Papua No.1 News Portal | Jubi
Ketika SD cita-citanya dokter. Sudah SMA ingin jadi psikolog. Kuliah malah ambil fakultas ekonomi. Begitu lulus jadi jurnalis lalu penulis.
Begitu kira-kira lika liku hidup Aprila Wayar. Kita mengenalnya sebagai novelis perempuan dari tanah Papua. Lahir di Jayapura, 15 April 1980, Aprila pernah mencicipi masa kecil di Wamena.
Dia tumbuh dengan minat baca yang tinggi. Tapi dengan buku bacaan yang serba terbatas. Listrik belum mengaliri rumahnya. Bacaannya, kebanyakan buku-buku pelajaran milik bapaknya; J.M Wayar. Seorang guru SD bersahaja. Suatu hari karena mendapat ranking di kelas, ayahnya memberi dia hadiah berupa buku harian. Bentuknya lucu. Seperti roti.
“Di buku roti itulah saya mulai rajin menulis. Semacam catatan harian. Wamena yang dingin, tak punya banyak mainan bikin saya betah di rumah, menulis,menulis,”. ujar perempuan yang akrab disapa Emil ini.
Satu-satunya kemewahan semasa hidup di Wamena, ketika orang tuanya mengizinkan dia berlangganan Majalah Bobo. Perlu dicatat: Satu wamena, hanya keluarganya yang langganan majalah anak yang populer di era 90a-an itu. Ada sensasi tersendiri ketika menunggu datangnya majalah itu. Membuka bungkusnya. Menciumi aroma kertas yang masih bau tinta cetak. “Majalah itu selalu saya rawat baik-baik.tapi selalu berakhir jadi kusut dan koyak. Lantaran teman-teman sekolah selalu rebutan membacanya. Senang dan jengkel juga mengingatnya,” tawanya berderai.
Di Wamena, Emil dikenal sebagai anak yang selalu menenteng buku. Itu dikisahkan lagi oleh bapaknya ketika dia sudah dewasa. Dia mengaku tak ingat lagi dengan kebiasaan masa kecilnya itu.
Saat Emil kelas 4 SD, keluarganya memboyongnya pindah ke Tasikmalaya, Jawa Barat. Di sana minat bacanya kian menjadi. Sekolah barunya punya fasilitas perpustakaan memadai.Tak ketinggalan gereja. Dia ingat koleksi buku milik Pendeta Handi Hadiwitanto di Gereja Kristen Indonesia di jalan veteran Tasikmalaya. Dia jadi pelanggan setia. Meminjam buku-buku di sana. Ketika SMP, Emil menggemari novel-novel Indonesia karya Marga T dan Mira W. ketika SMA, dia mulai melahap novel-novel luar. Favoritnya; Sidney Sheldon dan John Grisham. Novelis Amerika Serikat.
Selain pendeta Handi yang menyemangatinya, sang kakak Maria Wayar juga jadi sosok yang turut memperkuat minat bacanya. Sedari kecil,keduanya saling berlomba melahap isi buku. Atau tukar menukar bacaan.
“Tapi sosok yang paling mempengaruhi saya adalah bapak. Beliau menulis banyak cerita rakyat sukunya, Moor,” imbuh bungsu dari 6 bersaudara itu. Tulisan-tulisan itu rutin dikirimkan bapaknya pada sahabatnya, Arnold Clemens Ap. Kelak, Arnold dikenal sebagai budayawan legendaris Papua. Dia mati dibunuh militer pada 1984 silam.
Pengalaman mendapatkan perlakuan rasisme di bangku sekolah. Ditambah berbagai bentuk ketidakadilan dan kekerasan yang terus saja melanda Papua, menumbuhkan kesadarannya. Banyak hal yang perlu diceritakan tentang tanah tumpah darahnya.
