Papua No. 1 News Portal I Jubi,
Apia, Jubi – Perjuangan Papua Barat (Papua) mungkin masih jauh dari kemenangan bagi masyarakat di sana, namun pada pertemuan Pemimpin Forum Kepulauan Pasifik (PIF) ke-48 lalu, para demonstran lokal yang menaikkan isu ini bisa mengklaim kemenangan moral.
Kenyataan sederhana bahwa West Papua diakui dalam komunike resmi PIF merupakan langkah kecil ke arah yang benar. Sebagian orang mungkin mengatakan ini saja tidak cukup, namun perlu juga diakui bahwa langkah yang kecil ini lebih baik daripada tidak ada langkah sama sekali.
Di sisi lain, Pemerintah Samoa juga harus bangga dan percaya diri karena telah memungkinkan kebebasan paling dasar dalam demokrasi sudah dijalankan dan mengizinkan demonstrasi(solidaritas West Papua) itu berlanjut – meskipun ada sebuah insiden kecil di mana demonstran diminta untuk menunjukan izin mereka.
Realita di lapangan bahwa kelompok yang melakukan protes diizinkan untuk mengekspresikan pandangan mereka tanpa ada yang terseret ke sel-sel Polisi, seperti yang sering kita lihat dalam aksi-aksi seperti ini, adalah pertanda baik bagi Samoa.
Satu-satunya halangan adalah ketika Polisi menuntut izin dari para demonstran, padahal dari informasi yang diberitahukan kepada kami, izin semacam itu tidak diperlukan.
Kami bukan pengacara, tapi hal-hal seperti ini adalah sesuatu yang perlu diklarifikasi untuk ke depannya. Apakah mungkin Polisi membuat kesalahan, seseorang harus menerima dan mengakui kesalahan itu.
Yang kami tahu adalah bahwa protes yang kedua berlangsung tanpa hambatan. Ini sangat melegakan kami.
Kami dapat mengatakan ini karena, dimanapun demonstrasi terjadi, tidak pernah ada jaminan bahwa tidak akan terjadi konfrontasi. Di negara-negara yang paling jauh sekalipun, kita sering melihat konfrontasi seperti ini berubah garang, sangat garang.
Namun di Apia minggu lalu, walaupun terjadi beberapa adegan keras, akal sehat akhirnya menang dan aksi tersebut berakhir dengan baik dan hal itu menunjukkan pelestarian demokrasi di Samoa.
Kenyataan bahwa Sekretaris Jenderal Sekretariat PIF, Dame Meg Taylor, datang mendekati demonstran dan mengakui pandangan dan tuntutan kelompok demonstran tersebut menunjukkan rasa saling menghormati yang kita miliki di Pasifik.
Taylor bisa saja mengabaikan para pemrotes, tapi ternyata dia memilih untuk mengakui keberadaan mereka dan menemui mereka.
Terlebih lagi, pengakuan akan isu Papua di komunike resmi ini justru sangat menggembirakan karena ini menunjukkan bahwa isu pelanggaran hak asasi manusia di Papua tidak diabaikan, seperti yang telah diungkapkan beberapa oknum.
Seperti tertulis di Komunike: "Para pemimpin mengakui pelibatan konstruktif oleh negara-negara Forum dengan Indonesia mencermati pemilihan dan hak asasi manusia di Papua Barat dan Papua dan untuk terus melanjutkan dialog secara terbuka dan konstruktif."
Nah poin ini bagus, bukan?
Yang juga cukup menarik, yang benar-benar membuat respon resmi Indonesia kepada para pemrotes tidak relevan. Minggu lalu, Duta Besar Indonesia untuk Selandia Baru, Samoa dan Tonga, Tantowi Yahya dengan penuh amarah mengkritik demonstrasi tersebut.
“Komunitas Pasifik harus berpedoman pada agenda utama konferensi yang adalah Pasifik Biru. Anda tahu semuanya harus terhubung dengan tema itu,” katanya.
“Menurut kami, berbicara tentang Papua Barat dalam konferensi ini bukan tempat yang tepat karena sejak awal ini tidak ada dalam agenda itu.”
Salah satu kolega Duta Besar, Joku turut marah dan meninggikan suaranya dihadapan wartawan yang hadir.
“Tidak! Kami hanya berpegang pada agenda utama … tapi bukan orang Papua, “ katanya bersikeras bahwa Forum bukan tempat untuk diskusi masalah ini.
Mungkin seseorang seharusnya mengingatkan Pak (Tantowi) Yahya dan Pak Joku bahwa ini bukan Indonesia.
Ini adalah Samoa dimana semua orang diizinkan mengutarakan pandangan dan pendapat mereka.
Lagi pula, siapa yang memberi mereka hak untuk mendikte apa yang bisa dan tidak bisa didiskusikan di PIF?
Kalian semua, ini adalah Forum Kepulauan Pasifik yang diadakan di Apia dimana semua orang Samoa bebas melakukan apapun yang mereka inginkan di negara mereka sendiri.
Protes minggu lalu sangat sah karena, terakhir kali kami periksa, kami adalah individu bebas yang diizinkan untuk melakukan demonstrasi dan mengekspresikan diri dengan bebas. Jadi kami senang bahwa para pemrotes ini menggunakan kebebasan mereka dibawah demokrasi.
Mari kita berharap bahwa momentum ini tidak hilang begitu saja dan, pada pertemuan PIF yang berikutnya, isu pelanggaran hak asasi manusia di West Papua akan lebih sedikit menonjol dalam komunike dan pejabat-pejabat seperti Joku dan Yahya akan belajar untuk meninggalkan pola pikir kediktatoran mereka di negara mereka sendiri.
Bagaimana menurut kalian?
Semoga hari kalian menyenangkan Samoa, Tuhan memberkati! (Elisabeth C. Giay)
*Ditulis oleh Mata’afa Keni Lesa, seorang editor di Samoa Observer