Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Kota Madang kini berbeda ketika Jubi pertama kali berkunjung pada 2002. Waktu itu pengaruh bisnis dari negara tirai bambu Tiongkok belum begitu kelihatan.
Pusat perkotaan di kota Madang masih berupa gedung-gedung bangunan bekas peninggalan Australia. Jauh berbeda ketika memasuki 2017, di Madang banyak pemilik toko orang Tiongkok dengan bangunan dan disain terbaru.
Apalagi PNG menjadi tuan rumah APEC 2018 sehingga pemerintah China membangun jalan utama menuju gedung Parlemen PNG di Port Moresby. Bahkan mobil-mobil untuk para pemimpin OPEC juga atas sumbangan dan jasa baik dari pemerintah Tiongkok.
Meski pelayan di toko seorang perempuan Papua New Guinea tetapi yang duduk di kasir adalah laki-laki Tiongkok berambut cepak alias mirip seorang anggota tentara. Jubi berkunjung ke toko itu guna membeli kartu telepon digicell yang banyak digunakan di Papua New Guinea dan negara-negara Pasifik.
Bukan hanya itu saja, Tiongkok juga berinvestasi tambang di Provinsi Madang, tepatnya di Kurumbukari Mine, dan pengelohan tambang di Basamuk di Teluk Basamuk Madang. Pipa slurry sepanjang 135 km menyalurkan tambang nikel dari Kurumbukari ke lokasi pabrik di Basamuk di Teluk Basamuk.
Tambang nikel ini pertama kali dioperasikan pada 2005 oleh perusahaan Metallurgical Corporation of China Limited (MCC) bergabung dengan perusahaan patungan dan bertanggung jawab untuk pembangunan proyek. Tambang Ramu dan pabrik Basamuk merupakan perusahaan patungan antara Hinghlands (8,56 %), Pemerintah PNG dan pemilik tanah (6,4 %) dan MCC Ramu Nico Ltd (85 %). MCC memegang 61 % kepemilikan di MCC Ramu Nico Ltd, dengan 39 % sisanya dimiliki oleh sejumlah entitas Tiongkok lainnya.
Dampak tailing Basamuk
Penambangan nikel ini langsung membuang sisa pasir tambang ke Teluk Basamak. Padahal pabrik tambang nikel di Basamuk dirancang untuk menghasilkan 78.000 ton (kering) dan produksi hidroksida campuran yang mengandung 32.600 ton nikel dan 3.300 ton kobalt per tahun. Pabrik ini memiliki pula fasilitas pembuatan asam dan pabrik pengolahan batu kapur untuk membuat pereaksi kunci dalam pembuatan hidrosida campuran. Pembuangan limbah tambang termurah jelas membuang langsung ke laut tetapi menurut saran para pakar internasional tailing di pabrik Nikel Basamuk di buang ke dalam ngarai laut se dalam 1500 meter karena dianggapp ini merupakan metode pembuangan paling tepat dan aman.
Gubernur Madang, Peter Yama, berang dengan tumpahan lumpur di Teluk Basamuk. Dia menyebut tumpahan lumpur Teluk Basamuk sebagai “bencana lingkungan terburuk dalam sejarah PNG,” sebagaimana dilansir surat kabar Post-Courier, di Port Moresby.
Tidak tanggung-tanggung, Gubernur Madang meminta agar pemerintah segera menutup proyek tambang nikel di Teluk Basamuk karena catatan lingkungan hidup yang buruk. Dia menegaskan izin penambangan pabrik akan berakhir pada April 2020 mendatang sebagaimana dilaporkan Pors Courier.
Sebaliknya, Perdana Menteri PNG, James Marape, telah bersumpah sejak dia berkuasa pada Mei untuk lebih banyak menuai manfaat sebagai bangsa miskin dari sumber daya minyak, gas, dan mineral yang besar sebagian melalui negosiasi ulang lisensi pertambangan.
