Papua No. 1 News Portal | Jubi
Orang Papua punya banyak hari. Seharusnya mereka jadi penghafal mengagumkan. Terlalu banyak nama, tempat, tanggal, bulan dan tahun untuk dicatat dan diingat. Hari-hari berlumur kekerasan.
Selain peristiwa Biak berdarah 1998, orang Papua mengingat Juli sebagai bulan dengan peristiwa yang mungkin megah bagi segelintir orang Indonesia. Tapi berlumur kekerasan, intimidasi dan darah bagi orang Papua.
Peristiwa itu kita kenal sebagai Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), berlangsung di Merauke pada 14 Juli 1969 di Merauke dan berakhir di Jayapura pada 2 Agustus 1969.
Buku berjudul, Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Irian Barat 1969 terbitan Pemerintah Propinsi Irian Barat, menyebut ada 1.025 pemimpin yang mewakili 815.904 orang di Propinsi Irian Barat.
“Sidang DMP di Kabupaten Jayapura dipimpin langsung oleh Bupati Jayapura Anwar Ilmar, pukulan palu Ketua Sidang DMP di Jayapura berlangsung dua hari dua malam dan sebanyak 110 anggota DMP memilih bergabung dengan Indonesia dalam sidang di Gedung Negara,” demikian dikutip dari “46 Tahun Pepera, Demokratiskah?” tulisan jurnalis senior Papua, Dominggus Arnold Mampioper di laman Jubi.co.id, 10 Agustus 2015.
Baca Juga: Hari -hari orang Papua (1)
Majalah Tempo edisi khusus (14-20 Oktober 2013) melaporkan, para wakil warga Papua yang hadir di Pepera adalah mereka yang kerap menerima bantuan. Ali Moertopo bertugas memastikan agar pemungutan suara dihadiri oleh orang Irian yang pro-integrasi. “Hasilnya sudah diduga. Pada Agustus tahun itu, hasil Pepera menunjukkan Irian ingin bergabung dengan Indonesia,” tulis Tempo.
Setelah Pepera, operasi militer lebih difokuskan menghancurkan sisa-sisa
anggota OPM yang masih bergerilya di hutan-hutan. Orang Papua yang berada di perkotaan maupun di pedesaan diawasi secara ketat. Mereka harus dapat izin tentara jika ingin berpergian. Korban yang pernah ditahan, dapat kembali ditahan tanpa alasan penahanan yang jelas.
Di Manokwari, ada seorang saksi orang Papua yang pernah jadi tentara di Batalyon 751 yang ditempatkan di Puay, Jayapura pada 1972. Dia cerita, dirinya dan anggota tentara lainnya diperintahkan untuk menembak mati 10 penduduk setempat dan 10 warga lainnya dari Telaga Maya (Sentani, Jayapura). Tentara lainnya kemudian menutupi korban dengan daun dan kayu. Demikian laporan International Center for Transitional Justice (ICTJ) dan Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ELSHAM) berjudul “Masa Lalu yang Tak Berlalu: Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tanah Papua Sebelum dan Sesudah Reformasi” Juni 2012.
Militer Indonesia menggelar Operasi Tumpas dilakukan 1971-1989 terhadap OPM di Biak Barat dan Biak Utara. Saksi-saksi melaporkan terjadinya penembakan dan pembunuhan, penyiksaan dan penganiayaan, perkosaan, dan penculikan.
Baca Juga: Hari -hari orang Papua (2)
Pembantaian itu berawal mula dari penyerangan Benyamin Mambenar terhadap tiga anggota tentara yang dipotong dengan parang. Lalu seseorang diambil untuk menunjuk asal kampung Benyamin di Krisdori. Pasukan tiba di Krisdori, Fredinand Kmur dan Yulianus Kmur ditembak di tempat. Lalu yang sisa diperintahkan dua mayat ini dipikul ke Kali Busdori. Mereka yang pikul adalah Albertus Swom dan Yunus Manan. Tawanan yang lain diikat dan dibawa ke Kali Busdori. Mereka diperintahkan turun menggali liang satu persatu, kemudian ditembak di dalam liang mulai dari nomor 1 hingga 6, ditambah 2 orang jadi jumlah semua 8 mayat.” demikian ungkap salah satu saksi dalam laporan itu. Dia menceritakan pembantaian di Kali Busdori pada 1971 yang ilakukan Kesatuan dari Kodam Udayana.
Kekerasan dan pemerkosaan juga menyasar perempuan. Seorang saksi menceritakan peristiwa pembunuhan dan perkosaan di Kali Simarsdo:
“Saat itu kami diserang di pinggir kali yang bernama Simarsdo. Waktu itu hari mulai sore sekitar jam 17.00, saat itu cuaca hujan. Waktu penyerangan saya duduk di bawah bandar kayu dan waktu mereka tembak satu peluru kena tiga orang; peluru masuk di Dormina tembus masuk di kaki Bapak Amos dan kena di Beatriks. Saat itu kami semua loncat dan lari masing–masing cari jalan. Saya lari terus sembunyi dan melihat dengan mata, Nona Beatriks yang ditembak tapi tidak mati lalu dia diperkosa, sesudah itu dipukul sampai mati. Termasuk Bapa Amos juga ditembak di kaki masih hidup tapi dia dipotong dengan parang di kepala sehingga mati. Jadi saat itu tiga orang yang ditembak mati. Tulang belulang mereka masih ada di sana dan belum dikubur sampai saat ini.” (Habis)