Jejak anak buta, sebelum mimpi cerdas

Papua No. 1 News Portal | Jubi,

Oleh : Soleman Itlay

PENJUALAN lem aibon di kios-kios, toko-toko dan ruko-ruko sangat bebas. Peredarannya terus merusak tatanan hidup tunas harapan bangsa dan tanah air. Anak-anak dari semenjak usia 6-20 tahun menjadi sasaran. Banyak anak-anak telah terjerumus ke dalamnya.

Jumlah mereka berkembang pesat. Mereka adalah benih yang tak diurus baik. Anak buta ingat itu baik. Artinya, gagal sebelum mimpi kepada Mama “Cerdas.”

Sedih, melihat adik-adik dan teman-teman tenggelam dalam kehancuran. Tidak ada penyelamat bagi mereka. Tuhan memang ada, tetapi tidak ada seorang manusia menjadi penyelamat dari kehidupan buruk ini. Kegelapan terlanjut menyelimuti kehidupan mereka.

Ingin mereka kembali kepada kehidupan lama; yang jauh dari kebiasaan buruk. Namun sulit mewujudkan itu, karena mereka lebih cepat berada dalam neraka dunia yang mengikis fisik, iman dan moralnya.

Percuma bicara nasib mereka untuk kepentingan tertentu. Namun, orang baik sangat diperlukan untuk memulihkan kebiasaan buruk anak-anak di kota ini, sehingga menjadi bagian dari tugas dan panggilan iman kita. Sulit memastikan perubahan jika berharap kepada satu orang buta.

Mereka dilahirkan dari tempat-tempat yang sehat; bebas dari miras dan narkoba. Tetapi setelah masuk di kota Wamena, mereka sebebasnya mengisap aibon, meminum miras dan narkoba, seperti kota tak beraturan.

Situasi ini terkesan ada pembiaran. Seperti kota yang tidak ada jaminan keamanan dan ketertiban masyarakat. Orang bebas jual-beli dan mengonsumsinya. Kalau pengawasannya ketat, tidak mungkin akan meresahkan.

Anak-anak ini tidak akan mudah melepas lem aibon, miras dan narkoba, kecuali jika akses, produksi, pendistribusian dan peredarannya ditutup.

Kalau pemerintah atau aparat keamanan sering bicara di muka umum agar anak-anak dan para pebisnis tidak jual barang-barang tersebut, berarti putuskan segala hubungan kerja sama antara pebisnis.

Karena miras dan narkoba merupakan faktor kehilangan masa depan yang cemerlang, selain pemekaran dan pembangunan infrastruktur jalan.

Mereka meninggalkan kampung halaman dan sekolah bukan karena kota Wamena memanggil mereka. Tetapi kesetiaan mereka untuk tinggal di kampung dan melanjutkan sekolah di masing-masing sekolah dihancurkan oleh  pemekaran kampung, distrik dan kabupaten, termasuk infrastruktur jalan, dan jembatan yang berbau kepentingan ekonomi, yaitu; untuk mengekploitasi alam dan menghancurkan tatanan hidup masyarakat.

Lewat pemekaran, pembangunan yang merebak dan narkoba atau miras, masa depan anak bangsa dimatikan. Mereka malah menjadi tidak tahu baca, tulis dan berhitung.

Mendatangkan guru dengan dengan dalih demi kesejahteraan dan mengejar ketertinggalan seolah-olah menjadi pembenaran.

Pemekaran, pembangunan jalan, otonomi khusus (otsus) bagaikan gula-gula untuk menenangkan anak yang menangis. Padahal tiga hal ini juga sebagai upaya untuk membunuh manusia dengan kebijakan dalam sistem di berbagai sektor.

Dua sektor yang terbukti semakin dihancurkan setelah tiga kebijakan itu adalah pendidikan dan kesehatan.

Anda bisa bayangkan nasib anak-anak pribumi di bidang pendidikan. Nasibnya dihancurkan dan dimatikan dengan pemekaran, jalan dan otsus. Gedung sekolah dan fasilitasnya mewah, tapi tenaga pengajarnya kurang. Bakal tidak berkualitas sekali.

Ada guru tapi hanya guru-guru tua karena guru muda tinggal di kota. Mereka tidak mau menetap di kampung.

Guru tua dan muda juga dipanggil kepala daerah, bukan untuk mengajarkan dan mendidik anak-anak di sekolah, tetapi bekerja di birokrasi. Akhirnya, sekolah sepi dan anak-anak tidak mau datang ke sekolah.

Ini adalah dampak dari pemekaran, jalan, dan otsus, yang katanya mau menyejahterakan orang Papua, termasuk menyiapkan SDM yang berkualitas untuk kembali membangun daerah sendiri.  Ah, tidak! Itu sebuah penipuan belaka. Kenyataan menunjukkan lain.

Bahwa pemekaran telah mematikan tempat dimana anak-anak lahir untuk menjadi lebih manusiawi, dan demi memanusiakan orang lain. Itu tempatnya setiap sekolah dasar. Bahkan pemekaran dan jalan membuat anak-anak tidak bisa tenang belajar untuk mengasah ilmu pengetahuan.

