Hampar kisah mula Sawit di Papua (2)

Papua
Foto dari udara tampak pabrik minyak sawit di Desa Ujung Kia, Kabupaten Merauke, Papua, 19 Desember 2017 - Dok. Greenpeace
Papua No. 1 News Portal | Jubi

Ketika pondasi rezim Orde Baru dibangun Soeharto dan kroni-kroninya, perkebunan kelapa sawit mulai dibikin galak. Dalihnya, tentu saja untuk menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hutan-hutan di seluruh Indonesia mulai diterabas jadi kelapa sawit.

Pada 1980, luas lahan perkebunan kelapa sawit mencapai 294.560 hektare dengan produksi Crude Palm Oil (CPO) sebesar 721.172 ton. Pada tahun 2012, Indonesia menjadi produsen kelapa sawit berbentuk CPO terbesar di dunia, sebesar 45% dari keluaran global

Read More

Di Papua, pengembangan perkebunan kelapa sawit di Papua dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berdasarkan izin-izin resmi pemerintah pusat. “Pengembangan lahan perkebunan kelapa sawit di Tanah Papua dilaksanakan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian RI No.851/Mentan/XI/1980, Tanggal 12 Oktober 1980 dan Surat Keputusan Menteri Pertanian No 918/Mentan/XI/1981 Tanggal 28 Oktober 1981 serta Surat Keputusan Menteri Pertanian No 203/Mentan/III/1982 tentang Penugasan Perseroan Terbatas Perusahaan Nusantara II (PTPN II) membangun perkebunan kelapa sawit di Arso Kabupaten Jayapura dan Prafi Kabupaten Manokwari,” tulis Renwarin pada disertasi berjudul “Termarjinalisasi Kelapa Sawit: Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua” (UKSW, 2017).

World Wildlife Fund (WWF) Indonesia, mencatat sampai tahun 2014, sebanyak 30 perusahaan tersebar di 7 kabupaten di Provinsi Papua, telah mendapat izin prinsip Kementerian Kehutanan. Sekitar 24 perusahaan memperoleh izin prinsip dari Kementerian Pertanian untuk melakukan pengembangan usaha pengembangan lahan perkebunan kelapa sawit di Provinsi Papua. Ketujuh kabupaten itu yakni Merauke, Sarmi, Keerom, Jayapura, Nabire, Mimika, Boven Digoel

Pada 2013, BPS Kabupaten Keerom mencatat, luas lahan pemukiman penduduk di daerah ini hanya 686 hektare atau 0,08 persen dari total lahan bukan sawah. Luas lahan bukan sawah yang sebagian besar masih berfungsi sebagai hutan, luasnya 841.701 hektare atau 97,29 persen. Sisa tanah yang telah dikelola sebagai perkebunan besar 16.405 hektare atau 1,90 persen dan 4.056 hektare atau 0,47 persen, dikelola sebagai tempat kegiatan pertanian lahan kering.

Baca Juga: Hampar kisah mula Sawit di Papua (1)

Data ini ingin bilang,peluang pengembangan dan perluasan usaha perkebunan industri seperti perkebunan kelapa sawit terus terjadi. Dalihnya,alasan luas lahan bukan sawah yang berfungsi sebagai hutan ternyata masih cukup luas. “Kecenderungan ini justru menyebabkan hilangnya hutan tempat masyarakat setempat atau penduduk asli Keerom mencari nafkah sebagaimana dikeluhkan masyarakat selama ini di Kampung Arso Kota, Workwana dan kampung-kampung lain di Kabupaten Keerom,” tulis Renwarin.

Keerom memang sudah sejak lama dinilai cocok untuk pengembangan pertanian dan perkebunan.  Renwarin mengutip Meteray (2012) yang menyebut, setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) Tahun 1950, Belanda melancarkan strategi perencanaan percepatan pembangunan Papua di bidang pemerintahan,pendidikan dan ekonomi, untuk menghalangi niat Indonesia merebut Papua.

Setelah Papua menjadi bagian dari Indonesia, rencana tersebut ditindaklanjuti oleh Pemerintah Provinsi Irian Jaya dan Kabupaten Jayapura.

Ketika Barnabas Youwe jadi Bupati Jayapura, mulailah Keerom digenjot jadi kawasan pertanian dan perkebunan. Seiring kepentingan politik

pembangunan di daerah perbatasan RI dan PNG, masuklah Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara II (PTPN II) yang berpengalaman mengelola kelapa sawit ke Keerom bersama berbagai perusahaan HPH yang mengelola hutan Keerom.

PTPN II sebagai perusahaan kelapa sawit di Keerom merupakan BUMN yang sejak tahun 1980-an bergerak dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Arso, yang berpusat di Medan Sumatera Utara. Sesudah itu beberapa perusahaan kelapa sawit lainnya menyusul masuk dan beroperasi di Kabupaten Keerom.

Tapi janji janji manis perusahaan terhadap orang Arso,Workwana dan sekitarnya ternyata kosong. “kami sampai saat ini masih tetap miskin dan melarat di atas tanah kami yang kaya,” kata Herman Fatagur, salah satu tokoh adat masyarakat Workwana.

Dia adalah salah satu saksi hidup yang memperjuangkan masalah ganti rugi tanah yang tak kunjung selesai. Janji-janji yang diingat masyarakat; pihak perusahaan akan bikin masyarakat hidup sejahtera. Akan ada rumah sehat bagi penduduk kampung, anak sekolah akan dibiayai sampai ke perguruan tinggi, orang asli dapat diterima bekerja di perusahaan sebagai karyawan dan akan dibuatkan jaminan bagi masyarakat dengan potongan Rp 2 yang diambil dari petani dan dikelola masyarakat setempat.

“Kerja seperti ini merupakan bentuk penipuan karena harta kekayaan alam kami diambil dengan alasan dipakai untuk kepentingan negara padahal masyarakat tidak mendapat apa-apa”.

Ia juga menyatakan, kebun kelapa sawit dibuka dengan tujuan agar masyarakat bekerja, tenaga mereka dikuras dan tidak berpikir lagi tentang Papua Merdeka. Menurutnya sistem pembangunan yang digunakan ini juga merusak masyarakat karena minuman keras (miras) dipakai untuk membujuk masyarakat, khususnya orang muda diperalat untuk kepentingan tertentu. (bersambung)

Editor: Angela Flassy

Related posts

Leave a Reply