Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh : Erik Bitdana
Salah satu fenomena yang marak terjadi di tanah air kita adalah bencana alam. Bencana alam menjadi salah satu isu utama dalam media sosial, berita terkini (update news), dari tingkat lokal hingga mancanegara.
Tanpa terkecuali, berita-berita demikian menarik perhatian, sekaligus mengundang simpati publik menjadi saluran berkat “Peduli Bencana Alam”.
Bencana yang marak terjadi di Indonesia ialah banjir bandang, longsong, tsunami, gunung berapi, dan gempa bumi.
Bencana alam di Nusantara ini tanpa henti, terjadi kapan dan dimana pun, dengan situasi yang tak menentu, terjadi secara spontan. Artinya, tanpa disuruh atau diperintah oleh siapa pun dia menelan korban yang cukup signifikan.
Banyak di antara kita melihat, menyaksikan, mendengar, bahkan mengalami bencana secara langsung, maupun tidak langsung–melalui media massa; televisi, internet dan radio, serta surat kabar.
Semua ini membuat kita termenung dan bertanya-tanya; apakah bumi kita ini sudah tua? Ataukah tanda-tanda kedatangan akhir zaman? Atau bentuk kemarahan lain dari Tuhan atau bentuk protes lain dari alam lingkungan itu sendiri terhadap ulah manusia?
Secara manusiawi ungkapan spontanitas manusia akan timbul sesuai dengan persepsi masing-masing, berhubung bencana alam yang kian marak menimpa masyarakat Indonesia pada umumnya dan Papua khususnya. Dalam hal ini bencana alam yang terjadi di Papua adalah bencana alam banjir bandang di Doyo, Sentani, Kabupaten Jayapura (Cepos, 18/3/2019).
Bencana alam atau banjir bandang di Sentani dan sekitarnya merupakan suatu kejutan terbesar bagi penduduk dan warga Sentani, bahkan menggema ke seluruh Tanah Papua dan dunia.
Banjir bandang Sentani tahun ini adalah salah satu fenomena yang mengukir sejarah Papua–yang tercatat menelan korban terbesar dan mengkhawatirkan akan korban selanjutnya.
Mungkin juga banjir bandang ini menjadi pembuka bencana alam selanjutnya di Tanah Papua jika melihat situasi dan kondisi alam Papua, yang kini terancam oleh kehadiran pembangunan fisik yang kian berkembang.
Banjir bandang yang telah mengancam penduduk Sentani menyebabkan kedukaan terbesar bagi warga Papua, karena bencana alam ini menyebabkan kerusakan hutan, kehancuran rumah penduduk, hingga menelan korban yang tercacat sekitar 70-80 orang hingga ratusan nyawa hilang.
Tidak hanya itu longsor dan guyuran hujan yang tinggi mengakibatkan banjir dan luapan dari Danau Sentani hingga menenggelamkan ratusan rumah penduduk di sepanjang pinggiran Danau Sentani (Kompas 18/3/2019).
Di tengah situasi yang tak menentu ini, fenomena yang cepat berkembang adalah praduga (hoaks) tentang banjir bandang.
Banyak di antara kita yang mulai berspekulasi dengan mempersalahkan penduduk setempat, karena berkebun dan menebang pohon sembarangan, menjual tanah, alam marah, atau bentuk protes alam terhadap manusia karena ulahnya dan berbagai praduga lainnya.
Isu-isu ini berkembang begitu cepat melalui berbagai media, tulisan maupun lisan. Sebut saja hoaks yang merasuki pemahaman orang yang akhirnya memunculkan berbagai macam persepsi yang irasional. Artinya, persepsi yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya pun menjadi konsumsi publik.
Di balik fenomena ini, orang sudah mulai mengangkat mitos terjadinya Gunung Cycloop maupun mitos Danau Sentani. Fenomena ini bisa kita temukan lewat berbagai media sosial, maupun melalui tulisan di berbagai akun facebook, twiter, dan instragram, serta berbagai SMS yang beredar disertai foto-foto hasil editan yang diunggah pribadi-pribadi yang tak bertanggung jawab.
Tentunya hal-hal demikian akan memunculkan respons masyarakat yang berpandangan ‘negatif’, berlainan, pro dan kontra.
Akibatnya, kelompok pro membenarkan banjir bandang di Sentani sebagai tindakan alam terhadap manusia, yang lalai dari tugas dan tanggung jawabnya, dalam menjaga dan melindungi alam semesta, dengan menjual tanah sembarang.
Sementara kelompok lain berprasangka bahwa fenomena ini adalah hal biasa tanpa perlu disangkutpautkan dengan ajaran agama yang dianggap teguran dari Tuhan.
