Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jakarta, Jubi – Aturan busana bagi anak dan perempuan di Indonesia diskriminatif buat para siswi, pegawai negeri perempuan, dan pengunjung perempuan ke kantor pemerintah serta seharusnya dicabut, kata Human Rights Watch dalam peluncuran laporan hari ini, pekan lalu.
Pemerintah seyogianya menegakkan Surat Keputusan Bersama buatan Februari 2021, yang melarang aturan busana yang sewenang-wenang dan diskriminatif bagi siswi serta guru perempuan di sekolah-sekolah negeri dan mengambil langkah hukum tambahan guna akhiri diskriminasi pada perempuan dan anak.
Laporan setebal 130 halaman, berjudul “’Aku Ingin Lari Jauh’: Ketidakadilan Aturan Berpakaian bagi Perempuan di Indonesia,” mendokumentasikan bagaimana berbagai peraturan pemerintah mewajibkan anak perempuan dan perempuan untuk mengenakan jilbab, busana Muslim yang menutupi kepala, leher, dan dada.
Human Rights Watch menerangkan sejarah bermacam peraturan wajib jilbab dan bagaimana perundungan yang terjadi secara luas untuk memakai jilbab telah menyebabkan tekanan psikologis pada perempuan dan anak perempuan. Anak yang tidak patuh dengan jilbab dipaksa keluar sekolah atau mengundurkan diri di bawah tekanan, sementara pegawai negeri perempuan kehilangan pekerjaan mereka atau mengundurkan diri untuk menghindari tuntutan terus-menerus memakai jilbab.
“Sejumlah peraturan dan kebijakan di Indonesia sudah terlalu lama memberlakukan aturan busana yang diskriminatif terhadap perempuan dan anak perempuan di sekolah dan tempat kerja. Ini melanggar hak mereka untuk bebas dari pemaksaan dalam beragama,” kata Elaine Pearson dari Human Rights Watch.
“Pemerintah pusat, provinsi, dan daerah seyogianya hentikan berbagai praktik diskriminatif ini dan membiarkan perempuan dan anak perempuan memakai apa yang mereka pilih tanpa mengorbankan hak mereka atas pendidikan atau pekerjaan.”
Sesudah keluhan ayah dari seorang siswi sekolah menengah di Padang, Sumatra Barat, menjadi viral, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menandatangani Surat Keputusan Bersama pada 3 Februari yang memungkinkan siswi atau guru untuk memilih pakaian apa yang akan dipakai di sekolah, dengan atau tanpa ‘atribut agama’.
Makarim mengatakan, sekolah negeri ‘salah menafsirkan’ peraturan seragam sekolah tahun 2014. Yaqut Qoumas mengatakan kasus Padang adalah ‘puncak gunung es’ dan aturan wajib jilbab selama ini digunakan untuk ‘pemaksaan, diskriminasi, intimidasi’ terhadap murid perempuan.
Human Rights Watch mendokumentasikan banyak kasus di mana para siswi dan guru beragama Kristen dan non-Muslim lain dipaksa memakai jilbab. Di Indonesia, istilah ‘jilbab’ biasanya dipadukan dengan rok panjang dan kemeja lengan panjang. Dalam Bahasa Inggris, penutup kepala ini lebih dikenal dengan istilah hijab.
Sejak 2001, berbagai pemerintah daerah telah mengeluarkan lebih dari 60 peraturan untuk menegakkan apa yang mereka klaim sebagai ‘busana Muslimah’. Sebagian besar dari hampir 300.000 sekolah negeri di Indonesia, terutama di 24 provinsi berpenduduk mayoritas Muslim, mewajibkan anak-anak perempuan beragama Islam untuk mengenakan jilbab sejak sekolah dasar.
“Setiap ada pelajaran agama, dan kapanpun pak guru agama Islam menghampiri, dia bertanya kenapa anak saya tidak berjilbab,” cerita seorang ibu dari siswi SMP Negeri di Yogyakarta kepada Human Rights Watch. Guru itu bahkan bertanya “Besok jilbabnya dipakai ya?” Putri saya hanya menjawab, “Ya, baik.” Tapi begitu dia pulang, dia cerita pada saya soal ketidaknyamanannya, “Mengapa mereka seperti itu ya, Ma?”
