‘Kakao Kita Papua’ sebulan beromzet Rp72 juta

papua
Anak-anak muda Jayapura memakai kafe 'Kakao Kita Papua' sebagai tempat turnamen game online. - Jubi/Theo Kelen.
Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Kafe ‘Kakao Kita Papua‘ di Furia HM 117, Jalan Jeruk Nipis, RT 004/RW 001 Wahno, Abepura, Kota Jayapura yang bersebelahan dengan kantor Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Desa (YPMD) Papua tersebut bangunan semi permanen.

Kafenya memiliki empat bagian ruangan. Ada ruangan untuk pelanggan di lantai satu dan dua, ruangan dapur yang terbuat dari kontainer, ruang pertemuan, dan ruang produksi untuk mengolah biji kakao.

Read More
Manajer Kafe ‘Kakao Kita Papua’ Hans Rumaropen mengatakan pembangunan kafe sudah mulai direncanakan sejak 2016, namun baru terealisasi dua tahun kemudian. Pembangunan tahap awal menghabiskaan modal sekitar Rp900 juta sampai Rp1,3 miliar.

“Membangunnya bertahap, tapi yang bikin mahal itu karena pakai kayu,” ujarnya.

Usaha yang memanfaatkan pengolahan biji kakao tersebut, kata Rumaropen, bagian dari tindak lanjut pendampingan terhadap petani kakao yang ada di Kampung Klaisu, Kampung Berab, Kampung Ibub, dan Kampung Sarmare di Kabupaten Jayapura, Papua.

BACA JUGA: Mengembalikan kejayaan kakao Ransiki

“Sebelum kafe ini ada, kita sudah lama sekali dulu mendampingi petani, jadi kafe ini bukan hanya sekadar kafe, tetapi kita bangun hubungan manusia dulu, baru kita masuk ke bisnis,” katanya.

Menurutnya kebanyakan kafe di Kota Jayapura belum maksimal memanfaatkan potensi-potensi lokal, terlebih khusus biji kakao. Setidaknya dengan membuka usaha ini, kata Rumaropen, dapat membantu para petani kakao yang ada di Lembah Grime, Kabupaten Jayapura.

“Apa salahnya kita mencoba dengan memanfaatkan potensi lokal,” ujarnya.

Dalam menjalankan kafenya, Rumaropen dibantu sembilan rekan kerja. Ia menceritakan bahwa dalam sehari bisa memperoleh pendapatan Rp2 juta sampai dengan Rp3 juta. Artinya, dalam sebulan bisa Rp48 juta sampai Rp72 juta.

“Sehari bisa 30 pelanggan, tetapi yang paling ramai Jumat dan Sabtu,” katanya.

Untuk membuat produk olahan biji kakao, kata Rumaropen, biji kakao yang dibeli dari petani dengan harga per kilogram Rp30 ribu dijemur selama seminggu untuk mengurangi kandungan kadar airnya. Setelah dipastikan kering lalu diolah menggunakan mesin menjadi pasta.

Pasta tersebut diolah menjadi beragam produk di antaranya “paradise papua dark” dan “paradise papua coconut” yang dijual seharga Rp35 ribu. Ada juga diolah menjadi brownies seharga Rp30 ribu dan Rp3 ribu ukuran 40 gram. Kemudian chocochip seharga Rp9 ribu dan chocolate ice cream seharga Rp8 ribu.

Untuk mendapatkan bubuk, biji kakao harus dikirim ke PT Teja Sekawan di Surabaya. Dari bubuk kakao itu nantinya akan dibuat minuman, seperti original chocolate yang dijual seharga Rp20 ribu hingga Rp28 ribu.

“Kita produksi di sini punya mesin kapisitas kecil, kapasitasnya hanya sampai dua kilogram, itu untuk bikin pasta, sebulan hanya mampu 10 kg, sisanya kita kirimkan ke Surabaya, di sana ada yang  diolah jadi pasta dan bubuk untuk dikirim ke Jepang,” katanya.

Selain berjualan di kafe, pemasaran juga dilakukan melalui media sosial di akun Instragam “Kakao Kita Papua”. Ia juga bekerja sama dengan beberapa distributor di Jayapura, seperti Sumber Makmur, KFC Galeal, Tokoh Kue Harum Sari, dan Kafe Kombi. Ada juga yang dikirimkan ke Jakarta dan dijual di Hotel Baliem Wamena.

“Tapi kalau mau rasa langsung di tempat produksinya bisa datang ke kafe tiap hari mulai pukul 12 siang sampai pukul 9 malam dan khusus Sabtu mulai pukul 2 siang,” ujarnya.

Pelanggan kafe tersebut, Jimmy Kaiwai mengatakan dalam sebulan ia dua kali mengunjungi kafe Kakao Kita Papua. Ia memilih kafe tersebut karena pertimbangan lokasi yang cukup jauh dari kebisingan dan tempatnya terbuka sehingga menjadi favoritnya untuk dikunjungi di masa pandemi Covid-19.

Selain itu, katanya, menunya juga sederhana dan sesuai dengan selera. Menurut Kaiwai, dengan mengonsumsi produk olahan biji kakao dari hasil bumi Papua berarti ikut serta membangkitkan usaha orang Papua, khususnya petani kakao di Lembah Grime, Kabupaten Jayapura.

“Jika saya ke sana yang biasa saya pesan adalah cokelat panas, itu enak sekali,” katanya.

Jimmy berharap Dinas Pertanian Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, dan Provinsi Papua melihat potensi usaha seperti itu.

“Dinas pertanian diharapkan ikut terlibat dalam pengembangan industri kecil yang berbasis pertanian, melihat dan membantu kekurangan yang dihadapi industri kecil sebagai bentuk pemberdayaan masyarakat melalui produk lokal yang berbasis pertanian,” ujarnya. (*)

Editor: Syofiardi

Related posts

Leave a Reply