Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh Kate Phillips
Sekelompok remaja perempuan di Kepulauan Solomon berkerumun mengelilingi selembar kertas. Mereka sedang merenungkan jawaban mereka atas sebuah pertanyaan yang diajukan kepada mereka sebagai bagian dari suatu proyek penelitian: Hal apa yang menghambat anak-anak dan remaja perempuan di Kepulauan Solomon dari menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas?
Latar belakang di balik dimulainya penelitian ini mengejutkan. Tidak sampai satu dari sepuluh remaja perempuan, 7% tepatnya, di Kepulauan Solomon lulus dari sekolah menengah atas – salah satu angka paling rendah di seluruh dunia.
Proyek penelitian ini direncanakan oleh organisasi pengembangan anak Plan International Australia, bekerja dengan 60 anak remaja perempuan di tiga lokasi di negara itu, telah mengungkapkan hambatan-hambatan utama yang menahan anak-anak perempuan di Kepulauan Solomon terbelakang. Beberapa kendala utama adalah biaya sekolah, diskriminasi terhadap remaja perempuan yang hamil, dan ketidaksetaraan gender yang mengakar. Studi ini juga mengungkap hambatan unik yang dihadapi oleh remaja perempuan penyandang disabilitas.
Namun pada akhirnya, apa yang diungkapkan oleh dua laporan terakhir dari proyek itu adalah bukti yang kuat, bahwa satu generasi perempuan Kepulauan Solomon tidak mendapatkan akses sepenuhnya pada pendidikan sekolah menengah atas.
Penelitian baru ini dinilai inovatif akibat penggunaan metodologi ‘photovoice’, yang pertama kalinya di Kepulauan Solomon. Selama studi ini berlangsung, para remaja melakukan 164 survei dengan rekan sebayanya untuk mengetahui jawaban dari pertanyaan yang ingin diajukan dalam penelitian itu, dan mengambil foto-foto yang menggambarkan hasil temuan mereka mengenai rintangan-rintangan yang dihadapi remaja perempuan yang ingin menyelesaikan sekolah menengah atas – dan perubahan-perubahan yang ingin mereka lihat ke depannya.
Kendala pertama yang ditemukan adalah akibat biaya sekolah. Sejak 2009, di bawah kebijakan pendidikan cuma-cuma, Fee Free Basic Education Policy, pemerintah hanya membebankan biaya sekolah untuk pelajar sekolah menengah atas (Kelas 10 hingga 12), sementara pelajar tingkat lainnya sekolah dengan cuma-cuma. Akibatnya, jumlah perempuan yang meneruskan pendidikannya ke tingkat menengah atas dilihat menurun drastis .
Semua remaja yang ditanyai di semua lokasi studi sadar bahwa biaya pendidikan adalah beban keuangan yang besar bagi keluarga mereka. Profil kemiskinan Kepulauan Solomon, Solomon Islands Poverty Profile, yang terkini mengungkapkan bahwa dua dari tiga keluarga berkata mereka mengalami kesulitan untuk membayar biaya sekolah.
Situasi ini lebih sukar lagi bagi keluarga yang tinggal di provinsi-provinsi tertentu, contohnya, provinsi dengan angka dan prevalensi kemiskinan yang jauh lebih tinggi, seperti di Provinsi Makira dan Guadalcanal serta di Honiara – di mana sebagian besar sekolah menengah atas berada.
Ketidaksetaraan gender adalah persoalan besar lainnya, khususnya dalam hal peran yang diharapkan untuk dilakukan oleh anak dan remaja perempuan. Walaupun pendidikan untuk anak laki-laki itu dianggap penting, anak perempuan diharapkan akan memainkan peran domestik seperti mengurus pekerjaan rumah tangga, merawat saudara mereka, dan akhirnya, menjadi seorang istri dan ibu.
Studi ini menunjukkan bahwa anak remaja perempuan menghabiskan 75% lebih banyak waktu untuk pekerjaan rumah tangga, dibandingkan dengan anak laki-laki, persentase ini jauh lebih tinggi daripada angka rata-rata global. Anak perempuan di Kepulauan Solomon dilaporkan menghabiskan sekitar 15–20 jam setiap minggu untuk pekerjaan rumah tangga, sedangkan anak laki-laki lebih cenderung menghabiskan hanya beberapa jam, satu hingga enam.
Stigma sosial seputar hubungan pranikah dan kehamilan adalah faktor lainnya. Penelitian ini menunjukkan dua dari lima remaja perempuan terpaksa putus sekolah karena hamil, atau anak perempuan, karena pernikahan dini dan pernikahan paksa, sekali lagi, rasio ini jauh lebih tinggi daripada angkat rata-rata global.
Bagaimana anak perempuan diperlakukan di hadapan publik dan pentingnya rasa hormat terhadap mereka juga dibicarakan. Perempuan-perempuan muda itu menceritakan rasa takut yang mereka alami, akan keselamatan mereka, ketika bepergian ke dan dari sekolah, diremehkan dan dihina oleh anggota keluarga lainnya karena mereka ingin mendapatkan pendidikan, tekanan teman sebaya, intimidasi dan pelecehan – khususnya pelecehan secara fisik, verbal atau emosional oleh anak dan remaja laki-laki.
Sifat pendidikan yang dapat mentransformasi sudah diketahui secara umum: setiap tahun mereka menyelesaikan pendidikan menengah akan manfaat dan keuntungan yang besar bagi anak-anak perempuan, keluarga mereka, dan komunitas meluas, serta untuk kesejahteraan dan pembangunan suatu negara. Penelitian secara global menemukan bahwa setiap tahun dimana perempuan dapat menyelesaikan pendidikan menengah atas, akan mengurangi risiko pernikahan anak dan kehamilan dini, dan menaikkan kemungkinan untuk mencapai kesetaraan gender di rumah dan dalam hubungan pribadi mereka.
Juara-juara muda ini yang bekerja dengan Plan International Australia – remaja-remaja perempuan yang telah berpartisipasi dalam penelitian ini, dan yang sekarang memimpin proses untuk advokasi perubahan sosial dan kebijakan publik – sedang berkampanye untuk membebaskan biaya sekolah, dengan meminta Pemerintah Kepulauan Solomon untuk meningkatkan cakupan kebijakan Fee Free Basic Education Policy untuk memasukkan pendidikan menengah atas (kelas 10-12). Selain itu, mereka juga ingin adanya bantuan donor internasional untuk membantu mengurangi, dan akhirnya menghilangkan, kesenjangan biaya sekolah untuk semua tingkatan.
Australia adalah donor asing terbesar bagi negara Pasifik itu. Perdana Menterinya, Scott Morrison, baru-baru ini menekankan kembali komitmen pemerintahnya untuk melanjutkan investasi dan keterlibatan dalam mengembangkan sektor pendidikan Kepulauan Solomon. Kunjungan itu adalah perjalanan yang strategis, kunjungan resmi pertama PM Morrison ke luar negeri sejak terpilih kembali, menegaskan lagi komitmen pemerintah untuk meningkatkan keterlibatannya di Pasifik. Namun, jika Australia gagal untuk menaikkan dukungannya terhadap pendidikan anak-anak dan remaja perempuan secara khusus, anak-anak dan remaja perempuan muda di Kepulauan Solomon akan terus tertinggal. (The Interpreter by Lowy Institute)
Kate Phillips bekerja sebagai Policy Advisor di Plan International Australia. Dia juga merupakan peneliti utama dalam laporan Our Education, Our Future, dan turut menulis laporan Stronger Together, bersama dengan remaja-remaja perempuan di Kepulauan Solomon.
Editor: Kristianto Galuwo