Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat kurun Januari-November 2020, sedikitnya ada 40 kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua.
“Setiap bulan terjadi peristiwa kekerasan yang menimpa masyarakat Papua,” kata peneliti KontraS Arif Nur Fikri dalam acara virtual bersama media untuk memperingati hari HAM, Kamis (10/12/2020) lalu.
Kasus kekerasan itu berwujud macam-macam; penembakan, penganiayaan dan penangkapan sewenang-wenang oleh aparat. 276 orang jadi korban baik ditangkap, luka-luka maupun meninggal dunia. “Rata-rata korbannya adalah warga sipil. Dan ini terus terjadi secara berulang setiap tahunnya,” ucap dia.
“Ini menjadi pekerjaan rumah (PR) pemerintah yang selalu kita ingatkan bahwa angka-angka kekerasan yang ada di Papua harus dipikirkan. Pemerintah ke depannya setidaknya harus meminimalisir angka-angka itu,” terang Arif.
Sementara Amnesty International mencatat ada 69 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum oleh pasukan keamanan di Papua yang berlangsung antara Januari 2010 sampai Februari 2018. 95 korban jiwa melayang.
Dalam 34 kasus, para tersangka pelaku berasal dari kepolisian, dalam 23 kasus pelaku berasal dari militer, dan dalam 11 kasus kedua aparat keamanan itu diduga terlibat bersama-sama. Selain itu, satu kasus tambahan juga melibatkan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), lembaga di bawah pemerintah daerah yang ditugaskan untuk menegakan peraturan daerah. Sebagian besar korban, 85 dari mereka, merupakan warga etnis Papua.
Demikian laporan Amnesty International yang berjudul “Sudah, Kasi Tinggal Dia Mati”; Pembunuhan dan Impunitas di Papua (2018)
Dari 69 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum oleh aparat keamanan Indonesia di Papua kurun Januari 2010-Februari 2018, tercatat 41 kasus di antaranya tidak berkaitan sama sekali dengan isu kemerdekaan atau referendum. Makan korban jiwa sejumlah 56 orang. Pembunuhan di luar hukum itu terjadi ketika petugas keamanan menangani unjuk rasa damai dan insiden kekacauan di masyarakat, saat mereka berusaha meringkus pelaku tindak kejahatan, atau karena pelanggaran individual oleh oknum petugas keamanan.
Pada 10 Oktober 2011, 8 ribu pekerja PT Freeport membanjiri Kota Timika, Kabupaten Mimika. Mereka mogok kerja menuntut kenaikan upah. Sekitar pukul 7 pagi, seratusan orang pemogok dari tujuh kelompok suku berkumpul di Pasar Gorong-Gorong yang biasa jadi tempat penjemputan para pekerja dari lokasi penambangan menuju puncak gunung di Tembagapura.
Baca Juga: Veronica Koman: Penguasa pelihara impunitas penyelesaian HAM di Papua
Mereka ingin menemui pihak manajemen untuk berunding. sekaligus ingin mengunjungi rumah mereka yang terletak di sekitar wilayah penambangan.
Beberapa dari mereka mengibarkan bendera Indonesia Merah Putih. Tanda dan kode keras, jika ini unjuk rasa bukan politis apalagi menuntut Papua merdeka. Tapi mereka dihadang polisi yang telah membentuk blokade. Para pekerja ini meminta polisi untuk memfasilitasi pertemuan dengan manajemen. Polisi menolak.
Para pekerja berusaha melewati pintu gerbang. Mereka bergerak mendekati barikade polisi. Para saksi mengungkapkan, tiba-tiba Kapolres Timika melepaskan tembakan peringatan ke udara dan berseru “tembak, tembak”. Para polisi tidak berseragam dan berpakaian preman menembaki para demonstran. Adalah suatu hal yang biasa di Papua ketika petugas keamanan tidak bisa diidentifkasi apakah dari kepolisian atau tentara saat mengamankan unjuk rasa damai. Tidak ada standar HAM internasional yang merekomendasikan petugas keamanan seharusnya dapat teridentifkasi dengan tanda pengenal nama atau nomor pada seragam mereka.
Lima orang tertembak. Beberapa pengunjuk rasa membalas dengan lemparan batu ke arah polisi. Petrus Ayamiseba tertembak pada bagian dada dan meninggal beberapa jam kemudian dalam perjalanan ke rumah sakit. Ada juga nama Leo Wandagau. Dia tertembak peluru karet pada punggung kanan dan meninggal lima hari kemudian di rumahnya. Keduanya merupakan anggota serikat pekerja yang ambil bagian dalam unjuk rasa tersebut.
Tim dari markas besar polisi dari Jakarta bikin investigasi internal. Hasilnya, lima orang petugas dapat hukuman kurungan selama 21 hari karena melanggar prosedur penanganan demonstrasi sesuai Peraturan Kapolri No. 1 tahun 2009. Tentu saja, tidak ada penyelidikan kriminal atas pembunuhan di luar hukum tersebut.
Serikat pekerja Freeport dan perusahaan membayar sekitar 150 juta rupiah sebagai kompensasi pada keluarga Leo Wandagau sebagai pelaksanaan tradisi Papua dimana kematian harus diganti dengan uang atau babi. (bersambung)
Editor: Angela