Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Kementerian Perhubungan (Kemenhub) akhirnya teken perjanjian kerja sama dengan lima pemerintah daerah (pemda) di Indonesia, tempat isolasi terpusat (isoter) pasien Covid-19 dengan menggunakan kapal Pelni.
Kelima pemda tersebut, yakni Pemerintah Kota Bitung dan Pemerintah Kabupaten Minahasa Utara (Sulawesi Utara), Pemerintah Kota Medan (Sumatera Utara), Pemerintah Kota Sorong (Papua Barat), dan Pemerintah Kota Jayapura (Papua).
Disediakan empat kapal motor (KM) dengan kapasitas ribuan tempat tidur (bed) yang akan ditempati para pasien Covid-19 dan juga tenaga kesehatan (nakes) yang merawat para pasien.
Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi menjelaskan, kapal isoter ini dapat menjadi alternatif ruang isolasi bagi para pasien Covid-19 tanpa gejala sehingga mempercepat kesembuhan dibandingkan dengan melakukan isolasi mandiri di rumah.
Selain itu, dengan isolasi di kapal, diharapkan dapat membatasi ruang gerak penyebaran Covid -19 karena mobilitas pasien hanya dilakukan di atas kapal.
“Upaya penyediaan kapal isoter ini merupakan bentuk komitmen dukungan kami, sejalan dengan arahan bapak Presiden yang meminta kementerian dan lembaga untuk bersama-sama membantu mempercepat penanganan Covid-19 di Indonesia,” jelas Menhub dalam keterangan resmi, Kamis (12/8/2021).
Melalui perjanjian kerja sama di lima daerah tersebut, akan disediakan empat kapal isoter, yaitu: KM Tatamailau dengan kapasitas 458 bed (448 bed untuk pasien dan 10 bed untuk nakes). ditempatkan di Pelabuhan Bitung untuk melayani warga Kota Bitung dan Kabupaten Minahasa Utara.
KM Bukit Raya dengan kapasitas 463 bed (450 bed untuk pasien dan 13 bed untuk nakes). Ditempatkan di Pelabuhan Belawan untuk melayani masyarakat Kota Medan.
KM Sirimau dengan kapasitas 460 bed (449 bed untuk pasien dan 11 bed untuk nakes), yang akan ditempatkan di Pelabuhan Sorong untuk melayani masyarakat Kota Sorong.
KM Tidar dengan kapasitas 929 bed (873 bed untuk pasien dan 56 bed untuk nakes), di Pelabuhan Jayapura untuk melayani masyarakat Kota Jayapura.
Jauh sebelum pandemi, kapal-kapal berkapasitas besar untuk penumpang, sudah punya banyak cerita. Dari cinta sampai tragika terjadi di sana. Di Papua, umumnya kapal-kapal itu disebut sebagai kapal putih.
Di Boven Digul yang dijadikan kamp interniran bagi tahanan politik pada masa Belanda, bunyi suling kapal putih begitu dirindu dan dinanti. bukan hanya bagi orang buangan. Tapi juga kumpeni-kumpeni yang menjaga kamp konsentrasi itu.Kapal putih yang sebenarnya punya nama Fomalhout itu, begitu dinanti, karena menjadi satu-satunya penghubung dari peradaban luar.
Kapal putih menyambangi Digul sebanyak 8- 12 kali dalam setahun. “Mereka mendengar desah air sepanjang sungai yang menuju ke utara.apabila kemudian di kejauhan terdengar bunti suloing kapal, maka melonjaklah kami karena kegirangan,” tulis Chalid Salim, adik tokoh pergerakan nasional Agus Salim dalam “Lima Belas Tahun Digul”. Chalid pernah merasai jadi orang buangan di sana.
Sekitar tiga hari, kapal putih sandar di Tanah Merah. Jika kapal datang di malam hari,orang-orang berdiri di tepi sungai untuk menikmati terang benderangnya lampu-lampu kapal.
Kapal putih membawa surat-surat dari orang dekat dan tercinta. Kehadiran kapal putih itu juga menarik perhatian orang asli Papua. Di sanalah terjadi interaksi.
Para opsir kapal juga gembira. Turun ke darat, main bola,pancing ikan, pesta-pesta.
“Selain surat, koran-koran yang memberi tahu kabar dari luar juga sangat dinantikan orang-orang buangan. Uniknya koran-koran dibaca menurut waktu yang terbalik . Mereka membaca koran terbaru kemudian koran hari-hari sebelumnya. Dan untuk mengetahui berita selanjutnya,mereka harus menunggu kapal putih berikutnya yang datang satu bulan hingga satu setengah bulan kemudian,” tulis Andri Setiawan lewat artikel “Digulis Menanti Kapal Putih” di laman berita sejarah historia.id, 1 April 2020.
Beberapa Digulis juga memanfaatkan kedatangan kapal putih untuk menyelundupkan surat yang isinya dilarang pemerintah kolonial. Surat itu biasanya dikirim kawan -kawan politik dan partai politik, dengan bantuan para kelasi kapal.
Mohammad Hatta, wakil presiden Ri pertama yang juga pernah jadi Digulis, juga turut memanfaatkan kapal putih untuk mengirimkan karya tulisnya ke surat-surat kabar di Jawa. (*)
Editor: Angela Flassy