Limbah dari pabrik nikel di Papua Nugini yang dimiliki oleh Metallurgical Corporation of China terlihat di perairan Teluk Basamuk yang berdekatan, menurut sumber Reuters, di Basamuk, Madang, Papua Nugini 24 Agustus 2019.
Nikel sulfat semakin banyak digunakan dalam baterai untuk kendaraan listrik karena dunia transisi ke ekonomi yang lebih hijau dan mengurangi polusi.
Namun, investor yang peduli dengan sumber yang bertanggung jawab telah menuntut kesinambungan yang lebih besar dalam pengadaan dan sepanjang rantai pasokan.
Sebuah sumber yang dekat dengan MCC mengatakan insiden itu tidak memiliki dampak buruk terhadap lingkungan.
“Tidak ada dampak pada kehidupan laut dan ikan. Kementerian Pertambangan dan Lingkungan pergi ke sana tetapi keduanya tidak menemukan masalah, ”kata sumber itu.
“Tidak perlu mengatakan apa-apa tentang ini. Itu kecelakaan kecil. Ada sedikit kebocoran tetapi tidak berdampak pada lingkungan. ”
Tambang Tiongkok di Bougainville
Meski Taiwan dianggap sebagai negara demokrasi, tetapi tokoh pejuang Bougainville merdeka, Sam Kauona, justru lebih memilih negara komunis Tiongkok ketimbang Taiwan. Dalam wawancara 60 menit ABC Australia dengan tokoh pejuang Bougainville merdeka, Sam Kauona, negara Bougainville negara merdeka bisa menjalin kontrak dengan negara mana pun termasuk Tiongkok.
“China negara besar dan sudah menyiapkan proposal untuk rencana pembangunan Bougainville termasuk investasi tambang tembaga di Bougainville,” katanya sebelum pelaksanaan referendum di Bougainville.
Pabrik semen di Papua Barat
Di Provinsi Papua Barat saat ini sedang beroperasi perusahaan semen milik Tiongkok. Proyek investasi semen di Manokwari senilai US $500 juta atau senilai Rp6 triliun lebih. Ini proyek kawasan industri semen terintegrasi, mulai dari pembuatan semen, pengemasan, pelabuhan untuk transportasi, hingga pembangkit listrik. Listrik yang dihasilkan sekitar 2 x 20 Mega Watt (MW) dengan kapasitas terpasang pada pabrik SDIC Papua Semen Indonesia sebesar 3 juta ton per tahun.
Tak diragukan pula karena cadangan batu kapur dan pasir kuarsa, serta tanah lempung yang menjadi bahan baku utama pembuatan semen ini cukup untuk lebih dari 150 tahun produksi, dengan kualitas semen yang bisa bersaing. Investor langsung induk usaha SDIC Papua Semen Indonesia yakni SDIC GIHugh-Tech Pte Ltd yang berkedudukan di Tiongkok.
Mamberamo Proyek, Papua
Tak mau ketinggalan dengan Papua Barat yang punya pabrik semen, Gubernur Papua Lukas Enembe diajak Kepala Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia, bersama delegasi pejabat Papua mengunjungi sejumlah investor strategis di Tiongkok pada 4-6 Desember 2019.
Usai berkunjung ke Shanghai, kota industri dan manufaktur Wenzhou, dan Tongxiang di Provinsi Zhejiang beberapa waktu lalu, Gubernur Papua Lukas Enembe berharap investor Tiongkok bisa segera masuk ke Papua untuk membangun hydropower di Mamberamo Raya.
“Saya awalnya tidak mau ikut ke sana (Tiongkok) karena sudah beberapa kali ditipu investor, tapi Pak Luhut meyakinkan kepada saya kalau hal ini benar. Sebab, awalnya mereka sudah bangun di Morowali dan memang benar mereka bangun sangat luar biasa, yang mana tenaga kerja sebanyak 65 ribu orang tertampung semua,” kata Enembe di Jayapura, Selasa (10/12/2019).
