Hemolisis terkait sagu di PNG melonjak

Sagu di Provinsi Barat, PNG, biasanya digoreng. - Mikaela Seymour

Papua No.1 News Portal | Jubi

 

Oleh Mikaela Seymour

Sagu merupakan salah satu sumber karbohidrat terpenting di Papua Nugini (PNG). Bahan makanan ini dihasilkan dari pohon sagu (Metroxylon sagu), yang tersebar luas di dataran rendah negara itu, terutama di Provinsi Barat dan Sepik. PNG adalah produsen tepung sagu terbesar kedua di dunia.

Tanaman sagu itu sangat tangguh. Sagu dapat menahan keterbatasan dalam ketersediaan air, salinitas, dan keasaman tanah, dan sebagian besar penyakit tumbuhan dan hama. Pohon sagu yang benar-benar dewasa dapat menghasilkan sampai 300 kilogram pati saat pohon tersebut dipanen. Sekitar 100 gram sagu itu mengandung 86 gram karbohidrat, dengan indeks glikemik yang rendah yaitu 27. Sejak tahun 1970-an, sudah berulang kali diadakan simposium sagu internasional untuk mempromosikan investasi atas sagu sebagai sumber makanan yang dapat diandalkan, dan menganjurkan agar diadakan ekspansi.

Sayangnya, tanaman yang super ini juga dapat menyebabkan sebuah kondisi kesehatan yang mengancam nyawa, ini dikenal sebagai sago haemolytic disease. Pertama kali dilaporkan dalam literatur Barat pada tahun 1974, penyebab pasti dari kondisi ini masih tidak diketahui. Para peneliti menduga mikotoksin yang dihasilkan oleh jamur kemungkinan besar merupakan penyebabnya. Sagu di desa-desa itu dapat disimpan dalam kondisi aerobik, memungkinkan jamur untuk berkembangbiak di dalam tepung sagu, yang kemudian dikonsumsi oleh keluarga tanpa mereka sadari. Saat badan mereka mencerna sagu yang berjamur, jamur itu lalu diproses di dalam tubuh, menghancurkan sel-sel darah merah (ini dikenal sebagai hemolisis).

Para pasien yang datang mengunjungi saya dengan kondisi ini mengeluh merasakan nyeri perut, ada darah dalam urin mereka, sakit kepala berat, demam tinggi, kelemahan, dan kegelisahan. Walaupun penyakit ini dapat sembuh dengan sendiri, banyak pasien yang meninggal dunia karena tidak mendapatkan transfusi darah darurat sementara sel darah merah mereka terus hancur. Transfusi darah itu sulit dilakukan di pos-pos kesehatan yang terpencil tanpa akses ke listrik, air mengalir, jaringan radio atau telepon – di mana kita paling sering menerima pasien dengan kondisi ini.

Dalam sejarah modern, kondisi ini jarang dilaporkan. Prevalensi penyakit hemolisis terkait sagu sebelumnya diperkirakan hanya 5,8 dari 100.000 populasi, dengan tingkat kematian 35% pada periode 1988-1998. Namun, pada 2021 lalu, sembilan kasus dilaporkan di Stasiun Lake Murray, Puskesmas Boboa, sejak Januari hingga April.

Lonjakan kasus ini sangat meresahkan. Mayoritas penduduk di Provinsi Barat itu bergantung pada sagu sebagai makan untuk keluarga mereka, dan ancaman terhadap konsumsi sagu dapat mengancam ketahanan pangan di wilayah tersebut dengan signifikan.

Setelah berdiskusi dengan sejumlah tenaga kesehatan setempat dan anggota masyarakat di daerah Lake Murray, ada beberapa faktor potensial yang mereka percaya mungkin turut berkontribusi pada tingginya insiden kondisi itu tahun ini. Masyarakat lokal melaporkan bahwa mereka merasa ada iklim di daerah mereka itu lebih beragam, ini termasuk periode kekeringan yang parah, diikuti oleh hujan lebat, yang menyebabkan banjir yang belum pernah terjadi sebelumnya. Meskipun pohon sagu dapat tumbuh subur di bawah kondisi yang keras seperti ini, pembuatan pati sagu baik menggunakan tangan ataupun kaki, memerlukan air bersih dalam jumlah besar agar dapat disaring.

