Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh Koroi Hawkins
Sebuah laporan yang baru dirilis menemukan, serangan buaya terhadap warga di Kepulauan Solomon meningkat secara signifikan selama satu dekade terakhir, dan akan meningkat jika didiamkan.
Diluncurkan bulan lalu, ‘Human-crocodile conflict in Solomon Islands’ adalah laporan akhir hasil survei nasional, yang dilakukan oleh Program WorldFish di 234 desa di seluruh Kepulauan Solomon, selama April dan Agustus tahun lalu.
Laporan itu merekam 225 serangan buaya di sana. Salah satu penulisnya, ilmuwan asal Belanda, Jan van der Ploeg, berkata jumlah serangan yang sebenarnya terjadi mungkin lebih tinggi lagi, karena masih banyak desa dan pulau-pulau yang belum dikunjungi dan diwawancarai.
Dalam periode 20 tahun, dari 1998 hingga 2017, 194 serangan buaya dilaporkan.
Sepertiga dari serangan ini berakhir dengan kematian: secara keseluruhan, 83 jiwa tewas terbunuh, 31 di antaranya adalah anak-anak.
Beberapa kisah mengerikan
“Pada 2008, Don Ricky sedang bermain-main di laut dengan beberapa anak dari desanya, New Land di Laguna Marovo, Provinsi Barat. Menjelang senja, anak-anak lainnya pulang, tetapi bocah berusia enam tahun itu kembali ke pesisir laut untuk mengambil bolanya yang tertinggal. Tiba-tiba seekor buaya menyeretnya ke laut. Penduduk desa tidak pernah menemukan jenazahnya.”
Jan van der Ploeg menghubungkan naiknya serangan buaya dengan berkembangnya populasi buaya air asin di negara itu, sejak pemerintah melarang ekspor kulit buaya pada 1993, sebagai bagian dari upaya global untuk mencegah kepunahan reptil predator itu.
“Saat itu, ketika manusia berhenti berburu buaya, populasinya memang sangat kecil, tetapi populasinya pulih dengan sangat cepat,” kata van der Ploeg.
Diperkirakan, saat ini, ada sekitar 1.400 dan 2.300 buaya air asin di negara ini.
“Jadi, jumlah buaya semakin banyak dan ukurannya juga lebih besar daripada yang diamati 20 atau 25 tahun lalu. Hal itu menyebabkan lebih banyak serangan, dan merupakan salah satu temuan utama dari laporan kami, jumlah serangan juga meningkat dan ini benar-benar mengkhawatirkan,” tutur Ploeg.
Persoalan rumit dan sulit diselesaikan
Dalam banyak budaya lokal dengan cerita kastom atau cerita rakyat, membunuh buaya itu dilarang, mereka digambarkan sebagai sesuatu yang tabu, hewan yang suci, atau perwujudan roh-roh leluhur, seperti yang disadur dari laporan tersebut di bawah ini.
“Dahulu kala, salah satu leluhur kita memiliki seorang putra. Ia dan istrinya sangat mencintai anak itu. Tetapi suatu hari mereka menyadari anak mereka memiliki ekor… Setelah itu, kerabat mereka dari desa lain mengunjungi mereka dan meneriaki bocah itu untuk mengusirnya, jadi bocah itu pergi ke Sungai Wairaha dan tempat itu telah menjadi rumahnya sejak saat itu. Ini adalah awal dari suku kami.”
Menurut laporan itu, setidaknya, rata-rata, lima orang terbunuh oleh serangan buaya setiap tahun di Kepulauan Solomon, selama satu dekade terakhir. Dalam beberapa bulan pertama 2018 saja ada 13 serangan, tiga di antaranya fatal.
Tahun ini saja, Kepolisian Kepulauan Solomon (RSIPF) menerima beberapa panggilan akibat masalah dengan buaya. Di Provinsi Malaita, kelompok dari RSIPF menangkap dan membunuh tiga ekor buaya setelah serangan terhadap seorang gadis 12 tahun pada tahun baru. Anak itu selamat tetapi mengalami luka-luka serius di kakinya.
Ploeg mengatakan laporan itu juga merekomendasikan beberapa hal, termasuk meningkatkan kesadaran mengenai keamanan bagi masyarakat yang tinggal di sekitar daerah yang sudah diketahui sebagai habitat buaya, memperbanyak pelatihan dan meningkatkan bantuan bagi polisi untuk memburu buaya yang ganas, dan melegalkan kembali penjualan produk buaya di Kepulauan Solomon.
“Jadi, kita perlu memastikan masyarakat di desa diberikan lebih banyak informasi tentang apa yang harus mereka lakukan ketika berhadapan dengan buaya. Dan jika masyarakat dihadapkan pada masalah yang serius terkait buaya dan mereka tidak dapat menyelesaikannya, maka Kepolisian Kepulauan Solomon bisa datang untuk membantu.”
Namun, setelah mengungkapkan rekomendasi-rekomendasi itu, Ploeg juga berkata, menurutnya, penting untuk diingat orang asli Kepulauan Solomon sudah hidup berdampingan dengan buaya selama puluhan ribu tahun dan telah memiliki praktik pencegahan tradisional mereka sendiri, termasuk selalu memancing dalam kelompok besar atau memastikan membawa senter yang terang saat berada di dekat air pada malam hari.
Mengenai implementasi dari rekomendasi laporan tersebut ke depannya, Ploeg menjelaskan, staf dari Kementerian Perikanan dan Kementerian Lingkungan Hidup Kepulauan Solomon sedang menyusun strategi manajemen buaya baru, yang rencananya akan diberikan kepada pemerintah baru yang akan muncul setelah Pemilihan Umum Nasional pada 3 April 2019.
Buaya air asin
Buaya air asin atau buaya muara (Crocodylus porosus) adalah reptil terbesar di dunia, dengan panjang spesies jantan dapat mencapai lebih dari 6 meter dan lebih dari 1.000 kg beratnya. Buaya air asin paling besar yang dilaporkan di Kepulauan Solomon panjangnya 5,9 meter, di Provinsi Isabel.
Predator puncak raksasa dan oportunistik ini memburu berbagai macam binatang, termasuk di antaranya ikan, kepiting, kura-kura, anjing, dan babi. Biasanya buaya menyergap mangsanya di dalam atau di tepi air laut. Hewan-hewan kecil ditelan utuh, sementara hewan yang lebih besar diseret ke air yang dalam, ditenggelamkan, dan kemudian mencabik-cabiknya. Buaya air asin yang dewasa umumnya juga menganggap manusia sebagai mangsa.
Manusia dan buaya air asin di Kepulauan Solomon sudah hidup berdampingan selama 30.000 tahun, dan buaya memainkan peran penting dalam sejarah dan budaya negara tersebut. Fakta ini mungkin paling baik diilustrasikan oleh fakta seekor buaya dapat dilihat di lambang coat of arms Kepulauan Solomon, di samping predator tingkat tinggi lainnya di pulau itu, ikan hiu. (RNZI)
Editor: Kristianto Galuwo