Portal Berita Tanah Papua No. 1 | Jubi ,
Oleh : Laksamana Madya TNI (Purn) Freddy Numberi
BEBERAPA tahun lalu sebanyak 14 negara dari 74 negara yang hadir dalam sidang Working Group Universal Periodic Review (UPR) Dewan HAM PBB, menyoroti masalah pelanggaran HAM di Tanah Papua.
Negara maju yang hadir dalam sidang pada tanggal 23 Mei 2012 dan menyoroti masalah HAM tersebut adalah Amerika Serikat, Australia, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Korea Selatan, Meksiko, Norwegia, Prancis, Selandia Baru, Spanyol, Swiss. Sidang digelar sebagai mekanisme laporan 4 tahunan (2008-2012) di Swiss.
Ternyata jumlah negara yang menyoroti masalah HAM meningkat cukup tajam dibandingkan evaluasi yang dilakukan pada tahun 2008 di mana hanya lima negara (Jerman, Prancis, Kanada, Belanda, Inggris) yang menyoroti masalah pelanggaran HAM di Papua.
Pada tahun 2014, tepatnya 26 Maret 2014 (2 minggu sebelum Pemilu Legislatif di Indonesia, 9 April 2014), 16 anggota Parlemen Uni Eropa (Graham Watson, Barbara Loch Bihler, Ana Games, Ivo Vajgl, Fiona Hall, Keith Taylor, Sarah Ludford, Leonidas Donskis, Jelko Kacin, Susy de Martini, Vilja Savisaar- Toomast, Ifiaki Irazabalbeitia, Jean Lamberry, Bart Staees, Raul Rameva I Rueda dan Catherine Bearder), menyurati High Representative of The Union for Foreign Affairs and Security Policy, H.E. Baroness Catherine Ashton untuk menindaklanjuti masalah Pelanggaran HAM di Papua sebagai kelanjutan Rapat Dengar Pendapat anggota parlemen pada tanggal 23 Januari 2014.
Dalam pandangan anggota parlemen Uni Eropa tersebut, kembali digaris bawahi bahwa sejak integrasi Papua ke dalam Indonesia pada 1 Mei 1963, telah terjadi banyak kekerasan. Banyak orang Papua dibunuh, akibat operasi-operasi militer yang dilancarkan pada tahun 1960- 1980. Menurut pandangan mereka:
”Sementara kejahatan massal yang terjadi tidak diakui oleh Indonesia, pemerintahnya berupaya memperkenalkan adanya reformasi di Papua sejak tahun 1996. Militer dan Polisi telah dipisahkan dan Papua Barat telah diberi Otonomi Khusus pada tahun 2001. Namun reformasi yang sedang berlangsung tidak dapat menghasilkan akuntabilitas pihak keamanan terhadap pelanggaran -pelanggaran Hak Asasi Manusia”.
Anggota parlemen UE dalam surat tersebut, juga mengemukakan laporan dari gereja-gereja dan berbagai organisasi HAM di Papua tentang praktekpraktek pembunuhan kilat, penganiayaan, penahanan paksa, pembantaian dan larangan menyatakan pendapat secara bebas. Bahkan terjadi kepincangan dalam sektor pendidikan dan pelayanan kesehatan yang tidak memuaskan.
Dilaporkan juga bahwa sejak tahun 2014 terdapat 74 tahanan politik, bahkan sekitar 25 aktivis dan warga masyarakat terbunuh antara Oktober 2011 sampai Maret 2013. Ekspresi pendapat secara damai, tentang aspirasi Papua merdeka, diredam dan dilarang secara paksa tanpa proses hukum. Para aktivis ditahan dan dituntut 20 tahun dalam penjara.
Mereka menilai bahwa dalam iklim konflik dan pelanggaran HAM yang demikian, maka: ”Pengamat PBB, organisasi kemanusiaan dan organisasi hak asasi manusia serta wartawan independen secara berkala ditolak atau berhadapan dengan pengaturan yang ketat untuk masuk ke Papua Barat. Selanjutnya , NGOs lokal terus melaporkan kejahatan oleh militer Indonesia terhadap masyarakat sipil di Papua.
Menyesalkan penjualan senjata kepada Indonesia oleh negara-negara Uni Eropa, karena tidak mungkin dapat memonitor apakah senjata-senjata tersebut digunakan terhadap masyarakat sipil, mengingat tidak ada akses untuk organisasi internasional atau wartawan masuk ke wilayah itu.
Mereka juga menggaris bawahi adanya permintaan rakyat Papua untuk membuka ”Dialog Papua-Jakarta”. Para anggota Parlemen UE menyatakan bahwa hal ini sejalan dengan keinginan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam beberapa pernyataan beliau tentang dialog.
Pada rapat kabinet tanggal 9 November 2011 Presiden SBY mengatakan: ”Dialog antara pemerintah pusat dan saudara kita di Papua itu terbuka. Kita mesti berdialog, dialog terbuka untuk mencari solusi dan opsi mencari langkah paling baik selesaikan masalah Papua”.
