Papua No.1 News Portal | Jubi
Pemerintah Kabupaten Nabire memperketat lalu lintas perdagangan babi. Itu untuk mengantisipasi penyebaran demam babi afrika.
MEREBAKNYA wabah demam babi afrika membuat Yohan Pigome waspada. Dia semakin intensif dan memerhatikan kesehatan ternaknya. Pola pakan ternak tetap dijaga agar babi tidak rentan terserang penyakit.
“Saya belum mendengar informasi tentang wabah tersebut. Namun, saya harus waspada dan mencegah penyebarannya,” kata Pigome, 24 tahun, saat ditemui Jubi di kediamannya di Nabire, Kamis, 29 April 2021.
Pigome beternak babi di sela kesibukannya berkuliah di Universitas Satya Wiyata Mandala (Uswim) Nabire. Usaha itu ditekuninya untuk memenuhi kebutuhan hidup selama menempuh pendidikan.
Saat ini ada lima ekor babi diternakan mahasiswa semester VI Jurusan Peternakan Uswim tersebut. Tiga di antara ternaknya itu berkelamin betina.
Pigome menggunakan ampas tahu, pisang, dan daun singkong sebagai pakan untuk ternaknya. Ada kalanya bahan-bahan itu dia campurkan dengan beras.
“Kesehatan babi bergantung kepada (kebersihan dan kualitas) pakan. Pemberian pakan harus dikontrol supaya virus tidak menyebar (babi mudah diserang penyakit),” jelas anak sulung dari 11 bersaudara tersebut.
Demam babi afrika atau African Swine Fever (ASF) saat ini merebak di Kabupaten Manokwari, Papua Barat. Pemerintah Kabupaten Nabire pun mulai memperketat pengawasan di sejumlah pintu masuk ke daerah mereka.
Penjabat Bupati Nabire Anton Mote telah memerintahkan pelarangan terhadap pemasukan dan pengeluaran ternak babi beserta turunannya untuk mengantisipasi penyebaran ASF. Perintah itu tertuang pada Surat Instruksi No 524/1933/SET, yang diterbitkan pada 23 April 2021.
Tingginya tingkat kematian ternak babi akibat ASF di Kabupaten Manokwari menjadi salah satu pertimbangan utama terbitnya instruksi tersebut. Berdasarkan laporan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Manokwari, terdapat setidaknya 171 babi mati di daerah mereka pada bulan ini.
“Itu (kematian ternak babi) tersebar di Distrik Manokwari Barat, Manokwari Utara, dan Warmare. Kami masih berkoordinasi dengan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Papua Barat untuk memastikan penyebab kematian ratusan babi tersebut,” kata Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Manokwari Wanto kepada Hans A Kapisa, Jurnalis Jubi di Manokwari, pekan lalu.
Bukan zoonosis
Demam babi afrika berjangkit dan disebarkan oleh virus ASF. Angka kematian ternak akibat penyakit ini cukup tinggi.
Demam babi afrika pertama kali terdeteksi pada 1921 di Kenya, dan kemudian menyebar ke Eropa pada 1957, serta ke Asia pada 2018. Di Indonesia, penyebaran penyakit ini pertama kali terdeteksi di Sumatera Utara pada 2019.
ASF dapat menular melalui kontak langsung atau diperantarai oleh peralatan, pakan, dan minuman dari ternak babi yang terinfeksi virus. Masa inkubasi atau perkembangbiakan virus sekitar 3-15 hari.
ASF bukan jenis penyakit zoonosis sehingga tidak menular kepada manusia. Walaupun begitu, wabah ini juga menimbulkan kecemasan dan kekhawatiran warga sebagai konsumen. Beberapa di antara mereka bahkan memutuskan berhenti mengonsumsi daging babi untuk sementara waktu.
“Saya sudah mendengar informasi mengenai wabah ASF. Kami (pun) untuk sementara ini tidak mengonsumsi daging babi karena (khawatir) bisa berdampak buruk pada kesehatan,” kata Yemima Youw, warga Nabire.
Namun, wabah ini tidak menyurutkan semangat Pigome. Dia tetap bertekad melanjutkan usahanya walaupun mesti meningkatkan kewaspadaan terhadap penyebaran ASF.
“Beternak babi telah menjadi tradisi bagi suku Mee. Bapak, dan kakek saya sejak kecil juga memelihara babi,” jelas Pigome.
Dia juga telah merasakan manfaat dari beternak babi. Hasilnya sangat lumayan untuk menopang hidup selama berkuliah.
“Babi betina saya (pernah) beranak sembilan ekor. Setelah besar, empat ekor di antaranya saya jual. Harganya Rp1 juta seekor,” ujar Pigome, yang juga bekerja serabutan demi membiayai kuliahnya. (*)
Editor: Aries Munandar