Papua No.1 News Portal | Jubi
Membantu Indonesia merebut Irian Barat. Indonesia beli alat tempur, bonus tentara Uni Soviet.
Ujung tahun 2017, dua pesawat Rusia mendarat di Bandara Frans Kaisepo, Biak. Di dalamnya, ada 81 tentara. Kabarnya, militer Rusia mau numpang latihan navigasi di sana selama lima hari. Masih ada dua pesawat lagi menyusul.
Empat pesawat itu terdiri dua pesawat angkut berat jenis Ilyushin-76. Kemudian dua pesawat bomber Tupolev TU-95. Total ada 110 personel militer Rusia.
“Kehadiran tentara Rusia itu dalam rangka Uji Navigasi Pesawat serta Wisata di wilayah Kabupaten Biak Numfor,” kata Danlanud Manuhua Biak Numfor, Kolonel Pnb Fajar Adriyanto, dalam siaran persnya, Selasa (5/12/2017).
Tapi Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto membantah adanya latihan militer yang dilakukan tentara Rusia di Biak, Papua
Hadi mengaku akan mencari tahu kebenaran informasi itu.“Kita lihat permasalahannya dulu,” tegas Hadi seperti dikutip Suara.com (4/1/2018). Kehadiran militer Rusia di Biak itu bikin Australia khawatir dan waspada.
Pada masa perang dingin, Indonesia mulai mendekati Rusia. Minta sokongan untuk merebut Irian Barat. Itu dilakukan Sukarno setelah gagal melakukan negosiasi Bilateral dengan Belanda. Sukarno juga mentok saat mau menggalang dukungan di majelis Umum PBB perihal Irian Barat.
Pada 1956, Sukarno, yang mendaku sebagai sosialis, berkunjung untuk pertama kalinya ke Moskow. Presiden pertama RI itu membahas sengketa negaranya dengan Belanda, soal Irian Barat.
Pemimpin Soviet kala itu, Nikita Khrushchev, dengan cepat menyatakan dukungannya terhadap Indonesia. Khruschev memang dikenal mendukung gerakan antikolonialisme di Asia dan Afrika.
Maka mulailah. Moskow mempersenjatai angkatan bersenjata Indonesia. “Dari akhir 1950-an hingga akhir masa kepemimpinan Sukarno pada 1966, Uni Soviet telah memasok Indonesia dengan satu kapal penjelajah, 14 kapal perusak, delapan kapal patroli anti kapal selam, 20 kapal rudal, beberapa kapal torpedo bermotor dan kapal meriam, serta kendaraan-kendaraan lapis baja dan tank amfibi, helikopter, dan pesawat pengebom,” tulis Ajay Kamalaran, pada laman Russia Beyond The Headlines (rbth.com) 23 Januari 2017.
Subandrio, menteri luar negeri era Sukarno yang fasih berbahasa Rusia, ikut ke Moskow untuk meminta dukungan Soviet.
Nikita Khrushchev menggambarkan peristiwa yang berujung pada konfrontasi itu dalam memoarnya. “Saya bertanya kepada Subandrio, ‘Seberapa besar kemungkinan kesepakatan (dengan Belanda) bisa tercapai’,” tulis Khruschev sebagaimana dikutip Kamalaran.
“Dia menjawab, ‘Tidak terlalu besar.’ Saya bilang, ‘Jika Belanda tidak bisa bersikap rasional dan memilih terlibat dalam operasi militer, ini akan menjadi perang yang, pada batas tertentu, bisa berfungsi sebagai medan pembuktian bagi pilot-pilot kami yang menerbangkan pesawat tempur yang dilengkapi dengan rudal. Kita akan melihat bagaimana rudal kami bekerja.”
Meskipun dukungan Moskow terhadap Indonesia sangat jelas dan dinyatakan secara terbuka, pembicaraan antara Khrushchev dan Subandrio ini seharusnya bersifat rahasia. Namun, sang Menlu, menurut memoar Khrushchev, mengungkapkan hasil pembicaraannya itu kepada Amerika, yang sama sekali tak ingin terjebak dalam krisis lain yang berpotensi menjadi Perang Dunia.
Ujungnya kita tahu, pada Agustus 1962, di bawah tekanan Amerika, Belanda akhirnya setuju untuk menyerahkan Irian Barat ke Otoritas PBB (UNTEA). Akhirnya Irian Barat jatuh ke tangan Indonesia, 1963.
Tidak hanya memberikan pesawat tempur, Rusia juga mengirimkan tentara Udara Uni Soviet. Jadi satu paket. Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) mendapatkan sejumlah pesawat tempur canggih pada era itu, seperti Tu-16KS, MIG-17, MIG-19S, MIG-21 dan pesawat angkut An-12.
“Untuk mengoperasikan semua pesawat terbang itu, tentunya diperlukan para instruktur dan tenaga teknis dari Uni Soviet. Terutama itu diutamakan untuk jenis pesawat-pesawat tempur yang secepatnya akan diterjunkan di palagan Irian Barat. Maka atas persetujuan langsung dari Perdana Menteri Nikita Khrushchev, para sukarelawan Uni Soviet pun dikirim ke Indonesia,” tulis Hendi Johari di laman berita sejarah, historia.id, | 06 Mei 2021.
Selain pasukan udara, Uni Soviet juga mengerahkan personel kapal selam yang dibeli Indonesia untuk merebut Papua.(*)
Editor: Angela Flassy