Papua No. 1 News Portal | Jubi
Dinas Kesehatan Papua memutuskan untuk membatalkan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Divisi Regional Papua dan Papua Barat untuk mengintegrasikan pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) dengan Kartu Papua Sehat (KPS) 2019.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua, Aloysius Giyai, mengatakan seharusnya MoU sudah ditandatangani.
“Namun karena masalah validasi data kita putuskan pending tahun depan,” kata Giyai, melalui siaran pers yang diterima Jubi pada Jumat, 3 Mei 2019.
Giyai menyebutkan pembatalan dilakukan karena dalam diskusi membahas integrasi JKN-KIS dan KPS antara seluruh kepala dinas kesehatan dan direktur rumah sakit dengan pihak BPJS, terjadi perdebatan yang alot tentang validasi data penerima manfaat sehingga belum ada kesepatan upaya mengatasi pasien Orang Asli Papua (OAP) yang belum memiliki Nomor Induk Kapendudukkan (NIK) atau tak punya E-KTP saat datang berobat.
“Permasalahan yang paling urgen adalah validasi data yang dimiliki oleh BPJS, kita di provinsi sudah siap membayar premi untuk 513.932 orang dengan total biaya Rp142 miliar, tapi datanya tak dibuka oleh BPJS, berapa kuota tiap kabupaten, BPJS tidak bisa membuka ‘by name by address’ per kabupaten,” ujarnya.
Belum lagi, kata Giyai, ada kabupaten yang sudah membiayai BPJS dengan membayar dana PBI per tahun seperti Keerom, sehingga berpotensi pendobelan. Hal itu berbahaya saat diaudit yang bisa menjerat BPJS maupun Dinkes.
“Kami akan berikan kesempatan kepada semua Dinkes di seluruh kabupaten/kota untuk bekerja sama dengan Dinas Sosial dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil agar selama 2019 ini agar bisa merampungkan validasi data kependudukan dan sedapat mungkin membuat perekaman E-KTP bagi warga asli Papua,” katanya.
Selain itu, kata Giyai, permasalahan lain yang diperoleh dari presentasi dinas kabupaten/kota, dana KPS yang sudah ditetapkan TPAD Provinsi Papua yang seharusnya diambil dari Dana Otsus kabupaten ternyata tahun ini tidak ada.
“Artinya, ketika kita belum MoU dengan BPJS untuk integrasi, pasien OAP di kabupaten akan terlantar karena KPS tidak ada, saya harap, Kepala Dinas dan Direktur rumah sakit di 29 kabupaten/kota bersama-sama dengan Dinkes Papua untuk menghadap Gubernur Papua dan Kepala BPJS untuk menjelaskan semua ini,” ujarnya.
Giyai juga memastikan untuk pelayanan kesehatan di tiga rumah sakit milik Pemprov Papua, rumah sakit mitra Pemrov Papua, rumah sakit rujukan luar Papua, klinik keagamaan, dan penerbangan tetap berjalan selama 2019 karena dananya sudah dianggarkan.
“Yang bermasalah dengan penundaan ini, ya pembiayaan OAP di rumah sakit kabupaten-kabupaten karena dananya awalnya diminta melekat pada Dana Otsus di kabupaten, ternyata tidak,” katanya.
Karena itu, tambah Giyai, terkait dana Rp142 miliar yang rencana dipakai untuk membayar premi kepada BPJS tahun akan ditindaklanjuti dengan membuat surat kepada Gubernur lewat TPAD agar ditinjau kembali.
“Supaya uang tersebut dibagikan kembali ke rumah sakit di kabupaten-kabupaten,” ujarnya.
Persoalan Keterbukaan Data
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Keerom, Ronny Situmorang, mendukung langkah Dinas Kesehatan Papua untuk melakukan integrasi JKN-KIS dengan KPS. Hanya saja, ia melihat belum ada keterbukaan data kuota ‘by name by address’ dari BPJS untuk tiap kabupaten. Maka keputusan menunda integrasi hingga tahun depan adalah langkah yang bijak.
“Kami salah satu kabupaten yang menerima penghargaan dari Presiden Jokowi untuk 2019 karena UHC (Universal Health Coverage), jadi pembiayaan kesehatan semua penduduk Keerom itu kita tanggung, yang jadi pertanyaan sekarang kalau terjadi integrasi JKN-KIS dan KPS, kami perlu tahu data tanggungan dari Pusat melalui JKN itu kuotanya berapa orang penduduk Keerom yang ditanggung provinsi dan berapa oleh kabupaten, ini harus jelas biar tidak tumpang tindih dan kami bisa tidak terbebani,” katanya.
Direktur RSUD Wamena, dr. Felly Sahureka, mengatakan bahwa pihaknya kecewa dengan kinerja BPJS di Kabupaten Jayawijaya. Sebab menurut pengalamannya, BPJS terkesan cuci tangan ketika berhadapan dengan masalah data administrasi pasien.
“Pasien datang, petugas RSUD yang berhadapan dengan mereka dapat marah bahkan dapat pukul, tadi BPJS bilang sudah 99 persen penduduk di Jayawijaya, ini omong kosong,” katanya.
Sebab, katanya, pasien yang memiliki NIK atau membawa KTP saja ditolak.
“Karena kami petugas kesehatan yang sehari-hari menghadapi pasien, BPJS mana? Belum lagi masalah jasa medis selama empat bulan ini belum dibayar,” katanya.
Kepala BPJS Divisi Regional Papua-Papua Barat mengatakan pada intinya pihaknya selaku penyelenggara jaminan kesehatan hanya menerima data yang memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK) dari pemerintah daerah.
“Sekali lagi saya tegaskan bahwa kami tidak bisa terima tanpa NIK, sistem kami menolak cetak kartu kalau tanpa NIK, ini harus kita sepakat dulu, untuk keluhan Ibu Direktur RSUD Wamena, sekali lagi bukan kami yang menentukan jumlah pasien, pemda setempat yang menentukan, kami tak punya kewenangan untuk menentukan siapa-siapa yang dapat kartu, kami hanya menerima data dari pemda dan yang punya NIK,” katanya. (*)
Editor: Syofiardi