Kampanye referendum kubu anti-kemerdekaan Kaledonia Baru dituduh rasis

Serangkaian animasi yang disiarkan melalui televisi dan secara daring telah dituduh sebagai rasis. - Youtube

Papua No.1 News Portal | Jubi

 

Oleh Helen Fraser

Sebuah kartun yang berupaya meyakinkan warga Kaledonia Baru yang memenuhi syarat untuk memilih ‘ya’ agar wilayah itu tidak merdeka dari Prancis dalam referendum ketiga dan terakhir pekan ini telah dituduh sebagai rasis dan merupakan penghinaan yang mendalam terhadap orang-orang Kepulauan Pasifik, terutama orang-orang pribumi Kanak, menurut sebuah tuntutan hukum yang diajukan ke badan peradilan tertinggi Prancis.

Sebuah petisi mendesak telah diajukan akan penyiaran animasi itu, yang telah disiarkan di televisi di Kaledonia Baru dan secara daring, ke dewan Council of State di Prancis.

Cuplikan kartun tersebut diprakarsai oleh Le Voix du Non – sebuah kelompok yang terdiri dari berbagai parpol anti-kemerdekaan – dengan pesan-pesan seperti masa depan paspor mereka, lingkungan, pendidikan, kesehatan, dan anggaran jika Kaledonia Baru memilih merdeka dari Prancis.

Pihak ini telah dituduh menggambarkan orang-orang yang tidak berkulit putih dengan cara yang merendahkan martabat dan menghina, menampilkan mereka sebagai orang-orang yang tidak menguasai bahasa Prancis dengan benar dan menggunakan aksen “yang mengindikasikan derajat mereka sebagai orang yang primitif dan tidak berpendidikan,” menurut tuntutan hukum yang tebalnya 12 halaman itu.

Pengajuan gerakan pro-kemerdekaan FLNKS, dan partai netral yang bernama Lets Build serta seorang individu, Lueisi Waupanga yang merupakan anggota komunitas Polinesia, kepada Council of State (COS) dilakukan setelah mereka mendesak hal yang sama ke Audiovisual High Council (CSA) untuk menghentikan siaran bermasalah itu namun terus ditolak.

Pengajuan banding legal itu ditandatangani oleh empat warga negara Kaledonia Baru, termasuk Profesor Mathias Chauchat, seorang profesor hukum di Universitas Kaledonia Baru. Mereka berpendapat bahwa animasi kontroversial tersebut bertentangan dengan peraturan CSA terkait penyiaran, dan rasis, merendahkan martabat, dan menghina.

“Apakah ini cara kalian melihat kami setelah 30 tahun?” tuntut Waupang dalam permohonannya. “Petani ubi dan singkok yang dungu, tidak mampu berpikir sendiri, secara umum kami tidak mampu berbuat apa-apa?”

Petisi yang sampai ke meja COS menuduh bahwa animasi itu menggambarkan hierarki dalam hal ras, dimana masyarakat dengan ras campuran (disebuts Caldoches, umumnya berdarah Eropa), kemudian orang-orang Kepulauan Pasifik, dan yang terbawah adalah orang-orang Kanak. Karakter non-Kanak yang otoritatif dalam iklan kampanye animasi itu memperingatkan bahwa kemerdekaan akan menghentikan layanan dasar seperti kesehatan, pendidikan, dan polisi, sambil berbicara dengan bahasa Prancis dengan aksen bagai orang yang berpendidikan, sedangkan karakter pro-kemerdekaan berbicara dengan suara khas, layaknya suara anak-anak.

Philippe Wakaine adalah seorang pensiunan pegawai negeri. Ia percaya bahwa animasi itu, yang sudah mulai ditayangkan sejak 29 November lalu, “benar-benar menghina, cara-cara mereka menggambarkan orang-orang Kanak, Caldoches, dan Kepulauan Pasifik, terutama melalui aksen mereka. Mereka mengolok-olok kami.”

Menanggapi desakan agar animasinya dibatalkan dan dihentikan dari mengudara, direktur kampanye Les Voix Du Non, Christopher Gygés, menerangkan pandangannya bahwa “tidak ada komunitas tertentu yang menjadi sasaran”. Kepada France.tv di Nouméa ia menerangkan bahwa tujuannya adalah “untuk menyampaikan hal-hal yang pelik dengan cara yang sederhana melalui penggunaan bahasa sehari-hari dari semua komunitas”.

Menanggapi pertanyaan dari Guardian, Le Voix Du Non telah meneruskan rekaman wawancara langsung yang dilakukan Gygés dengan Radio Rythme Bleu (RRB), dimana Gygés mengungkapkan kekagetannya atas reaksi tersebut.

“Kami ingin meyakinkan mereka (pemilih) yang mungkin masih berpikir untuk abstain, kami ingin menyampaikan sebuah pesan yang sangat serius tanpa menggunakan cara yang terlalu serius. Menurut saya orang-orang yang pro-kemerdekaan itu tidak punya selera humor… sebenarnya yang membuat mereka kesal adalah pesan yang terkandung didalamnya. Agar dapat membenarkan keputusan mereka untuk tidak berpartisipasi dalam referendum besok, mereka terus menemukan kesalahan di mana pun.”

Ditanya tentang perdebatan yang disebabkan oleh kartun itu, Gygés mengatakan dia “sangat terkejut” and lalu menekankan bahwa itu “sama sekali tidak mengandung rasisme.”

“Yang kami lakukan ini tidak terlalu berlebihan … Sekarang saya jadi khawatir akan masyarakat yang tidak memiliki selera humor.”

Referendum Minggu (12/12/21) ini akan menjadi plebisit ketiga dan terakhir wilayah itu untuk menentukan nasib politik mereka, dimana dukungan pemilih yang pro-kemerdekaan terus meningkat selama beberapa tahun terakhir.

Namun persiapan menjelang referendum suara telah penuh dengan perdebatan. Negara Prancis telah menolak permintaan dari parpol yang bergabung dalam FLNKS dan Pasifika agar referendum ditunda, karena masyarakat pribumi memiliki tanggung jawab untuk melakukan upacara berkabung secara adat Kanak dan Kepulauan Pasifik. Kedua kelompok ini terkena dampak terburuk dari pandemi, yaitu dengan 277 kematian dan 10.700 kasus Covid-19 di wilayah tersebut. FLNKS lalu mendesak orang-orang yang memenuhi syarat untuk tidak berpartisipasi dalam referendum.

Kampanye yang dilakukan kubu anti-kemerdekaan untuk tetap bertahan dengan Prancis sebelumnya juga penuh dengan pesan-pesan berbau rasis. Salah satu contoh adalah ketika partai-partai pro-kemerdekaan membentuk koalisi pemerintahan pada 1982, kota Nouméa ditutupi dengan selebaran tanpa nama dengan tulisan ‘Planet of the Apes’. (The Guardian)

 

Editor: Kristianto Galuwo

Leave a Reply