinggi Administrative College di Port Moresby yang berjuang untuk merdeka dan berdaulat, dan upah yang setara antara pegawai negeri berkulit hitam dan putih. Menurut Don Woolford, penulis buku ‘Papua New Guinea: Initiation and Independence’, kelompok pelajar tersebut terkenal dengan sebutan ‘Komite Tiga Belas’, atau sebagai ‘tiga belas pemuda geram’, yang memperjuangkan apa yang mereka rasa adalah benar.
HAM bukanlah konsep yang baru dalam sejarah politik PNG, itu sudah ada sebelum kemerdekaan, menurut direktur Transparency International PNG, Richard Kassman. Ketika 13 pemuda yang dongkol dari sekolah tinggi tadi pada tahun 1965 kemudian menjadi pendiri PNG, mereka mendasarkan konstitusi pada lima tujuan dan pedoman nasional, National Goals and Directive Principles (NGDP), yang lalu mendiktekan basis dari HAM, kebijakan, dan penyusunan hukum di PNG.
Intinya, kelima NGDP ini juga telah menentukan prinsip-prinsip demokrasi, tata kelola pemerintah yang baik, dan supremasi hukum. Pengacara HAM Carolyn Graydon menggambarkan konstitusi PNG sebagai ‘salah satu konstitusi yang terbaik di dunia dalam hal penegakan HAM’.
Krisis Bougainville tahun 1988-89 adalah salah satu krisis HAM terbesar dalam sejarah pasca kemerdekaan PNG, dan mungkin di seluruh Pasifik. Dampak dari perang saudara itu menempatkan PNG dalam situasi yang lebih berat, baik secara sosial, politik, maupun ekonomi.
Namun terlepas dari prevalensi persoalan HAM dan pelanggarannya selama 45 tahun terakhir, PNG telah meratifikasi enam perjanjian HAM internasional sejak 2008 untuk memastikan perlindungan dan pemajuan HAM, bersama dengan Deklarasi Universal HAM tahun 1948.
Meski bukan anggota resmi Dewan HAM PBB, PNG bahkan bisa mendukung sebuah resolusi tahun 2009 tentang HAM dan Perubahan Iklim. Ini menunjukkan bahwa PNG masih serius dalam penanganan masalah HAM di dalam negeri dan di tingkat global.
Meskipun PNG adalah negara yang lemah-stabil, yang seringkali mengalami ketakstabilan politik, dengan ekonomi yang bergantung pada industri ekstraktif dan sumber daya dan kapasitas yang terbatas untuk memenuhi standar internasional, demokrasi PNG sendiri sudah bertahan selama beberapa dekade. Negara ini masih dapat berbuat lebih baik di bidang pemajuan dan perlindungan HAM, dan di bidang-bidang pembangunan lainnya juga.
Sekarang saatnya bagi PNG untuk benar-benar mempertimbangkan kembali pendiriannya dalam membentuk sebuah komnas HAM. Pembentukan ICAC saja telah memakan waktu lebih dari dua dekade sejak usulan tersebut pertama kali diperkenalkan pada tahun 1998. Namun pada akhirnya, proposal itu menerima dukungan parlemen dengan suara 96-0 – pencapaian yang luar biasa dalam sejarah.
Dalam pidatonya di Lowy Institute pada Juli 2019, dua bulan setelah dia memegang jabatan puncak itu, Perdana Menteri PNG James Marape berkata:
Buku PNG yang sebelumnya adalah milik 44 tahun terakhir dan dipenuhi dengan bab-bab dimana hanya ada sedikit keberhasilan dan lebih banyak kegagalan, dan itu adalah sejarah dan kisah mereka. Dan kita berharap akan dapat memulai buku baru kami selama 44 tahun ke depan, dari pelajaran yang dipetik di buku pertama.
ICAC telah menjadi salah satu bab di buku baru ini. Sekarang NHRC harus menjadi bab lainnya untuk 44 tahun ke depan. (The Interpreter)
Moses Sakai adalah seorang tutor di Sekolah Bisnis dan Kebijakan Publik, Universitas Papua Nugini.
Editor: Kristianto Galuwo