Papua No. 1 News Portal | Jubi ,
Oleh: Hari Suroto
Salah satu bentuk lahan yang dipilih manusia prasejarah sebagai lokasi pemukiman adalah danau, karena memiliki potensi sumberdaya alam yang dapat diandalkan untuk menopang kehidupan sehari-hari.
Lokasi pemukiman yang dipilih dekat sumber air, karena air merupakan keperluan pokok makluk hidup termasuk flora dan fauna. Pemilihan lokasi pemukiman dekat sumber mata air yang memiliki flora dan fauna telah dipertimbangkan sebelumnya agar kebutuhan hidup terpenuhi dari lingkungan sekitar danau.
Danau Sentani memiliki luas 25,5 km2 atau sekitar 9.630 ha dan kedalamannya bervariasi hingga mencapai 140 meter. Masyarakat Sentani bermukim di tepi Danau Sentani dan pulau-pulau di Danau Sentani yang tersebar di tiga wilayah, yaitu: wilayah Sentani Timur, Sentani Tengah, dan Sentani Barat.
Menurut cerita dan mitos yang dipercaya masyarakat Sentani, disebutkan bahwa nenek moyang suku Sentani berasal dari Sepik Timur, Papua Nugini. Pada awal kedatangannya di Danau Sentani, mereka menetap di tiga tempat, yakni Bukit Yomokho, Pulau Ajauw, dan Pulau Kwadeware. Dari ketiga tempat inilah mereka kemudian menyebar ke wilayah Danau Sentani.
Survei permukaan tanah yang dilakukan Balai Arkeologi Papua pada 2010 di Bukit Yomokho guna menindaklanjuti laporan dari masyarakat bahwa pekerja yang sedang meratakan lereng bukit dengan bulldozer, tanpa sengaja menemukan tulang manusia dan pecahan gerabah. Hasil survei permukaan di Bukit Yomokho didapatkan sisa-sisa tulang manusia, pecahan gerabah, lapisan konsentrasi moluska danau dan moluska laut serta beberapa bekas tiang rumah berbahan kayu soang (Xanthostemon sp.) yang masih tertancap di tepi danau.
Bukit Yomokho berada di wilayah Kampung Asei, yang berjarak kurang lebih 200 meter sebelah barat dari lokasi Festival Danau Sentani. Survei permukaan yang dilakukan di Bukit Yomokho, ditemukan konstruksi jajaran batu dan terdapat lapisan konsentrasi cangkang moluska di beberapa bagian sisi bukit. Hasil survei ini kemudian pada tahun 2011 dan 2012 ditindaklanjuti dengan melakukan ekskavasi (penggalian sistematis dan ilmiah) di Bukit Yomokho, bertujuan untuk mengetahui proses budaya serta pemilihan tempat tinggal manusia pendukung budaya Situs Yomokho.
Pada tahun 2011 pembukaan kotak ekskavasi dilakukan satu di atas bukit dan satu di lereng bukit. Pada tahun 2012 membuka 5 kotak, satu kotak di bukit bagian atas, tepat di ujung konsentrasi batuan yang tersusun memanjang, dua kotak di lereng bukit sebelah timur, dua kotak di lereng sebelah barat.
Pada dasarnya tujuan ilmu arkeologi dimaksudkan untuk merekonstruksi sejarah kebudayaan, merekonstruksi cara hidup manusia masa lalu, dan penggambaran proses perubahan kebudayaan (Binford, 1972:78).
Berkaitan dengan hal itu, maka hakikat dari penelitian ini lebih menekankan pada tujuan yang kedua melalui ragam temuan arkeologi yang memberi gambaran bentuk kehidupan manusia yang pernah berlangsung di Situs Yomokho.
Lokasi Bukit Yomokho yang dekat dengan danau, sungai, dan hutan sagu menjadikan bukit ini dipilih sebagai lokasi pemukiman. Selain itu karena faktor keamanan juga menjadi pertimbangan Bukit Yomokho dipilih sebagai tempat hunian, pada masa lalu sering terjadi perang antar kelompok, sehingga mereka memilih lokasi yang tinggi sebagai pemukiman, hal ini juga bernilai strategis dalam memantau musuh.
Kondisi Situs Yomokho berupa bukit dengan topografi miring, maka manusia pendukung Situs Yomokho dalam menentukan lokasi tempat tinggal, tentunya memiliki pertimbangan sendiri, yaitu dengan melihat kondisi permukaan bukit dan jenis tanah. Hasil ekskavasi menunjukkan bahwa temuan arkeologi banyak ditemukan di lapisan tanah warna hitam yang tebal.
Berdasarkan hasil ekskavasi menunjukkan bahwa hanya bagian lereng bukit sebelah timur yang memiliki temuan arkeologi beragam pada lapisan tanah hitam yang tebal. Diperkirakan bentuk rumah mereka adalah rumah panggung.
Hasil penelitian yang dilakukan di situs Yomokho menemukan temuan arkeologi yang beragam, yaitu fragmen gerabah hias maupun polos, manik-manik, cangkang moluska laut maupun moluska danau, arang, tulang binatang, dan tulang manusia.
Temuan-temuan arkeologi tersebut dapat memberi gambaran tentang perilaku dan pemanfaatan situs oleh manusia pendukungnya sebagai hunian masa awal sejarah. Hal ini didukung pula oleh keadaan lingkungan sekitar situs seperti danau dan hutan sagu sebagai sumber memperoleh makanan. (*)
Penulis adalah peneliti di Balai Arkeologi Papua