Papua No. 1 News Portal | Jubi
Di tengah keenganan anak muda menggeluti usaha pertanian, dua pemuda ini justru menyeriusinya dan berpenghasilan hingga 20 juta sebulan.
Menjadi petani atau bekerja di sektor pertanian umumnya masih dipandang sebelah mata oleh sebagian besar masyarakat. Sebab identik dengan pekerjaan kasar, terbiasa dengan tanah yang kotor, dan penghasilan rendah.
Akibatnya, regenerasi petani terhambat, karena tak banyak anak muda yang tertarik bertani.
Tapi kondisi itu mulai berubah karena sudah mulai ada anak muda yang terjun ke sektor pertanian dan membuktikan bidang yang digelutinya menjanjikan.
Mickhael Marten adalah salah satu. Pemuda 24 tahun asal Toraja, Sulawesi Utara tersebut menjadi petani sayuran di jalan baru Pasar Youtefa sejak berusia 15 tahun.
Awalnya setamat Sekolah Dasar di kampungnya, karena kesulitan ekonomi ia bersama ayahnya merantau ke Jayapura. Ia mengadu nasib di daerah baru dan melihat ada peluang kebutuhan warga akan sayuran yang sehat dan aman untuk dikonsumsi. Tapi saat itu belum ada yang bertani sayuran.
Meski tak memiliki pengalaman bertani, Marten langsung menggarap lahan pertanian satu bedeng (petak) ukuran 4×12 meter.
Pertaniannya berkembang dan kini ia menggarap lahan 30 bedeng yang ditanami kangkung, sawi, dan bayam merah.
“Saya lihat-lihat saja orang lain, lama-lama kelamaan tahu sendiri, mulai dari mencangkul tanah, tanam bibit sayuran, pemberian pupuk, hingga panen,” ujar Marten di ladangnya, Rabu, 10 Juli 2019.
Hujan dan panas tidak mematahkan semangatnya dalam berusaha. Namun hasilnya bisa memenuhi kebutuhannya sehari-hari dan bahkan mengirimkan uang kepada mamanya di kampung.
Dari usaha sayurnya Marten kini beromzet jutaan rupiah sebulan. Jika sayur lagi mahal harganya Rp6 ribu satu ikat. Sekali panen bisa menghasilkan Rp1 juta untuk satu bedeng.
“Dalam sebulan untuk 30 bedeng saya bisa dapat Rp20 juta bersih, satu bendeng kalau kangkung satu kali panen sebulan bisa 300-400 ikat dengan harga per ikat Rp5 ribu,” katanya.
Sedangkan sawi dua kali panen satu bulan bisa 500 ikat dengan harga satu ikat Rp6 ribu.
Sebulan pengeluaran untuk pertaniannya hanya Rp500 ribu untuk membeli bibit sayur, pupuk, dan biaya perawatan. Sedangkan sewa lahan untuk 30 bedeng Rp1,5 juta.
Pengeluaran untuk membeli bibit kangkung dan bayam masing-masing satu bungkus Rp50 ribu. Sedangkan bibit sawi dibibitkan sendiri. Biaya untuk pupuk urea Rp110 ribu dan sekarung pupuk MPK Rp120 ribu yang dibeli di Koya.
“Saya pernah gagal panen dan rugi Rp5 juta, waktu itu datang banjir dan merusak sayuran saya, tidak ada yang bisa dipanen,” ujarnya.
Selama berusaha tujuh tahun ia mengalami lima kali gagal panen. Namun ia tak pernah menyerah. Sebab sayuran dibutuhkan pembeli.
Marten berpesan kepada anak muda di Kota Jayapura agar tidak malu dan berani berusaha agar bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa mengandalkan uluran tangan orangtua maupun keluarga.
“Intinya jangan malas, rajin, dan pintar menabung uang, dari hal-hal kecil kalau ditekuni pasti menjadi pengusaha muda yang sukses sehingga bisa memperkerjakan orang lain juga agar mengurangi penganguran,” katanya.
Sama dengan Marten, Rizal juga membuktikan hal yang sama. Pemuda 26 tahun yang juga asal Toraja tersebut juga bisa hidup nyaman dengan bertani sayuran. Ia mengaku bisa berpenghasilan Rp17 juta sebulan dari bertani sayuran.
Awalnya Rizal bekerja sebagai kuli bangunan. Karena penghasilan tak menentu dan tak selalu ada orderan mengakibatkan ia sering meninggalkan utang hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Lalu seorang temannya mengajak bertani sayuran.
“Suka dukanya menjadi petani, kalau musim panen mahal bisa dapat banyak hasilnya, tapi kalau musim hujan pasti rusak karena kebanjiran, kalau sawi daunnya dan batangnya busuk, kalau kangkung jamurnya yang naik,” katanya.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota Jayapura, Jean Hendrik Rollo, mengatakan pengembangan tanaman sayuran atau tanaman semusim cukup menjanjikan di Kota Jayapura, meski terkendala lahan.
“Tanaman sayuran ini terus kami kembangkan di Kelurahan VIM dan Kelurahan Waena, sangat membantu ketersediaan sayuran di Kota Jayapura,” ujarnya.
Tanaman sayuran, tambahnya, menjanjikan karena mempunyai umur pendek yang bisa dipanen sampai dua kali dalam sebulan.
Meski terkandala lahan pertanian sayuran, Rollo mengajak petani kangkung, bayam, sawi maupun jenis sayuran lainnya untuk mempunyai inisiatif sendiri, seperti membuat tanaman sayuran hidroponik guna memenuhi kebutuhan konsumsi sayuran di masyarakat.
Ia mengatakan Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota Jayapura mempunyai tujuh program, yaitu pengembangan kawasan pertanian sayuran di Koya Koso dan Muara Tami, pendampingan paska panen, pengembangan kelembagaan dan kemitraan, serta meningkatkan produksi tanam. Tujuannya agar lahan tidak beralih fungsi menjadi perumahan.
“Lahan tidur saat ini yang tersedia di Kota Jayapura berada di wilayah Distrik Muara Tami, Distrik Abepura dengan total mencapai 300 hektar,” ungkapnya.
Rollo berharap anak muda di Kota Jayapura tertarik mengikuti jejak seperti Marten dan Rizal.
“Sebab 80 persen pengusaha kaya bergerak di sektor pertanian,” ujarnya.
Dinasnya, katanya, juga aktif membantu petani dengan alat pertanian modern, irigasi, benih, pupuk, dan penyuluhan lapangan. Bantuan diberikan karena pertanian merupakan salah satu sektor vital dalam menghadapi perkembangan populasi manusia di Kota Jayapura. (*)
Editor: Syofiardi