Menurut Enembe, jika hydropower dibangun di Mamberamo Raya, maka kota baru, bandara, dan pelabuhan internasional akan ada di sana. Dengan begitu tenaga kerja sebesar 100 ribu lebih orang akan terpakai.
“Hydropower yang akan dibangun ini sebesar 23 ribu mega watt, dengan diikuti berbagai fasilitas. Untuk itu, saya sangat berharap mereka bisa segera masuk ke Papua,” ujarnya.
Ia menilai perusahaan Tiongkok sangat berkomitmen untuk membangun hydropower di Papua, apalagi perusahaan ini memang merupakan pabrik batrei (litium) terbesar di Tiongkok.
Data yang berhasil dihimpun Jubi kawasan Mamberamo juga memiliki potensi tambang mulai dari nikel, batu bara, aluminium, minyak, dan gas bumi. Sedangkan di Kabupaten Sarmi terdapat potensi pasir besi sebagai bahan baku besi baja stell. Potensi hydro power sangat penting untuk interkoneksi dengan pabrik tambang aluminium dan pasir besi sebagaimana direncanakan Menristek BJ Habibie di era Presiden Soeharto. Gagasan bendungan Mamberamo juga mendapat dukungan penuh dari mantan Gubernur Papua, Barnabas Suebu. Bahkan Suebu mengundang konsultan pembangkit listrik tenaga air dari Jerman untuk melakukan studi kelayakan proyek Mamberamo.
Tambang emas Solomon Island
Sebulan setelah Kepulauan Solomon mengalihkan hubungan diplomatik dari Taiwan ke Tiongkok, perusahaan-perusahaan asal Tiongkok mulai membangun dan berinvestasi di negara kepulauan yang berbatasan dengan Bougainville ini.
Jubi mengutip dari www.abc.net.au menyebutkan perusahaan-perusahaan Tiongkok akan membangun dan mengendalikan fasilitas listrik dan pelabuhan, jalan, rel, dan jembatan di sebuah pulau di Kepulauan Solomon, sebagai bagian dari kesepakatan $ 825 juta untuk menghidupkan kembali tambang emas yang ditinggalkan, menurut rincian kontrak baru.
Perjanjian proyek emas yang dijelaskan oleh Duta Besar Tiongkok, Xue Bing, sebagai “panen awal” dari ikatan diplomatik baru antara Beijing dan Honiara, memberi kepentingan iongkok pijakan yang meningkat di Pasifik, jauh di bawah pengaruh Amerika Serikat dan sekutunya.
Sebaliknya, penduduk setempat awalnya menyatakan kekhawatiran bawah kesepakatan tambang Gold Ridge akan membebani negara kepulauan itu dengan hutang, namun mereka yang menghadiri upacara akhir pekan di lokasi tambang diberitahu bahwa Solomon tidak akan membayar untuk infrastruktur proyek.
Sebuah perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh Wanguo International Mining yang terdaftar di Hong Kong, yang memiliki hak proyek, akan mempertahankan kepemilikan infrastruktur terkait proyek apa pun, sesuai dengan ketentuan proyek yang disampaikan kepada peserta.
Wanguo telah mengontrak China State Railway Group milik negara dengan nilai sebesar $ 825 juta untuk menyelesaikan pekerjaan dalam beberapa fase.
Pemilik, sebelumnya, St Barbara yang terdaftar di Australia, menjual tambang itu dengan nominal $ 100 kepada kelompok pemilik tanah pada 2015, dan kelompok itu melanjutkan untuk mendapatkan bunga dari perusahaan Tiongkok yang berbasis di Australia, AXF Resources, dan kemudian Wanguo.
Perwakilan Solomon berulang kali diyakinkan bahwa negara Pasifik tidak akan dikenai “perangkap utang”, sebuah tuduhan yang digunakan terhadap Tiongkok oleh Amerika Serikat.
Anggota parlemen oposisi Solomon, Peter Kenilorea, mengatakan perjanjian Gold Ridge tidak jelas dan syarat-syaratnya perlu dijelaskan dengan lebih baik.