Sayangnya, banjir yang terjadi baru-baru ini juga merusak lubang toilet, jadi perempuan-perempuan harus membuang tanaman kebun yang terkontaminasi oleh kotoran. Banjir yang tinggi itu juga menutup jalan semak yang biasanya mereka gunakan dan akibat liangnya tergenang air, banyak spesies ular berbisa meningkatkan aktivitas mereka, sehingga tidak aman bagi keluarga-keluarga untuk memanen tanaman dari kebun mereka yang lebih jauh. Banjir juga telah mencemari sumber air mengalir, menyebabkan ada kluster penyakit diare. Hal ini menyebabkan masyarakat tidak dapat menggunakan sumber air yang biasanya digunakan untuk menyaring sagu, yang berarti sagu segar tidak dapat disiapkan.

Kombinasi faktor-faktor diatas ini menyebabkan keterbatasan pangan yang akut. Masyarakat hanya dapat bergantung pada sagu yang sudah disimpan di rumah.

Sejumlah pemimpin perempuan menekankan bahwa mereka pun tahu bahwa mereka tidak boleh menyimpan sagu untuk lebih dari satu bulan, tetapi kelangkaan makanan ini telah memaksa mereka untuk menggunakan sagu yang sudah disimpan selama lebih dari tiga bulan untuk memberi makan keluarga mereka. Mereka melaporkan bahwa mereka percaya diri dalam menilai tekstur, kekeringan dan bau sagu untuk menentukan apakah itu masih aman untuk dimakan, tetapi ketika mereka tidak punya makanan lain, mereka bersedia mengabaikan beberapa tanda bahaya tadi.

Metode penyimpanan sagu yang paling umum itu menggunakan baskom plastik tua atau wadah untuk disimpan didalam rumah masak. Ada kebiasaan yang sudah lama digunakan, dimana sagu dibungkus dengan daun pisang secara tradisional lalu diikat dengan erat. Metode ini menciptakan lingkungan yang anaerobik yang mencegah perkembangan jamur, bukan seperti menyimpan sagu dalam baskom. Sayangnya, metode yang lebih kuno dan lebih sulit dilakukan ini dianggap ketinggalan zaman, dan mungkin telah meningkatkan risiko pertumbuhan jamur mikotoksin.

Perubahan iklim kemungkinan akan semakin memperburuk masalah ini, dan mungkin dampaknya itu sudah mulai terasa. Kekeringan akan membatasi air yang tersedia untuk menyaring sagu, sementara banjir sering mencemari air sehingga pembuatan sagu pun tidak sehat. Ini adalah posisi yang sangat meresahkan untuk warga Provinsi Barat, yang terus menerus melaporkan angka malnutrisi yang tinggi, terutama untuk kasus stunting. Tanpa intervensi dalam penyimpanan sagu, kekurangan gizi kronis ini dapat semakin buruk kedepannya.

Satu solusi yang mungkin dapat menyelesaikan isu ini ada di dalam PNG sendiri. Masyarakat di Provinsi Sepik menyimpan sagu mereka dalam kondisi anaerob (kadang-kadang di bawah air dalam pot tanah liat), yang mencegah adanya jamur, dan mereka lebih cenderung merebus sagu mereka yang membunuh patogen. Sebagai perbandingan, orang-orang di Provinsi Barat umumnya menggoreng sagu mereka untuk membuat bipapi, seperti panekuk yang kental, yang bisa saja mengandung tepung yang belum terlalu matang.

Mengadakan pertukaran petugas pertanian dari Sepik ke Provinsi Barat, untuk memberikan sosialisasi tentang metode penyimpanan alternatif dan teknik memasak sagu, bisa menjadi cara yang efektif dan efisien untuk mengatasi kondisi yang mematikan ini. Perubahan perilaku dan budaya memang sulit, tetapi perubahan yang serius dalam menangani penyimpanan dan persiapan sagu dapat menyelamatkan nyawa orang-orang.

Kesimpulannya, iklim akan terus berubah, dan negara-negara Kepulauan Pasifik akan terus menjadi salah satu wilayah yang paling terpengaruh. Penyakit hemolisis terkait sagu sebelumnya mungkin jarang menjadi perhatian komunitas pembuat kebijakan, namun, kita tidak dapat mengabaikan ancaman terhadap sumber makanan penting tersebut. (The Devpolicy Blog/Development Policy Centre)

Mikaela Seymour adalah tenaga kesehatan yang bekerja di Provinsi Barat, khususnya di desa-desa Middle Fly dan South Fly yang terpencil.

 

Editor: Kristianto Galuwo

Leave a Reply