Ingin cegah kerusuhan di Kepulauan Solomon lagi, dialog sebagai solusi

Massa melakukan aksi unjuk rasa di luar gedung parlemen Kepulauan Solomon Honiara. - Evan Wasuka

Papua No.1 News Portal | Jubi

Honiara, Jubi – Setelah beberapa hari penuh kekerasan dan kerusuhan, ibu kota Kepulauan Solomon, Honiara, tenang untuk saat ini – setelah puluhan usaha dibakar dan banyak lainnya dijarah.

Masih ada kekhawatiran bahwa kerusuhan itu akan berlanjut ketika mosi tidak percaya diajukan terhadap Perdana Menteri, Manasseh Sogavare, akan dilakukan minggu depan. Mengantisipasi itu, tokoh-tokoh politik penting telah menawarkan diri sebagai mediator, termasuk diantaranya Premier Provinsi Guadalcanal, Francis Sade.

“Kami telah menyaksikan langsung kerusakan yang terjadi di Honiara, pada properti dan usaha. Kerusakan itu menyebabkan banyak kerugian dan itu bukanlah sesuatu yang baik untuk negara dan ekonomi ini, jadi kepentingan untuk membawa kedua pihak ke meja untuk berdialog itu sangat mendesak, karena kami perlu kedua belah pihak – dari Malaita dan pemerintah pusat – untuk menjelaskan pendirian mereka sehubungan dengan kebuntuan yang sedang berlangsung,” tegas Sade.

Seorang pensiunan pegawai negeri senior, Ethel Sigimanu, baru-baru ini telah membentuk sebuah yayasan yaitu Malaita Women Leaders and Mothers’ Dialogue, dan dia juga menekankan bahwa perdamaian yang berkesinambungan dapat dicapai melalui negosiasi.

“Kami khawatir akan keselamatan kami, sama seperti apa yang pasti dirasakan oleh siapa pun dalam situasi seperti ini. Kami tidak bangga melihat apa yang terjadi. Kami tidak mendukung kekerasan, atau kerusuhan, tetapi kami percaya bahwa ada jalan keluar, dan itu mungkin dapat dicapai melalui dialog antara pemerintah dengan pihak-pihak terkait.”

Akibat kerusuhan tersebut ratusan orang telah kehilangan tempat tinggalnya, dan menurut Sigimanu, sulit bagi mereka untuk mendapatkan makanan untuk keluarga.

“Situasi ini sangat pelik karena di daerah perkotaan kami bergantung pada toko-toko untuk kelangsungan hidup kami. Sebenarnya ada juga alternatif untuk membeli makanan dari pasar, di mana petani-petani lokal membawa produk mereka untuk dijual, tetapi itu juga terpengaruh karena pergerakan di dalam kota dan ke pasar sekarang terbatas.”

Menurut perkiraan, diperlukan waktu yang lama sebelum usaha-usaha bisa kembali buka. (Pacific Beat)

 

Editor: Kristianto Galuwo

Leave a Reply