Jubi | Portal Berita Tanah Papua No. 1,
Jakarta, Jubi – Lembaga Institute Criminal Justice Reform (ICJR) mendesak pemerintah untuk mengakhiri hukum cambuk qanun jinayat atau hukum pidana Islam di Aceh yang di dalamnya terdapat pelanggaran-pelanggaran hukum internasional dan hukum pidana nasional.
"Hukum cambuk telah digunakan sebagai penghukuman sebagai bagian dari serangkaian 'tindak pidana', termasuk menjual minuman beralkohol (khamar), hubungan seksual di luar ikatan perkawinan (zina), dan berduaan di dalam suatu tempat tertutup bersama orang lain yang berbeda kelamin di luar ikatan perkawinan (khalwat)," kata Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi Widodo Eddyono melalui keterangan tertulis yang diterima Antara di Jakarta, Minggu (23/10/2016).
Supriyadi mengatakan bahwa pada tanggal 23 Oktober 2016 tepat sudah 1 tahun pemberlakuan qanun jinayat di Aceh. Sebelumnya, Pemerintah Aceh dan DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh) mengesahkan Qanun (Peraturan Daerah) Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat dan efektif berlaku pada tanggal 23 Okober 2015.
Dalam aturan tersebut, ada 10 tindak pidana utama yang diatur dalam qanun ini dan yang mencakup 46 jenis tindak pidana baru yang memberikan ancaman pidana cambuk bagi pelakunya.
Menurut Supriyadi, qanun yang setara dengan peraturan daerah ini menduplikasi pengaturan pidana di KUHP dan UU lainnya di Indonesia. "Ini menimbulkan dualisme penegakan hukum pidana di NAD, khususnya untuk pasal-pasal kesusilaan yang telah diatur dalam KUHP," ujar Supriyadi.
Qanun jinayat juga melegitimasi penggunaan hukuman badan atau tubuh (corporal punishment) di Indonesia, yakni cambuk. Padahal sistem pemidanaan di Indonesia secara tegas melarang penggunaan hukuman cambuk. Penggunaan hukuman cambuk ini juga masuk dalam kategori penyiksaan, hukuman kejam tidak manusiawi, dan merendahkan martabat.(*)