Hilang ratusan tahun, sabuk peninggalan Tahiti akan dikembalikan

Sabuk Maro 'Ura dulunya berbentuk sabuk sepanjang empat meter, sekarang yang tersisa hanyalah potongan. - The presidency of French Polynesia
Sabuk Maro ‘Ura dulunya berbentuk sabuk sepanjang empat meter, sekarang yang tersisa hanyalah potongan. – The presidency of French Polynesia

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Puna’auia, Jubi – Museum Quai Branly yang benderang berada tepat di tepi Sungai Seine di Paris. Museum ini jauh dari Pulau Tahiti, tetapi di sinilah artefak sabuk Maro ‘Ura yang sudah ratusan tahun usianya bisa ditemukan.

Read More

Dulunya berbentuk sabuk sepanjang empat meter berhiaskan bulu berwarna merah menyala, sekarang yang tersisa hanyalah potongan seukuran satu lembar kertas A4.

Peneliti Guillaume Alévêque menemukan sabuk Polinesia tersebut di antara koleksi museum empat tahun lalu, dan berkata kepada wartawan setempat bahwa penemuan itu sangat penting. “Maro ‘Ura adalah objek yang paling penting, tentu saja yang paling berharga dan paling langka, bagi Arii atau kepala-kepala suku pulau-pulau Polinesia yang besar,” kata Aléveque.

Dan sekarang sabuk suci ini, atau setidaknya fragmen yang tersisa, akan dikembalikan ke Tahiti.

Dalam kesepakatan yang baru-baru ini ditandatangani oleh Presiden Polinesia Prancis dan Museum Prancis, Maro ‘Ura akan kembali ke wilayah kepulauan itu, mengambil tempatnya di Museum Tahiti and the Islands di Puna’auia di Tahiti.

Miriama Bono adakah direktur Museum Tahiti, dan mengatakan kembali bahwa peninggalan ini penting bagi orang-orang Polinesia Prancis.

“Meskipun Maro ‘Ura sudah hilang selama 250 tahun, sabuk itu masih sangat sering dipertunjukkan dalam pertunjukan dimana penari-penari membuat gerakan tari tentang sabuk suci itu,” katanya kepada Pacific Beat.

“Ini adalah semacam mitos yang penting bagi orang-orang di sini.”

Maro ‘Ura dikatakan mewakili sistem kepemimpinan adat, diturunkan dari generasi ke generasi, setiap pemiliknya seharusnya menambahkan sesuatu di kain sakral itu. Hal ini dijelaskan oleh Kapten Cook, yang menyaksikan Pōmare, raja pertama Tahiti, mengenakan Maro ‘Ura ini pada 1767.

Bono mengatakan bahwa Pōmare kemudian memberikan ikat pinggang itu kepada seorang misionaris Inggris, setelah itu tidak ada yang tahu persis bagaimana itu berakhir di museum Prancis.

Dan meskipun ada antisipasi besar atas kembalinya Maro ‘Ura ke Tahiti, sabuk ini hanya sebagai pinjaman, yang harus diperbarui izinnya setiap tiga tahun.

Bono menegaskan bahwa keputusan itu disebabkan oleh status Polinesia Prancis di bawah Prancis.

“Karena kita dari Prancis, kita tidak bisa meminta Prancis untuk memulangkan sesuatu kembali ke Prancis,” kata Bono.

Kembalinya benda-benda peninggalan adat ke negara asal mereka, merupakan keprihatinan yang meningkat bagi banyak kelompok pegiat hak adat.

Terri Janke, seorang pengacara hak-hak Pribumi yang berbasis di Australia, menegaskan bahwa masyarakat perlu segera dipertemukan kembali dengan artefak yang penting.

Miriama Bono menambahkan bahwa tujuan museum ini adalah untuk memungkinkan orang-orang di Pasifik, untuk melihat sendiri sejarah yang telah lama hilang ini. (Radio Australia/ Pacific Beat)

 

Editor: Kristianto Galuwo

Related posts

Leave a Reply