Pada tahun 2014, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan aturan seragam sekolah di mana digambarkan ‘busana Muslimah’ dengan rok panjang, kemeja lengan panjang, dan jilbab. Ia memberi kesan bahwa itulah satu-satunya pilihan bagi para gadis Muslim. Aturan itu mendorong dinas pendidikan di daerah untuk memperkenalkan peraturan-peraturan baru, yang pada gilirannya, mendorong ribuan sekolah negeri, dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, untuk menulis ulang tata terbit seragam sekolah, yang mewajibkan jilbab bagi Muslimah.
Mohammad Nuh, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang menandatangani peraturan tahun 2014, mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa peraturan itu memberi dua pilihan: kemeja lengan panjang, rok panjang, dan jilbab, atau seragam tanpa jilbab. Dia mengatakan, “Saya membuat peraturan itu. Tapi jilbab tidak wajib. Tidak ada kata wajib di sana.” Dia menekankan bahwa setiap siswi Muslim seharusnya bisa memilih apakah akan memakai jilbab atau tidak.
Banyak kepala sekolah mengakui bahwa aturan itu tidak mewajibkan jilbab, namun keberadaan gambar dalam peraturan tersebut, memungkinkan sekolah untuk menekan siswi Muslim memakai jilbab.
Berdasarkan Surat Keputusan Bersama yang baru, pemerintah daerah dan kepala sekolah diperintahkan mencabut semua aturan wajib jilbab sebelum 5 Maret 2021 dan sanksi akan mulai diberlakukan kepada kepala sekolah dan kepala daerah, yang tidak mematuhi keputusan itu, pada 25 Maret 2021. Menteri Pendidikan dan Kebudayan diberi wewenang untuk menahan dana Bantuan Operasional Sekolah untuk sekolah yang mengabaikan keputusan tersebut.
Surat Keputusan Bersama tersebut hanya mencakup sekolah negeri yang berada di bawah pengelolaan pemerintah daerah dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Ia tak meliputi sekolah negeri dan perguruan tinggi Islam di bawah Kementerian Agama. Ia juga mengecualikan Aceh, yang memiliki otonomi lebih besar daripada provinsi-provinsi lain, dan merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia, yang resmi menjalankan syariat Islam.
Laporan ini juga dilengkapi dengan lampiran yang menjelaskan berbagai aturan busana di Chechnya (Rusia), Prancis, Jerman, Iran, Arab Saudi, wilayah Suriah di bawah kekuasaan Negara Islam, Turki, dan Xinjiang di Tiongkok.
Hukum internasional menjamin hak setiap manusia untuk menjalankan keyakinannya, hak atas kebebasan berekspresi, dan hak atas pendidikan tanpa diskriminasi. Perempuan memiliki hak yang setara dengan laki-laki, termasuk hak untuk mengenakan apa yang mereka pilih.
Pembatasan apa pun terhadap hak-hak ini hanya bisa dilakukan demi tujuan yang sah, diterapkan dengan cara yang tidak sewenang-wenang dan nondiskriminatif. Aturan wajib jilbab, termasuk yang berlaku di Aceh, merongrong hak anak perempuan dan perempuan untuk bebas ‘dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun’ berdasarkan konstitusi Indonesia.
“Peraturan soal busana di Indonesia merupakan bagian dari serangan yang lebih luas oleh kelompok konservatif terhadap kesetaraan gender dan kemampuan perempuan dan anak perempuan untuk mendapatkan hak mereka, seperti pendidikan, mata pencarian, dan tunjangan sosial,” kata Pearson.
“Pemerintahan Jokowi harus memegang teguh dan menegakkan SKB Tiga Menteri ini yang melarang pemaksaan jilbab, dan kemudian melangkah lebih jauh dengan mengakhiri semua peraturan yang diskriminasi gender di sekolah atau tempat kerja.”
Untuk kutipan beberapa orang dari laporan ini silahkan lihat di bawah ini.