Ukuran kontrak telah membingungkan analis pertambangan, mengingat operator swasta masa lalu telah berjuang untuk membuat tambang analisa agar bisa menguntungkan.
Analis pertambangan independen yang berbasis di Australia, Peter Strachan, mengatakan perjanjian itu “jauh melampaui” untuk proyek emas yang relatif rendah dengan cadangan sederhana.
Rainbow City di Vanuatu
Pulau Efate di Vanuatu, pulau yang indah ini pernah dikunjungi oleh bintang film AS Will Smith pada Agustus 2019 karena keindahan alam dan gunung berapi aktif di Samudera Pasifik. Tak heran kalau investor asal Tiongkok membangun Rainbow City. Wilayah ini tadinya hanya berupa hamparan padang rumput di Pulau Efate, Vanuatu. Tapi kini kawasan itu disebut-sebut sebagai cikal-bakal “Singapura Kecil” di Pasifik.
Dalam 10 tahun ke depan, rumput-rumput akan diganti dengan aspal jalanan dan tanah-tanah pun ditimbun demi membangun apartemen dan pusat perbelanjaan. Pulau ini yang juga terletak Port Villa ibukota Vanuatu akan berubah menjadi surge kecil bagi orang-orang asing yang hendak melancong ke Vanuatu.
Meski Amerika Serikat dan Australia sekutu terkuat di Pasifik Selatan merasa was-was dengan menguatnya investasi Tiongkok di Vanuatu, mulai dari pembangunan pelabuhan hotel berbintang termasuk kawasan Rainbow City. Tentunya Tiongkok juga akan berinvestasi dengan perusahaan penangkapan ikan di Samudera Pasifik atas konsesi kerja sama perikanan.
Infrastruktur di Fiji
Mantan pemimpin kudeta di Fiji, Kolonel Sitiveni Rabuka, kepada ABC news mengakui Fiji memang membutuhkan pembangunan infrastruktur tetapi jangan sampai mengorbankan kepentingan masyarakat setempat. Sitiveni Rabuka yang kini menjadi pemimpin oposisi dalam kudeta militer di Fiji era 1980-an memrotes karena hampir sebagian besar kepentingan bisnis dan ekonomi dikuasai oleh kaum migran dari India.
Investasi Tiongkok terus mengalir ke Fiji dan diperkirakan akan meningkat. Menteri Ekonomi Fiji, Aiyaz Sayed-Khaiyum, mengatakan di Parlemen bahwa investasi asing langsung di Fiji diperkirakan 706 juta dolar Fiji (sekitar 323,9 juta dolar AS) untuk tahun keuangan 2019/2020, meningkat 5 persen.
Dia mengatakan bahwa investasi di Fiji selama dekade terakhir telah berkembang dan merampingkan proses pendaftaran juga telah membantu menarik lebih banyak investasi asing.
Menteri Industri, Perdagangan, dan Pariwisata Fiji, Premila Kumar, mengatakan investasi asing dan lokal langsung telah menghasilkan 613 juta dolar Fiji (sekitar 281,3 juta dolar AS) untuk ekonomi Fiji dari Agustus 2018 hingga Mei 2019.
Menteri mengatakan sebelumnya bahwa 87 proyek dibangun oleh investor asing sementara 47 proyek lainnya dibangun oleh investor lokal.
Sebanyak 277 proyek investasi Tiongkok bernilai sekitar 2,36 miliar dolar Fiji (sekitar 1,08 miliar dolar AS) berhasil dilaksanakan di negara kepulauan itu, selama lima tahun terakhir.
Jebakan utang dan sabuk satu jalan
Kehadiran Tiongkok di Pasifik diyakini pula karena keterlambatan negara-negara barat khususnya Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, Perancis dalam membangun infrastruktur di wilayah Pasifik Selatan. Padahal dalam Perjanjian Canberra, 1947, saat pembentukan Komisi Pasifik Selatan atau South Pasific Commision untuk pembangunan ekonomi dan sosial di wilayah Pasifik Selatan termasuk persiapan dekoloniasi bagi kemerdekaan negara negara kecil di Pasifik Selatan.
