Jejak penggundulan hutan: dari Papua Nugini ke AS dan RRT

Papua No. 1 News Portal I Jubi,

Port Moresby, Jubi – Beberapa perusahaan besar di Amerika Serikat dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dipaksa untuk menghentikan penjualan lantai kayu eksotis dan mengkaji ulang pemasok mereka setelah sebuah laporan membongkar hubungan mereka dengan illegal logging yang menghancurkan lingkungan hidup di Papua Nugini, yang juga terkait dengan perampasan hak ulayat masyarakat tanah tersebut.

Laporan ini adalah hasil dari investigasi selama tiga tahun oleh oganisasi non-pemerintah, Global Witness tentang perampasan tanah ulayat dan deforestasi ditengah hutan belantara Papua Nugini akibat program hak guna tanah yang akhir-akhir ini menjadi kontroversi di negara tersebut.

Dalam laporan yang berjudul ‘Stained Trade’ atau ‘perdagangan bernoda’ yang diluncurkan pada 1 Agustus 2017 lalu membongkar banyaknya produk kayu di negera tersebut yang didapatkan secara ilegal melalui penebangan pohon dan penggundulan hutan hujan diatas tanah ulayat yang dimiliki masyarakat.

“Pemerintah Papua Nugini telah memberikan tanah ulayat secara ilegal kepada perusahaan-perusahaan loging yang menggundulkan hutan hujan dengan kecepatan berbahaya dan tidak berkelanjutan”, tutur Rick Jacobsen dari organisasi Global Witness.

Mengikuti hasil investigasi ini Global Witness telah menyerukan kepada perusahaan-perusahaan besar penjual lantai kayu eksotis yang kemungkinan berasal dari Papua Nugini agar menghentikan hubungan mereka dengan produsen kayu yang terlibat perampasan tanah ulayat dan penggundulan hutan secara ilegal.

Selain itu Global Witness juga telah menyerukan kepada Perdana Menteri Peter O’Neill yang baru saja terpilih agar melanjutkan kembali janjinya menyelesaikan isu ini.

“Perdana Menteri Peter O’Neill telah berjanji akan memberhentikan ijin hak guna tanah yang ilegal selama beberapa tahun, namun janji ini tidak pernah ditindaklanjuti. Penggundulan hutan hujan yang terjadi oleh karena ijin hak guna tanah ini menghancurkan sumber makanan, air, dan obatan-obatan masyarakat pribumi”.(Elisabeth C. Giay/Asia Pacific Report)

Related posts

Leave a Reply