Ada lagi yang beranggapan bahwa bencana alam terus terjadi karena kemarahan dari Allah sendiri terhadap ulah manusia. Atau “alam Papua marah”, dan banyak prasangka negatif lainnya yang membawa masalah sosial.
Menurut saya bencana alam yang kian marak terjadi di lingkungan kita adalah salah satu bentuk teguran alam guna bertobat dan memperbaiki kesalahan manusia–sejauh mana kita manusia menerima dan memanfaatkan alam dan lingkungan hidup dengan baik dan benar, etis, dan bertanggung jawab
Jelaslah bahwa segala jenis akibat adalah sebab dari segala jenis perbuatan kita yang baik, benar, dan bermakna maupun yang buruk.
Oleh karena itu, saya membenarkan banjir bandang di Sentani atau di Indonesia dan dunia pada umumnya akibat ulah manusia itu sendiri terhadap keharmonisan lingkungan dan alam.
Ulah manusia yang sering menebang pohon dan menggali tanah yang berlebihan, serta membuang sampah tidak pada tempatnya menjadi sumber bencana.
Di lain sisi juga, saya mempertimbangkan akan perkiraan cuaca yang tidak bersahabat menjadi salah satu faktor terjadinya bencana alam, baik banjir, maupun longsor, karena perkiraan cuaca menurut BMKG angin, suhu dan kelembaban tinggi di Papua.
Juga secara umum letak Indonesia berada tepat di antara lempeng tiga benua: Pasifik di arah timur, Indo-Australia di arah Selatan dan Eurasia di Utara.
Jika melihat fakta ilmiah ini terlihat bahwa gempa bumi dan berbagai bencana alam lainya di Indonesia adalah hal yang wajar dan sama sekali tak berhubungan dengan kejadian atau prasangka apa pun, terlebih prsangka kepada Tuhan (NUonline, 2016).
Dengan situasi demikian, hendaknya kita selalu waspada terhadap bencana alam yang kian menimpa kita. Untuk itu, upaya yang perlu kita lakukan adalah melalui kesadaran diri.
Nilai kesadaran diri akan membantu kita memahami akan pentingnya menjaga dan melestarikan hutan dan lingkungan hidup–dengan tidak mengambil material tanah, kayu, dan batu secara berlebihan, tidak menjual tanah dan mengekspor kayu dan bahan material lainya dari tanah dimana kita hidup.
Hendaknya juga kita membuang sampah pada tempatnya demi menjaga kebersihan dan keindahan lingkungan akan terjaminnya kesehatan dan terhindar dari bencana alam, dengan menjaga kebersihan rumah dan lingkungan, mulai dari keluarga kecil. Niscaya semua manfaat akan kita peroleh dan nikmati dengan menanamkan rasa memilki yang tinggi.
Untuk itu, perlu membangun kerja sama yang produktif antara semua pihak. Marilah, sebagai orang berpendidikan perlu kita mempertimbangkan segala perbuatan kita akan dampak buruk maupun dampak baik, dan mengambil sikap kritis terhadap semua bencana alam maupun problematika sosial yang kita hadapi, agar kita tidak saling menyalahkan antar satu dengan yang lainnya, berdasarkan persepsi pribadi dan kelompok, serta menjadikanya hoaks.
Kita perlu membangun sikap kritis dan kerja sama di tengah keluarga, komunitas, pendidikan, agama, anggota TNI/Polro dan pemerintah–menjadi wadah pembawa pemahaman positif dan pemelihara perdamaian, dan menjaga tali persaudaraan untuk menjadi penyelamat manusia dan hutan atau lingkungan hidup.
Kerja sama kita akan baik bila di antara kita saling mendengarkan, memahami, menegur, memberi motivasi, mengoreksi dan saling menerima yang didasarkan atas cinta kasih dan persaudaraan melalui dialog.
Hal ini dirasa perlu karena kerja sama kita akan menentukan perkembangan harapan dan masa depan anak cucu kita ke depan, terutama dalam menjaga dan melestarikan tanah adat dan hutan lindung, dengan menanamkan nilai-nilai luhur dan moralitas sebagai anak adat, berpendidikan dan anak yang beragama melaui tindakan dan ucapan yang benar, baik terhadap manusia, maupun alam dan lingkungan dengan berpegang teguh pada ajaran agama dan adat.
Semuanya demi kebaikan umum serta menyelamatkan anak cucu, putra-putri penerus Papua. Karena “tindakan kita hari ini, akan menentukan akibat dan perkembangan anak cucu kita esok” (*)
Penulis adalah mahasiswa STFT Fajar Timur Abepura
Editor: Timo Marthen