Guru Sejarah SMA-SMK di Papua khawatir jika pelajaran Sejarah dihapus

Papua guru sejarah
Arifiah Djaelami, guru Sejarah SMA Negeri 4 Arso sedang mengajar siswanya secara daring dari rumahnya. –Foto: Dok. Pribadi.

Papua No.1 News Portal

Jayapura, Jubi – Pada September 2020 muncul isu penghapusan Pelajaran Sejarah di SMK dan menjadi pelajaran pilihan di SMA. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menjelaskan bahwa itu baru salah satu opsi usulan penyederhanaan kurikulum.

Read More

Menteri Nadiem Makariem kemudian memastikan hal itu tidak akan terjadi. Meski demikian, munculnya informasi tersebut membuat banyak orang marah dan kecewa.

Bagaimana tanggapan guru Pelajaran Sejarah di SMK dan SMA di Papua? Apa dampaknya jika kemudian opsi tersebut benar-benar dilakukan pemerintah? Jubi mewawancarai sejumlah guru.

Harjuni Serang, SPd, MSi, guru SMA Negeri 1 Sentani yang juga ketua Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) Provinsi Papua khawatir jika mata pelajaran Sejarah dihapus di SMK atau hanya dijadikan pilihan di SMA.

“Saya khawatir nilai-nilai kejuangan, nilai-nilai patriotisme, dan nilai-nilai nasionalisme akan berkurang, bahkan hilang pada diri peserta didik,” kata sarjana Program Studi Sejarah FKIP dan magister Sosiologi di Universitas Cenderawasih tersebut kepada Jubi di Sentani, Kabupaten Jayapura, Sabtu (30/10/2020).

Jika nanti di SMA dijadikan mata pelajaran pilihan, kata Harjuni, jelas jam pelajarannya akan berkurang.

Harjuni yang juga dosen Program Studi Sejarah FKIP Uncen mengingatkan betapa pentingnya pelajaran Sejarah.

“Presiden Soekarno berulang-ulang mengatakan “Jas Merah”, jangan sekali-kali meninggalkan sejarah,” katanya.

Bahkan, kata Harjuni yang sudah menjadi guru Sejarah sejak 1998 di SMPN 2 Muting Merauke dan sekarang mengajar di SMAN 1 Sentani sejak 2004, intelektual Marcus Harvey pernah mengatakan bahwa sebuah bangsa tanpa pengetahuan sejarah masa lalu, tanpa pengetahuan asal-usul, dan tanpa pengetahuan budaya akan seperti pohon tanpa akar.

“Artinya, pohon tanpa akar pasti akan mati, demikian sebuah bangsa yang tidak tahu sejarah, suatu saat bangsa itu akan hancur,” ujar pengampu 32 jam per minggu pelajaran sejarah di Kelas XI dan XII tersebut.

Karena itu Harjuni mengusulkan Sejarah tetap menjadi pelajaran wajib di setiap tingkatan di SMA, SMK, dan Madrasah Aliyah.

Asis Alim Utami, S.Pd, guru Sejarah di SMAN 6 Skouw, Jayapura, Papua juga tidak setuju Pelajaran Sejarah dihilangkan atau dikurangi.

“Seharusnya Sejarah dijadikan pelajaran penting, karena secara langsung maupun tidak langsung mengajarkan kebangsaan kepada generasi muda,” kata sarjana Sejarah Universitas Cenderawasih tersebut.

Bagaimana mungkin, katanya, siswa memahami negaranya terbentuk, kalau untuk belajar sejarah saja harus dijadikan pilihan.

Menurut Asis, jika menjadi pelajaran pilihan akan membuat siswa bisa belajar dan tidak, karena itu pilihan. Seperti di negara lain, tambahnya, seharusnya pelajaran sejarah menjadi sesuatu yang sangat penting di dunia pendidikan Indonesia.

Bukan sejarah saja yang penting, tetapi materi-materi yang berhubungan dengan kebangsaan, seperti Pendidikan Kewarganegaraan. Itu materi yang membentuk patriotisme pada generasi muda untuk lebih mencintai tanah airnya.

“Daripada mereka mencintai kebangsaan atau ciri khas negara lain, terlebih dahulu ditanamkan rasa patriotisme bahwa negara kita seperti ini,” ujarnya.

National Building, kata Asis yang memulai karier sebagai guru pada 2004 di Sekolah Agama Pesantren Entrop, harus dipelajari sejak dini. Kalau tidak dipelajari sejak dini, akan sangat susah memupuk rasa cinta nasionalisme.

Asis mengingatkan bahwa pelajaran sejarah sangat penting, karena satu generasi muda ketika mampu mempengaruhi orang lain menjadi buruk, maka banyak yang akan menjadi buruk.

“Tapi sebaliknya, ketika satu generasi muda mampu mempengaruhi orang lain menjadi baik, maka akan menjadi baik, sekarang tinggal pilih mau menjadi yang buruk atau menjadi yang baik,” katanya.

Asis pernah menjadi guru di SMK Negeri 6 Skouw Jayapura, Papua selama tiga tahun (2005-2008) sebelum menjadi guru SMA 6 Skouw Jayapura sejak 2009. Sekarang ia mengampu 32 jam Pelajaran Sejarah per minggu di Kelas X, XI, dan XII.

“Zaman sekarang terjadi pergeseran nasionalisme, lebih banyak siswa senang akan negara lain daripada negaranya sendiri dan itu sangat berbahaya bagi bangsa,” ujarnya.

