Hampar kisah mula Sawit di Papua (1)

Papua
Foto dari udara tampak pabrik minyak sawit di Desa Ujung Kia, Kabupaten Merauke, Papua, 19 Desember 2017 - Dok. Greenpeace
Papua No. 1 News Portal | Jubi

Perizinan perkebunan kelapa sawit di Papua dan Papua Barat akan dievaluasi. Ada sejumlah masalah ditemukan.  Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Papua Barat, Freddy Kolintama mengatakan, evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit itu, berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Perkebunan Kelapa Sawit.

“Selanjutnya, atas hasil evaluasi perizinan kebun sawit perlu diupayakan pengelolaan lahan yang berkelanjutan dan berkepastian hukum serta Hak Guna Usaha (HGU) yang tidak dimanfaatkan dapat menjadi lokasi kegiatan penataan aset melalui redistribusi tanah,” kata Freddy dalam keterangan tertulis yang dikutip Kompas.com, Minggu (15/08/2021).

Read More

Baca juga: Ada berbagai modus perusahaan sawit di Papua Barat untuk langgar aturan

Dari hasil evaluasi, ditemui sejumlah pelanggaran.  Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Provinsi Papua Barat Yacob S Fonataba, mengungkapkan pelanggaran itu di antaranya, tidak memiliki Hak Guna Usaha (HGU), tidak memiliki izin pemanfaatan kayu dari Dinas Kehutanan, tidak melaporkan perusahaan kepemilikan saham dan susunan kepengurusan, dan belum menyelesaikan kebun inti.

“Selain itu ada juga pelanggaran seperti melakukan penanaman di lahan gambut, serta melakukan penanaman di kawasan hutan,” kata Yacob.

Saat ini, tercatat 24 perusahaan kelapa sawit beroperasi di Provinsi Papua Barat. Total luasan wilayah konsesi yang dievaluasi yakni 681.974 hektar. Dengan evaluasi tersebut, pemerintah juga turut mendorong dan berupaya untuk mendatangkan investor untuk berinvestasi di Papua Barat. “Langkah selanjutnya akan dilakukan monitoring dan evaluasi rencana aksi evaluasi perizinan oleh tim evaluasi perizinan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta penyiapan masyarakat adat dalam pengelolaan lahan bekas konsesi,” tutur Yacob.

Rencana aksi evaluasi HGU juga akan dilakukan di di Provinsi Papua. Lahan sawit di Jayapura hingga Merauke ini terus dipantau oleh Kanwil BPN Provinsi Papua melalui kantor-kantor pertanahan setempat.

Berdasarkan hasil inventarisasi Kanwil BPN Provinsi Papua, terdapat lahan HGU pertanian dan perkebunan seluas 328.895 hektar.  Di antaranya merupakan lahan perkebunan kelapa sawit dengan luas 159.000 hektar pada tahun 2020, yang terdapat di beberapa kabupaten dan kota. “Jika ada tanah yang terindikasi terlantar, akan kami dorong dan sesuaikan penyelesaiannya dengan PP Nomor 20 tahun 2021,” kata Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Papua John Wicklif Aufa.

Wakil Menteri ATR/BPN Surya Tjandra menambahkan, apa yang dilakukan saat ini di Provinsi Papua dan Papua Barat dapat menjadi contoh dan role model untuk diterapkan pula di berbagai provinsi. “Dikatakan penting karena dilakukan secara menyeluruh atau seluruhnya dievaluasi sehingga akan ditemukan mana yang bermasalah dan tidak bermasalah,” tambah dia.

Sejak kapan Sawit masuk Papua? Sebelum ke sana, mari kita buka salah satu bagian disertasi doktoral Bernadus Renwarin di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah (2017).

Sejauh yang diketahui, ada dua jenis kelapa sawit berkembang di Indonesia yaitu Elaeis melanococca atau Elaeis Olivera, berasal dari Amerika Selatan dan Elaeis Guineensis berasal dari Afrika.

“Kelapa sawit mulai diperkenalkan di Indonesia oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1848, sebagai tanaman hias. Di masa itu ada empat batang bibit kelapa sawit yang ditanam di Kebun Raya Bogor, masing-masing dua bibit dari Bourbon, Mauritius dan dari Hortus Botanicus, Amsterdam Belanda. Pembudidayaan kelapa sawit sebagai tanaman komersial baru dilakukan pada tahun 1911,” tulis Renwarin pada disertasi berjudul “Termarjinalisasi Kelapa Sawit: Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua”.

Pada 1919, Indonesia yang masih bernama Hindia Belanda pertama kali mengekspor kelapa sawit sebanyak 576 ton. Meningkat pada 1923 sebanyak 850 ton. Pada masa penjajahan Jepang (1948/1949), produksi minyak kelapa sawit di Indonesia hanya mencapai 56.000 ton. Itu karena terjadi penyusutan lahan sebesar 16 persen dari total luas lahan. Setelah Belanda dan Jepang cabut dari Indonesia, Pemerintah Indonesia mengambil alih perkebunan kelapa sawit pada 1957.

Karena alasan politik dan keamanan agar produksi berjalan baik, pemerintah menempatkan perwira militer di setiap jenjang manajemen perkebunan dan membentuk kelompok buruh militer (BUMIL) sebagai wujud kerja sama antara buruh perkebunan dan militer. “Namun dampak perubahan manajemen dalam perkebunan dan kondisi sosial politik serta keamanan dalam negeri yang tidak kondusif, menyebabkan produksi kelapa sawit menurun lagi sehingga posisi Indonesia sebagai pemasok minyak kelapa sawit dunia terbesar digeser oleh Malaysia,” tulis Renwarin. (bersambung)

Editor: Angela Flassy

Related posts

Leave a Reply