Jubi | Portal Berita Tanah Papua No. 1,
Jayapura, Jubi – Jeremy Corbyn mengajak para pemimpin barat agar melakukan demiliterisasi perbatasan antara Rusia dan Eropa bagian Timur jika tidak menginginkan perang dingin terulang kembali.
Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) baru-baru ini mengatakan pihaknya hendak menempatkan ribuan pasukan tambahan lagi di Eropa Timur. Hal ini mendorong Jeremy Corbyn menegaskan ajakannya kepada para pemimpin barat untuk demiliterisasi perbatasan jika tidak ingin perang dingin terulang.
Dilansir The Independent Senin (13/11/2016), Ketua Partai Buruh itu mengatakan, disamping kritisismenya pada Vladimir Putin, PM Rusia, tetapi hal itu tidak menjadi pembenaran bari Barat untuk menempatkan pasukan lebih banyak di perbatasan Rusia.
Corbyn memang dikenal sebagai pengritik penambahan pasukan Nato di Eropa Timur seiring meningkatnya tensi dengan Rusia.
Berbicara pada penyiar BBC Andrew Marr, Corbyn mengatakan, “Saya punya sangat banyak kritik terhadap Putin, seperti pelanggaran HAM yang terjadi di Rusia dan militerisasi masyarakat. Tetapi saya tetap menegaskan bahwa ada proses yang harus kita coba, yakni demiliterisasi perbatasan antara wilayah yang sekarang jadi ‘negara Nato’ dan Rusia, sehingga kita menjauhkan pasukan-pasukan itu dan tetap memisahkan mereka jauh-jauh demi mewujudkan semacam akomodasi baru.”
Bila tidak dilakukan, kata dia, “Kita tak bisa hindari Perang Dingin yang baru.”
Di bulan Oktober, Nato mengungkapkan persiapan mereka untuk menempatkan lagi 4000 pasukan di perbatasan Rusia dengan negara-negara Baltik sebagai penempatan terbesar militer pasca perang dingin. Pasukan tersebut akan didatangkan dari berbagai aliansi bangsa, termasuk Inggris.
Pejabat Nato mengatakan: “Kami mengambil langkah untuk menguatkan posisi kami di bagian timur, termasuk pengiriman 4 batalion ke Negara-negara Baltik dan Polandia. Pasukan Ujung Tombak sebanyak 5000 orang sudah siap, didukung oleh 40,000 Pasukan Respon Cepat dan personel militer.”
Corbyn dalam wawancara tersebut mengatakan Nato bisa digantikan dengan Organisasi untuk Keamanan dan Kerjasama di Eropa yang sudah ada saat ini, yang didalamnya termasuk juga Rusia. (*)