“’Aku Ingin Lari Jauh’: Ketidakadilan Aturan Berpakaian bagi Perempuan di Indonesia,” tersedia di sini:
https://www.hrw.org/news/2021/03/18/indonesia-dress-codes-discriminate-against-women-girls
Untuk informasi lebih lanjut tentang perempuan Indonesia yang menentang aturan wajib jilbab, silakan kunjungi:
https://www.hrw.org/news/2021/02/25/brave-indonesian-women-discuss-freedom-choose-what-wear
Untuk melihat laporan Human Rights Watch lainnya tentang Indonesia, silakan kunjungi:
https://www.hrw.org/asia/indonesia
Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi:
Di Jakarta, Andreas Harsono (Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia): +62-815-950-9000 (ponsel); atau harsona@hrw.org. Twitter: @andreasharsono
Di Sydney, Elaine Pearson (Bahasa Inggris): +61-400-505-186 (ponsel); atau pearsoe@hrw.org. Twitter: @pearsonelaine
Di San Francisco, Brad Adams (Bahasa Inggris): +1-347-463-3531 (ponsel); atau adamsb@hrw.org. Twitter: @BradMAdams
Di London, Rothna Begum (Bahasa Inggris, Bahasa Arab): +1-917-443-2221 (ponsel); atau begumr@hrw.org. Twitter @Rothna_Begum
Di Washington, DC, John Sifton (Bahasa Inggris): +1-646-479-2499 (ponsel); atau siftonj@hrw.org. Twitter: @johnsifton
Kutipan beberapa individu dari laporan ini
“Jika kami mencapai pelanggaran 100 poin, kami akan diminta mengundurkan diri dari sekolah. Kerudung haruslah tebal, tidak ada rambut yang terlihat, dan jilbab harus cukup lebar untuk menutupi dada. Baju harus cukup panjang untuk menutupi pinggul. Jika kerudung terlalu tipis atau terlalu pendek, guru akan [menggambar] tanda silang dengan spidol di baju atau jilbab. Begitu pula kemeja yang tidak menutupi pinggul akan dicoret.”
––Seorang perempuan, kini berusia 27 tahun, mengingat kembali pengalamannya dengan sistem skor di sebuah SMA Negeri di Solok, Sumatra Barat.
“Setiap ada pelajaran agama, dan kapanpun pak guru agama Islam menghampiri, dia bertanya kenapa anak saya tidak berjilbab.” Guru itu bahkan bertanya “Besok jilbabnya dipakai ya?” Putri saya hanya menjawab “Ya, baik.” Tapi begitu dia pulang, dia cerita pada saya soal ketidaknyamanannya, “Mengapa mereka seperti itu ya, Ma?” Saya menyadari bahwa pihak sekolah telah menekan para siswi untuk memakai jilbab meskipun kepala sekolah menyangkalnya.”
––Seorang ibu yang putrinya bersekolah di sebuah SMP negeri di Yogyakarta.
“Tidak ada aturan resmi buat dosen dan mahasiswi untuk pakai jilbab di kampus. Tapi tekanannya sangat kuat. Saya baca Kode Etik kampus. Hanya menyebut tata busana yang sopan. Saya selalu berpakaian sopan. Saya dapat komentar mengapa saya tidak menutupi rambut saya? Saya trauma akibat kejadian-kejadian itu. Kebanyakan orang di kampus ini menghakimi saya, langsung maupun tidak, hanya karena saya memutuskan untuk tidak memakai jilbab seperti yang mereka mau.”
––Seorang dosen kampus negeri di Jakarta yang akhirnya mengundurkan diri pada 2020, melepaskan status pegawai negeri.
“Kalau [anak] saya pakai jilbab, seakan-akan saya membohongi identitas agama saya. Ya kan? Di mana hak agama saya? Hak asasi saya? Apakah ini hanya imbauan atau kewajiban?”
––Elianu Hia, seorang ayah, datang di sekolah putrinya di Padang, Sumatra Barat saat seorang guru minta Elianu memastikan agar putrinya, Jeni, yang beragama Kristen, pakai jilbab. Elianu Hia mengunggah videonya ke Facebook. (*)
Editor: Dewi Wulandari