Guam tak mendukung pembangunan pangkalan militer AS

Jubi | Portal Berita Tanah Papua No. 1,

Guam, Jubi – Sebagai teritori yang sangat kecil, Guam justru berada di posisi paling staretegis di tengah ketegangan militer di kawasan Pasifik dan bahkan Laut Tiongkok Selatan. Sebagai teritori kecil itu pula, ia tetap berdaulat dan memiliki kepentingan sendiri yang diperjuangkan.

Langkah mencengangkan baru-baru ini diambil Gubernur Guam, Eddie Calvo. Ia menarik dukungannya terhadap Amerika Serikat terkait rencana negara adidaya tersebut memperluas pangkalan militer mereka di Guam. Jumlah personel militer AS di Guam akan ditambah dari semula 6.000 menjadi 11.000 personel. Sebanyak 5.000 personel tambahan adalah pasukan yang dideploy dari Okinawa, Jepang.

Calvo mengatakan, kebijakan pemerintah federal yang menolak permohonan visa pekerja temporer ke wilayah itu telah berdampak buruk bagi perekonomian Guam. Dalam sebuah video yang diunggah oleh Pacific Daily News, Calvo mengatakan bahwa ia kini berubah pikiran dan menolak rencana perluasan pangkalan militer dan semula mendukungnya. “Karena kebijakan federal ini membuat kami kekurangan tenaga kerja, maka dalam hal ini (perluasan pangkalan militer), saya tidak mempunya pilihan selain menolaknya,” ujarnya.

Dengan tegas, Calvo menyatakan bahwa Guam tidak akan mendukung langkah dan kebijakan AS untuk memperluas pangkalan militer di Guam. Bagi Calvo, kebijakan ini adalah upaya menaikkan daya tawar mereka di hadapan AS.  “Ini berlaku selama pemerintah federal terus mengganggu perekonomian kami,” tuturnya.

Karena kekurangan tenaga kerja, banyak proyek-proyek yang mangkrak dikerjakan di Guam; baik proyek pembangunan rumah pribadi maupun perusahaan besar yang telah menanamkan investasi besar di Guam.

Selain itu, Calvo juga telah menginstruksikan Kejaksaan Agung Guam untuk menindaklanjuti gugatan hukum yang diajukan oleh Asosiasi Kontraktor Guam melawan pemerintah AS pada Oktober lalu.

Menurut Asosiasi Kontraktor Guam, pelayanan imigrasi AS kini hanya mengabulkan lima persen permohonan visa pekerja temporer. Sementara, sebelumnya Imigrasi AS mengabulkan 95 persen permohonan visa. Hasilnya, Calvo mengatakan bahwa angkatan kerja produktif Guam berkurang dari semula 1.000 orang menjadi hanya 178 orang.

Jumlah ini tentu tidak dapat memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang mencapai 4.000 orang terutama untuk membangun fasilitas Departemen Pertahanan.

Calvo berencana akan menulis surat kepada Presiden AS, Donald Trump dan Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe untuk memberitahu kedua pemimpin negara ini bahwa perluasan pangkalan militer di Guam itu bisa terjadi atas pengorbanan masyarakat Guam.

Ketegangan Geopolitik

Secara geopolitik, kawasan Mikronesia di Pasifik menghadapi ancaman yang sangat serius. Ketempatan berbagai pangkalan militer dan stasiun sistem antimisil tidak serta merta membuat masyarakat di Mikronesia menjadi aman. Salah seorang akademisi dari Mikronesia, Michael Luhan Bevacqua mengatakan itu seperti dikutip oleh RNZI.

Guam dipilih menjadi lokasi pangkalan kekuatan angkatan laut AS Guam dengan kekuatan 6.000 marinir. Dalam dekade mendatang, jumlah personil ini akan terus ditambah menjadi 11.000 marinir. Menurut Bevacqua, awalnya penduduk lokal sangat antusias dengan rencana itu karena dapat memberikan stimulus ekonomi di Guam. Namun, hal itu pupus seiring dengan kebijakan ketenagakerjaan pemerintah AS.

Padahal, Guam memiliki posisi strategis kekuatan militer AS di Asia Pasifik. Hal ini mau tidak mau juga menjadikan masyarakat Guam dan Mikronesia menjadi target penyerangan lawan. Sebagai bagian dari teritori AS, Guam menjadi tempat pangkalan angkatan udara dan angkatan laut, Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) dan sistem antimisil.

Sistem THAAD dideploy ke Guam pada tahun 2013 setelah adanya laporan percobaan senjata nuklir oleh Korea Utara. Karena ancaman Korea Utara, minat terhadap THAAD kian kuat dari negara sekutu AS di Asia, yaitu Jepang dan Korea Selatan.

Dalam beberapa bulan terakhir, pejabat pertahanan dari Jepang dan Korea Selatan kerap mengunjungi Guam. “Mereka melakukan tur mengitari pulau ini, tidak hanya mengunjungi THAAD. Meski memang iya, mereka mengunjungi THAAD,” ujar petugas hubungan masyarakat pangkalan militer AS Mariana, Letnan Tim Gorman.

Turut mendampingi delegasi dari Korsel yang dipimpin Jenderal Sun Jin Lee, yaitu Komandan pangkalan militer AS di Korsel, Jenderal Vincent Brooks. Kepada media, Jenderal Brooks mengatakan bahwa meski AS tidak memilih jalan perang, namun AS akan tetap mempersiapkan diri jika Korea Utara memilih perang.

“Kita perjelas saja, jika sesuatu terjadi seperti yang Korut inginkan (perang), Kim Jong-Un dan rezim Korut harus bertanggung jawab dan menerima risikonya,” ujar Brooks akhir tahun lalu.

Setelah itu, Korut meluncurkan empat misil balistik ke perairan Jepang. Ini bisa jadi sinyal dari Korut meningkatkan ketegangan menyusul meningkatnya kerjasama antara AS dan Korea Selatan di bidang militer. Sebagai respon atas langkah Korut itu, AS mendeploy THAAD ke Korsel.

Pendeployan THAAD ini ternyata juga menimbulkan kemarahan Tiongkok karena sistem radarnya mencapai wilayah mereka dengan sangat baik. Ketegangan antara Beijing dan Washington meningkat karena langkah AS itu dijawab oleh Tiongkok dengan mengerahkan kekuatan angkatan lautnya di Laut Tiongkok Selatan. **

Related posts

Leave a Reply