Pemekaran membuat krisis guru di semua sekolah, sebab, setelah jalan dibuka, hampir semua guru di kampung-kampung ramai-ramai ke kota. Ada yang membuat mereka tidak betah di kampung ataupun sekolah, karena jaminan atau gajinya kurang. Ada guru muda dan setengah muda yang ditempatkan di kampong, tapi tidak mau pergi dan mengajar ke anak-anak. Tidak ditugaskan ke kampung dan pedalaman, katanya, tidak mau kalau tidak ada rumah sehat, listrik, dan jaringan internet.

Alasan ini membuat guru-guru tinggal enak di kota. Namanya terdaftar di pedalaman, tapi terima gaji buta di kota, karena terpengaruh dengan kebiasaan hidup instan.

Ada yang pergi ke sekolah, tapi saat mendekati ulangan dan ujian nasional. Katanya lagi, takut kepada penyakit di perkampungan yang jauh dari rumah sakit, hingga sebagian besar waktu dihabiskan di kota.

Ada yang pulang-pergi kota. Karena akses jalan menghubungkan dari kampung ke kota. Berangkat ke sekolah subuh, tapi tiba terlambat. Kasih belajar anak-anak hanya satu-dua jam. Lalu pulang ke rumah lebih cepat karena katanya tinggal jauh di kota. Katanya, pulang cepat sebelum hujan dan biar tidak gelap dari tengah jalan. Sebagian besar hari dan waktu dihabiskan sepanjang perjalanan.

Ada anak-anak yang mau sekolah tetapi tidak mampu membayar biaya sekolah yang mahal. Di sini kebanyakan yang putus dari SMP dan SMA/SMK. Kastau orang tua dan keluarga, katanya tidak ada uang.

Orang tua dan sanak saudara tidak bekerja sama lagi seperti tempo dulu, yang ramai-ramai sekolahkan satu anak dari satu keluarga besar, dan kampung besar. Sekarang budaya itu sudah dimatikan oleh api neraka pendidikan di Papua, yaitu; pemekaran. 

Hendak berharap dari sumber pendapatan ekonomi hari-hari, yakni dari hasil berkebun, beternak dan berburu, itu pun sekarang setengah mati. Karena pemekaran telah menciptakan ketergantungan hidup. Jadi, mau mengharapkan sumber pendapatan pendidikan di situ susah. Dana otsus dan beras miskin (raskin—kini rastra), terlanjut memanjakan masyarakat, sehingga mau biayai anak dari hasil bumi luar biasa setengah matinya.

Dana otsus dan dana lainnya memang sering turun atas nama masyarakat, supaya kebutuhan pendidikan anak bisa diatasi. Tapi itu hanyalah sebuah sarana menipu masyarakat. Sejatinya tidak.

Bahwa dana otsus dan lainnya menghancurkan pendidikan anak-anak bangsa dan tanah air secara halus. Dana pendidikan 20 persen itu hanya subyek kebenaran.

Dana otsus dan pemekaran sama persis. Dua kebijakan itu sengaja diberlakukan biar dunia melihat keseriusan pemerintah. Tetapi kalau mau jujur, sistem pendidikan lebih hancur setelah pemekaran dan otsus diberlakukan di kota ini. 

Sekolah dan anak-anak, tahunya hanya nama. Tidak pernah merasakan uang dan kebijakan yang membunuh secara halus itu.

Kebijakan otsus, terutama dananya selalu saja berputar di kota. Di kampung-kampung jarang merasakan manfaatnya. Begitu pun anak-anak kampung yang membanjiri kota ini. Mereka tidak pernah melihat dan merasakannya. Kalau ada orang yang berkata sudah dirasakan, itu omong kosong. Orang itu adalah pembunuh terkejam dalam sistem pendidikan di tanah air.

Kenyataannya, dana otsus atau kebijakan yang diturunkan untuk kemajuan sistem pendidikan di Papua, khususnya Wamena, tidak pernah menyentuh anak-anak di jalan raya, pasar, terminal, depan toko, kios, warung, hotel, dll. Kalau tersentuh baik, tidak mungkin nasib mereka jadi malang.

Perlu diingat dan jangan salah menyebarkan penyerapan dana otsus. Kalau benar-benar mau mencerdaskan manusia, tidak mungkin membiarkan anak-anak pemilik SDA yang kaya dan subur putus sekolah.

Anak-anak ini tidak pernah membuat diri elite dan mempersulit kebijakan untuk menyentuh mereka di semua tempat. Mereka terbuka kepada siapa, kapan, dimana saja dan bagaimana pun itu.

Mereka di tempat-tempat umum, bukan jalan menggunakan mobil kaca gelap. Jarang makan di tempat-tempat mewah dengan penjagaan ketat. Mau menemui dan mengajak mereka tidak susah.

Selama bertahun-tahun, anak-anak di jalanan ini hanya dijadikan objek kebijakan. Tapi juga kebijakan yang mengatasnamakan mereka diarahkan untuk kesenangan semata. Nasib mereka dihancurkan oleh kaum elite yang buta.

Kalau perhatiannya besar, mereka tak bernasib malang. Mereka tentu menjadi manusia yang berguna. Kalau aibon, narkoba dan mirasnya diberantas, mereka dapat menjadi terang dan garam dunia. Mimipi “mama cerdas” pun kelak terwujud. (*)

Penulis adalah anggota aktif Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang St. Efrem Jayapura

Related posts

Leave a Reply