Sayangnya proyek inisiatif Sabuk Satu Jalan (BRI) atau sabuk ekonomi jalur sutra merupakan pertaruhan besar Tiongkok abad ini terlanjur masuk ke Pasifik Selatan dengan berbagai tawaran menggiurkan.
Presiden Tiongkok, Xi Jinping, pada 2013 pertama kali memprakarsainya dengan sebutan Satu Sabuk, Satu Jalan. The Guardian menaksirkan BRI akan menghabiskan dana sebesar US 1 triliun. Presiden Xi ingin menjadikan Tiongkok sebagai pusat pertumbuhan ekonomi global, khususnya di Asia.
Belajar dari proyek Pelabuhan Hambantota di Srilanka merupakan contoh nyata dan bisa menjadi pelajaran berharga bagi negara mana saja yang hendak menerima pinjaman tanpa syarat dari Tiongkok.
Srilanka dilanda aksi protes ketika dipaksa harus menyerahkan pengelolaan pelabuhannya ke Tiongkok – dalam bentuk sewa 99 tahun. Penyerahan itu terpaksa dilakukan demi menghapus utang Srilanka sekitar 1 miliar dolar AS ke Beijing. Bantuan pinjaman dan bantuan Tiongkok di Pasifik Selatan telah meningkat menjadi 1,8 miliar dolar dalam waktu satu dekade. Sejumlah negara kini sudah sangat bergantung pada utang dari Beijing.
Tiongkok malah menjanjikan untuk mengucurkan 5,8 miliar dolar AS di seluruh kawasan Pasifik. Di Papua Nugini misalnya, Beijing menjanjikan kucuran pinjaman tanpa syarat sebesar 3,5 miliar dolar AS untuk pembangunan infrastruktur jalan dari Port Moresby ke kawasan pedalaman.
Tanner Greer, penulis dan analis yang sebelumnya berbasis di luar Beijing, Tiongkok. Riset Greer berfokus pada evolusi pemikiran strategis Asia Timur mulai dari era Sunzi hingga saat ini menyebutkan kekhawatiran mulai tumbuh ketika strategi pengembangan bernilai satu triliun dolar Xi telah berayun jauh dari jantung Eurasia ke Pasifik Selatan, Afrika Barat, dan Amerika Latin. Banyak pihak di Amerika takut bahwa Inisiatif Sabuk dan Jalan adalah perpanjangan dari upaya Partai Komunis Tiongkok untuk merusak arsitektur keamanan dan ekonomi tatanan internasional. Kekhawatiran akan Tiongkok yang berkembang sebagian besar datang dengan mengorbankan institusi internasional dan pengaruh Amerika.
Greer juga memberikan pengalaman di Maladewa. Partai Progresif Maladewa pro-Tiongkok digulingkan pada 2018 oleh Partai Demokrat Maladewa, yang menjalankan platform yang secara tegas menolak inisiatif tersebut.
Presiden baru Maladewa menyebut Inisiatif Sabuk dan Jalan sebagai “penipu besar” dan “perangkap utang” yang harus ditinggalkan atau dinegosiasikan ulang.
Dia memiliki semangat yang sama dengan Mahathir Mohamad, Perdana Menteri baru Malaysia, yang menggambarkan proyek-proyek Inisiatif Sabuk dan Jalan sebagai bentuk “kolonialisme baru” yang harus ditolak. Upaya pemerintah Tiongkok untuk menciptakan kecenderungan pro-Tiongkok yang stabil di Sri Lanka hanya memunculkan ketidakstabilan politik, dengan Presiden Maithripala Sirisena meluncur makin jauh dari politisi Sri Lanka yang terhubung ke Tiongkok ketika situasi membutuhkan. (*)
Editor: Dewi Wulandari