Meski belum ada keterangan penghapusan atau menjadikan Pelajaran Sejaran sebagai pilihan dan baru bergulir sebagai draf, Asis berharap draf tersebut tidak ditandatangani.

Bulan lalu, katanya, guru-guru Sejarah menekankan kepada pemerintah betapa pentingnya pembelajaran Sejarah.

“Kami sudah rapat bersama ASGI, kami meminta pemerintah menjadikan pelajaran sejarah prioritas dalam pendidikan kita, supaya generasi muda kita tidak menjadi generasi yang lupa akan sejarah,” katanya.

Arifiah Djaelami, SPd, MSi, guru Sejarah di SMA Negeri 4 Arso, Papua prihatin dan sangat tidak setuju bila mata pelajaran Sejarah dihapus.

“Karena sejarah menanamkan jiwa-jiwa nasionalisme kepada peserta didik, kalau dihilangkan bagaimana peserta didik bisa mencintai dan merasa memiliki tanah airnya,” ujarnya.

Terlebih, kata guru di daerah 3T (Terdepan, Terpencil, dan Tertinggal) tersebut, di wilayah yang rawan konflik, terutama di Papua. Jangan sampai muncul nasionalisme lain.

“Karena Pelajaran Sejarah adalah mata pelajaran yang menanamkan jiwa rasa mencintai tanah air, rasa nasionalisme betul-betul harus ditanamkan pada jiwa peserta didik,” katanya.

Seandainya pelajaran sejarah dihilangkan, tambahnya, maka nilai-nilai juang, patriotisme, dan jati diri bangsa pada peserta didik akan luntur.

“Kami sangat prihatin dan akan sangat menyakiti, menyakiti kami guru-guru sejarah yang ada di daerah terpencil seperti ini,” ujarnya.

Arifiah adalah sarjana Sejarah dan magister Sosiologi di Uncen. Memulai karier guru sebagai honorer di SMA PGRI Jayapura pada 1998, pada 2005 guru di SMA Swasta Yapis Pembangunan VI Keerom, Papua dan 2015 dimutasi ke SMAN 4 Arso. Kini ia mengampu 23 jam Pelajaran Sejarah per minggu di Kelas X, XI, dan XII.

Ia menyampaikan, bagi guru yang mengajar di daerah terpencil, seperti di daerah perbatasan antara RI dan PNG, khususnya di wilayah Keerom, menanamkan nasionalisme terhadap NKRI sangat susah.

Di wilayah perbatasan kebanyakan peserta didik belum memahami tentang nasionalisme, sehingga mereka mempunyai jiwa-jiwa nasionalisme yang bukan Ke-Indonesia-an.

“Jadi kami harus pandai-pandai untuk menanamkan bahwa kita ini adalah bagian dari NKRI,” katanya.

Karena itu, ia berharap pemerintah tetap menjadikan Sejarah sebagai mata pelajaran wajib dan tidak mengutak-atiknya lagi.

Fatmawati, SPd, guru SMK Negeri 5 Penerbangan Waibu, Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua juga tidak setuju Pelajaran Sejarah dihapus di SMK. Sebab hanya Kelas X yang mempelajari Sejarah di SMK. Jika itu dihapus dikhawatirkan siswa melupakan asal-usul dan jati dirinya.

“Pelajaran SMK lebih ke industri, namun masih ada hubungannya dengan sejarah, misalnya sejarah maritim, itu kan ada hubungannya dengan perdagangan,” kata sarjana Sejarah Universitas Muhammadiyah Mataram tersebut.

Sejarah, kata Fatmawati, bukan hanya mempelajari masa lampau, tetapi ada sistem kesinambungan. Apalagi generasi muda juga harus dididik supaya lebih mengenal perjuangan para pahlawan bangsa

“Biar mereka tahu tidak mudah memperjuangkan bangsa ini dan sekarang mereka sudah menikmati perjuangan para pahlawan tersebut,” katanya.

Jika sejarah dijadikan pilihan di SMA, kata Fatmawati, juga akan mempengaruhi pembelajaran siswa. Siswa akan memilih bila merasa membutuhkan saja, tidak ada kewajiban.

Epianus Foat, guru Sejarah di SMK Kesehatan Yaleka Maro, Merauke juga tidak setuju Pelajaran Sejarah dihapus atau dijadikan pilihan. Alasannya, sejarah merupakan komponen penting bagi Indonesia sebagai bangsa yang besar, sehingga harus menjadi bagian kurikulum di semua jenjang pendidikan.

“Nilai-nilai yang dipelajari dalam pelajaran sejarah merupakan salah satu kunci pengembangan karakter bangsa,” ujarnya kepada Jubi saat dihubungi via telepon, Minggu (31/10/2020).

Epifianus lulus dari Sekolah Tinggi Katolik Santo Yakobus Merauke, Papua pada 2016, kemudian menjadi guru di SMK Kesehatan. Ia mengampu 9 jam Pelajaran Sejarah setiap minggu di Kelas X.

Setiap bangsa di bumi ini mempunyai sejarah masing-masing, meski tidak semua bangsa mempunyai catatan sejarah secara tertulis, dengan mempelajari sejarah sama dengan mengenal diri sendiri,” ujarnya.

Sebaliknya, melupakan sejarah sama dengan orang yang menderita hilang ingatan. Karena itu, ia mengusulkan agar pemerintah melalui Kemdikbud tetap memasukan Pelajaran Sejarah di SMK dan SMA. (CR-7)

Editor: Syofiardi

Related posts

Leave a Reply