Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Sejumlah jurnalis di Kota Jayapura mengikuti workshop bertemakan “Jurnalis Ramah Anak” yang digelar oleh Unicef dan media online Tribun Papua, Rabu (1/12/21). Dalam kegiatan tersebut, jurnalis diajak untuk ikut meningkatkan porsi pemberitaan positif tentang anak.
Workshop atau pelatihan ini menghadirkan pembicara dari sejumlah kalangan, di antaranya jurnalis senior Ahmad Arief, founder Papua jungle chef Charles Toto, dan editor Tribun Papua Paul Manahara Tambunan.
Ahmad Arief mengakui dalam pengalamannya melakukan peliputan di lapangan, Papua menjadi daerah yang paling sulit dan penuh tantangan. Kekerasan menjadi isu besar yang menutupi isu-isu menarik lainnya.
Padahal kata dia, jurnalis sangat berperan untuk mengangkat persoalan tentang anak yang juga marak terjadi di Papua. Dia mengajak agar para jurnalis gencar menyuarakan tentang persoalan anak di Papua.
“Jadi pengalaman saya sebagai jurnalis, liputan di Papua menjadi yang paling sulit. Karena Papua seolah-olah hanya tentang politik dan kekerasan. Jurnalis perlu lebih banyak menyuarakan tentang persoalan anak. Banyak sekali persoalan anak di Papua bahkan sangat mendasar, mulai dari tak memiliki akte lahir, kekerasan hingga masalah kesehatan, dan banyak lagi yang lainnya,” kata Arief.
Baca juga:
Hari anak sedunia dirayakan di tengah kekerasan terhadap anak dalam konflik bersenjata Papua
Yang paling menjadi isu besar menurutnya seperti yang terjadi pada tahun 2018 lalu tentang persoalan gizi buruk di Kabupaten Asmat, dan tentang dampak buruk konservasi hutan menjadi area perkebunan kelapa sawit.
“Misalnya di tahun 2018 terkait kasus gizi buruk di Kabupaten Asmat, dan juga konservasi hutan ke perkebunan sawit di Boven Digoel juga berdampak pada OAP, perempuan dan anak-anak, serta kaum penyandang disabilitas,” tuturnya.
Di sisi lain, Charles Toto yang dikenal sebagai seorang chef atau koki juga ikut menyuarakan betapa pentingnya mempublikasikan tentang tradisi makanan di Papua yang juga berdampak pada generasi masa depan.
Sebab ia menilai, tradisi makanan Papua perlahan mulai tergeser dan budaya konsumsi masyarakat terhadap identitas makanan asli Papua perlahan mulai memudar.
“Perlunya jurnalis menyeimbangkan pemberitaan. Memberitakan Papua tak seperti yang orang kira di luar sana. Kita juga melihat bahwa makanan lokal sudah tergeser seiring perkembangan zaman. Budaya makan zaman dulu disesuaikan dengan identitas tanaman. Dan bisa mempengaruhi faktor biologis. Jadi kalau tanaman rusak, itu akan “membunuh” orang Papua dengan sendirinya dan generasi muda Papua,” kata Toto.
“Kami berharap para jurnalis bisa ikut berandil dan berperan juga untuk menyuarakan soal ini. Tradisi makanan yang berubah cukup berdampak sekali. Budaya Papua harus tetap dipertahankan, termasuk tradisi makanan,” tambahnya.
Sementara itu, Paul Tambunan memberikan penjelasannya dari sisi penulisan berita. Sebab menurutnya pemberitaan yang menyoroti objek yang bersangkutan dengan anak perlu kehati-hatian dan kejelian agar tak merugikan yang bersangkutan.
Misalnya, kasus rudapaksa (pemerkosaan) dan kriminal lainnya yang menyeret pelaku di bawah umur atau berusia anak.
“Mengedepankan empati, tidak mengeksploitasi korban atau kronologis kejadian / fakta. Hindari pengungkapan identitas pelaku. Dan menyajikan berita positif, prestasi, atau pencapaian namun mempertimbangkan dampak psikologis anak,” kata Paul. (*)
Editor: Syam Terrajana