Hal ini sejalan dengan apa yang yang ditegaskan oleh Presiden RI ke-7 Joko Widodo pada perayaan Natal Nasional di Jayapura, 27 Desember 2014: ”Rakyat Papua juga butuh didengarkan, diajak bicara. Kita ingin akhiri konflik. Jangan ada lagi kekerasan”.
Para anggota parlemen UE meminta untuk Uni Eropa segera mengambil langkah-langkah sebagai berikut; Pertama, mendorong otoritas Indonesia untuk secara aktif berdialog dengan rakyat Papua Barat sebagai suatu solusi damai, sesuai seruan para aktivis damai baik di Papua maupun di Jakarta.
Kedua, meminta Indonesia untuk membuka isolasi wilayah konflik agar ada akses bagi pengamat independen termasuk pengamat Uni Eropa serta badan HAM PBB dan melindungi kebebasan media lokal di Papua. Ketiga, Meminta Indonesia untuk membebaskan para tahanan politik dan mengakhiri praktik penahanan mereka-mereka yang terlibat dalam aksi politik damai dengan tuduhan tindakan kejahatan.
Keempat, mendukung reformasi di Indonesia, agar para personel pihak keamanan yang melanggar HAM masyarakat sipil dapat diadili secara bertanggung jawab oleh pengadilan militer yang telah di reformasi dan penyiksaan yang dilakukan harus di proses sesuai ketentuan-ketentuan PBB.
Kelima, meyakinkan bahwa senjata yang diberikan kepada Indonesia oleh negara-negara Uni Eropa tidak digunakan terhadap masyarakat sipil. Dengan meningkatnya sorotan internasional selama 53 tahun (1 Mei 1963-1 Mei 2016) Papua integrasi dengan Indonesia, menunjukkan bahwa perhatian internasional akan terus meningkat di masa mendatang terutama terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM maupun inkonsistensi pelaksanaan Otonomi Khusus di Papua oleh Pemerintah.
Kita selama ini memandang penyelesaian Papua dapat dilakukan melalui pendekatan ekonomi. Padahal kita mengetahui bersama bahwa permasalahan di Papua sangat kompleks dan rumit, sehingga tidak dapat disederhanakan dengan hanya pendekatan ekonomi belaka. Suara hati orang asli Papua harus didengar.
Rakyat Papua harus diajak berdialog untuk menyelesaikan akar permasalahan di Papua secara tuntas dan bermartabat. Dalam kunjungan kedua pada tanggal 9 Mei 2015, dimana Presiden mencanangkan beberapa proyek pembangunan di Papua, dan juga memberikan grasi kepada lima narapidana politik, Presiden Jokowi menyatakan; ”Kita ingin menciptakan Papua dan Papua Barat sebagai wilayah yang damai, adil, dan sejahtera. Kalau ada masalah di provinsi ini segera diguyur air dan jangan dipanas-panasi lagi sehingga persoalan tersebut menjadi masalah nasional, bahkan internasional.”
Indonesia sebagai negara demokrasi nomor 3 di dunia perlu introspeksi diri manakala ada kekhawatiran yang berlebihan dengan memberi stigma separatis terhadap saudara-saudaranya orang Papua yang berbeda pendapat.
Pandangan tersebut tentunya sangat disayangkan dalam alam demokrasi dewasa ini. Menlu RI Marty Natalegawa setelah menghadiri sidang UPR Dewan HAM PBB di Swiss, 23 Mei 2012 mengatakan, bahwa isu hak-hak asasi manusia merupakan isu yang masih efektif sebagai pintu masuk internasionalisasi masalah Papua.
Secara implisit Menlu Marty ingin menegaskan bahwa masalah pelanggaran HAM di dalam negeri, terutama di Papua, belum ditangani dengan baik, dan menjadi alat efektif untuk internasionalisasi masalah Papua. Secara politik hak-hak konstitusional masyarakat asli Papua untuk hidup di alam kemerdekaan yang demokratis sebagai anak Indonesia masih jauh dari harapan.
Kita sangat meyakini bahwa tatanan sosial, ekonomi, politik maupun budaya yang selama 53 tahun diwarnai kekerasan di Tanah Papua bukan merupakan pilihan ideal bagi siapa pun di bumi Nusantara tercinta ini. Harapan rakyat Papua di bawah Presiden Jokowi, mereka dapat dibebaskan dari rasa ketakutan selama ini dan dapat bangkit kembali untuk membangun diri dan lingkungan mereka dalam keberagaman jati diri Indonesia yang adil, damai, demokratis dan sejahtera.
Semoga 53 tahun integrasi dengan Indonesia, ada banyak ”Lessons learned” perihal Papua demi meraih Papua Tanah Damai dalam bingkai NKRI. (*)
Penulis adalah Tokoh Masyarakat Papua, mantan Gubernur Papua dan pernah menjabat sebagai Menteri Perhubungan, Menteri Kelautan dan Perikanan serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. Sebagai militer ia pernah menjabat sebagai Komandan Pangkalan Utama TNI AL V Irian Jaya-Maluku