Jejak Islam dan budaya toleransi di Lembah Baliem

Ilustrasi. Umat Muslim Papua saat melakukan salad ied di kantor gubernur Papua, Kota Jayapura, Rabu, 5 Juni 2019 - Jubi/Roy Ratumakin
Ilustrasi. Umat Muslim Papua saat melakukan salad ied di kantor gubernur Papua, Kota Jayapura, Rabu, 5 Juni 2019 – Jubi/Roy Ratumakin

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh: Hari Suroto

Read More

Sejarah kehadiran Islam di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua berawal dari program transmigrasi NASAKOM (Nasionalisme, Agama, Komunisme) pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Transmigrasi NASAKOM pertama di Wamena tahun 1964 berlokasi di Sinata atau Kampung Megapura.

Para transmigran ini semuanya beragama Islam, sehingga oleh kepala suku setempat diberikan sebidang tanah untuk dibangun mushola.

Dalam perkembangannya mushola kecil ini diperluas dan diperbesar menjadi masjid Megapura. Selain itu, sebagian transmigran ini juga berprofesi sebagai guru sehingga mereka pun turut mengajar di sekolah.

Bermula dari transmigrasi, kemudian datang masyarakat muslim lainnya dari etnis Bugis, Makassar (Sulawesi Selatan), dan Buton (Sulawesi Tenggara) yang membuka usaha kios dan jasa transportasi.

Dalam perkembangannya kemudian di Wamena muncul sekolah yayasan, lembaga dakwah, panti asuhan Islam, dan organisasi masyarakat seperti Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, serta ormas Islam lainnya.

Kehadiran agama Islam di Lembah Baliem telah menambah warna baru dalam kehidupan beragama. Di Lembah Baliem sendiri sebelumnya sudah berkembang agama Kristen Protestan dan Katolik. Sebagian Suku Dani kemudian memeluk agama Islam, seperti terlihat pada masyarakat Dani di Distrik Walesi.

Yang menarik adalah masyarakat Walesi yang beragama Islam, masih tetap mempertahankan budaya tradisional pegunungan tengah Papua. Hal ini terlihat dari tradisi bakar batu dalam menyambut Ramadan. Selama ini dalam bakar batu digunakan daging babi. Sebagai pengganti daging babi digunakan ayam.

Saat melakukan bakar batu, laki-laki menyusun batu di atas susunan kayu kering kemudian ditutupi dengan daun-daun serta rumput kering untuk selanjutnya dibakar. Tidak jauh dari lokasi batu dibakar, sebelumnya sudah dibuat sebuah kubangan dalam tanah.

Batu panas hasil pembakaran kemudian ditata merata di dalam lubang. Selanjutnya di atas permukaan batu panas disusun berbagai jenis bahan pangan seperti sayuran, keladi, ubi jalar, singkong, pisang, dan ayam.

Bahan pangan ini kemudian ditutup dengan daun ubi jalar atau sayur-sayuran lainnya. Bahan pangan tadi akan matang dari panas yang bersumber dari batu.

Setelah semua bahan pangan disusun, tumpukan makanan itu kemudian ditutup rapat dan kemudian meletakkan lagi batu panas. Setelah tiga jam, kemudian dibuka dan semua bahan makanan pun sudah matang dan siap disantap.

Pelajaran berharga yang dapat diambil dari kehidupan beragama di Lembah Baliem adalah rasa toleransi beragama yang tinggi. Selain itu budaya tradisional masih dipertahankan.

Masyarakat Dani di Kampung Walesi tidak memelihara babi. Mereka memelihara ikan, kelinci, dan ayam. Budaya bercocok tanam yang berasal dari nenek moyang tetap dipertahankan yaitu menanam ubi jalar dan keladi.

Pakaian sehari-hari mengenakan baju modern dan saat akan beribadah ke masjid atau menjalankan kegiatan keagamaan, mereka berbaju muslim, berkopiah bagi laki-laki dan berhijab bagi perempuan.

Selain itu ada beberapa tradisi Islam yang masuk dalam budaya mereka, misalkan tradisi Maulid Nabi Muhammad, Isra’miraj, Iduladha, berpuasa, dan Idulfitri.

Momen yang sangat berkesan adalah saat Idulfitri, karena telah sebulan menjalankan puasa dengan baik. Masyarakat Walesi saling mengucapkan selamat, saling memaafkan dan saling mengunjungi satu sama lain, serta mendapat kunjungan dari saudara-saudaranya, kerabat nonmuslim sesama Suku Dani. Makanan yang disajikan pun berupa menu makanan halal.

Generasi muda dari Kampung Walesi sebagian melanjutkan studi di sekolah-sekolah Islam di Jayapura maupun berbagai pondok pesantren di Jawa. Mereka juga menjalin komunikasi dengan masyarakat muslim Papua lainnya, misalkan dari Fakfak, Kaimana, dan Raja Ampat, Papua Barat.

Umat Muslim di Walesi tidak mendeklarasikan diri sebagai bagian dari salah satu organisasi Islam seperti di daerah lain. Tidak juga menjadi bagian dari ormas terbesar di Indonesia, seperti Nadhatul Ulama atau Muhammadiyah.

Muslim Walesi akan memulai waktu puasa sesuai arahan pemerintah pusat. Persatuan umat Islam di Walesi sangat terasa, mereka merasa sebasib sepenanggungan.

Islam di Wamena sendiri tidak tersekat-sekat oleh mazhab maupun ormas, sehingga terbentuk Islam yang tidak terkotak-kotak. Hal inilah yang membuat masyarakat Suku Dani di Walesi lebih mudah menerima Islam sebagai agama mereka.

Saat ini suku Dani yang memeluk Islam tidak hanya di Walesi saja, tetapi sudah tersebar di Megapura, Air Garam, Kimbim, dan Hitigima. (*)

Penulis adalah peneliti di Balai Arkeologi Papua

Editor: Timo Marthen

Related posts

Leave a Reply