Di saat menjadi mahasiswi, bacaannya meluas. Dia membaca buku-buku Pramoedya Ananta Toer. Juga buku-buku karya feminis dan novelis dunia. Dia juga rajin menulis artikel. Terbit di sejumlah media lokal Yogyakarta.
Dia lantas menetapkan pilihan. Menulis novel. Itu dilakukannya bersamaan dengan menyusun skripsi di Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta. Jadilah novel pertamanya, “Mawar Hitam tanpa Akar”. Terbit 2009.
Novel ini berkisah tentang keluarga muda kelas menengah Jayapura dengan segala dinamika kehidupan, mulai dari percintaan sampai kaitan-kaitan dengan persoalan-persoalan politik yang dialami masyarakat Papua.
Di lika liku kisah novel itu, Aprila memasukkan latar kasus pelanggaran HAM di Abepura, 7 Desember 2000. Pada peristiwa itu, menurut catatan Komisi untuk orang hilang dan korban tindak kekerasan (KontraS), mengakibatkan tiga mahasiswa tewas di tangan anggota Brimob Polres Jayapura. Korban luka berat sebanyak 63 orang, 15 di antaranya mengalami cacat tubuh dan mental akibat penganiayaan. Ini merupakan buntut dari penyerangan Polsek Abepura, 6 Desember 2000, oleh kelompok sipil bersenjata, menyebabkan dua anggota Brimob dan satu anggota Satpam tewas.
Dia juga memasukkan pengalaman traumatik keluarganya. Ayahnya pernah digeledah dan mendapat perlakuan intimidatif dari militer. Itu terjadi ketika operasi militer 1977.
Novel itu juga yang mengantarkannya lolos dalam festival penulis bergengsi, Ubud Writers and Readers Festival pada 2012.Aprila Wayar disebut-sebut sebagai novelis perempuan Papua pertama.
Hingga kini dia telah menerbitkan lima novel. Novel terbarunya adalah Hutan Rahasia. Terbit Agustus 2020. Novel berlatar belakang Enggros ini menceritakan kekerasan yang dialami perempuan
Menulis novel, baginya adalah jalan lembut untuk menyuarakan dan mengisahkan apa yang terjadi di Papua. Dia menyebut karyanya sebagai novel bergenre fiksi ilmiah. Karena didasarkan riset atas peristiwa yang pernah terjadi di Papua.
Urusan riset, dia bersyukur pernah ditempa sebagai jurnalis di Tabloid Jubi (2009-2015) dan Forum Kerjasama Lembaga Swadaya Masyarakat (Foker LSM) Papua. Dia menjadi periset di sana kurun 2010-2012.
Pengalaman jadi jurnalis, juga membuat dia terbiasa melihat sesuatu dari dua sisi. Prinsip cover both side dalam jurnalisme itu, kerap dia pinjam untuk meramu cerita dalam novel-novelnya.
Meski banyak menjadikan sosok perempuan sebagai tokoh utama dalam novel-novelnya, Emil menolak predikat penulis feminis. Sebagaimana label yang rekat pada dirinya. “Saya bicara Papua secara menyeluruh. Tokoh-tokoh perempuan yang saya pakai hanyalah pintu untuk memahami berbagai persoalan di Papua,” sergahnya.
Menetap di Kota Pelajar Yogyakarta, Emil berkhidmat di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta. Di organisasi profesi jurnalis itu, dia membawahi divisi gender dan kaum marginal.
Emil juga salah satu motor penggerak kelompok Fawawi. Ini sebuah kelompok kajian sastra beranggotakan mahasiswa dan pelajar Papua di Yogyakarta. Di Fawawi, mereka banyak membahas karya-karya sastra baik Indonesia, Papua dan dunia. Lewat kanal youtubenya, Emil juga banyak mengundang banyak orang dengan berbagai topik tentang Papua. Sembari itu semua, Emil ancang-ancang menulis novel baru. “Ceritanya masih rahasia,” tutupnya tersenyum.(*)