Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Benediktus Fatubun*
Gerakan literasi yang semakin banyak di Papua menghadirkan kebanggaan tersendiri, sekaligus kekhawatiran di sisi lain. Kebanggaan karena kesadaran akan pentingya literasi guna mendongkrak kualitas sumber daya manusia sedikit banyak telah menjadi perhatian.
Kekhawatiran hadir karena jangan sampai gerakan ini berhenti pada tahap formalitas yang lebih mengedepankan kuantitas dan selebrasi dibandingkan kualitas dan esensi. Premis yang saya ajukan dalam tulisan ini adalah bagaimana gerakan literasi di papua tidak hanya hadir secara kuantitas, tetapi juga kualitas dan lebih penting, pemahaman politik dalam menjalankan gerakan tersebut haruslah dimiliki.
Tulisan ini tidak bermaksud memukul rata semua kelompok atau individu yang bergerak di bidang literasi. Saya tetap mengangkat topi untuk beberapa kelompok, yang secara konsisten menjalankan gerakan-gerakan literasi dengan kesadaran politik yang jelas—menjalankan gerakan literasi sesuai fungsinya. Tulisan ini hadir sebagai pengingat untuk kitong semua agar tidak terjebak dalam penyakit selebrasi akan kuantitas yang minim kualitas.
Antara kuantitas dan kualitas
Sebelum bertolak lebih jauh, saya jelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan literasi? Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), UNESCO, hingga Deklarasi Praha pada intinya memahami literasi sebagai aktivitas yang tidak cukup hanya sebatas melek huruf. Aktivitas tersebut haruslah diperluas menjadi kegiatan membaca dan menanggapi fenomena sosial-budaya-ekonomi-politik, yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Pendeknya, puncak dari gerakan ini haruslah menghasilkan manusia-manusia yang memahami realita, dan dengan begitu berani mengambil sikap.
Literasi dan gerakan literasi dalam artian yang lebih sempit dan lawas biasanya dimaknai sebagai aktivitas perbukuan, membaca dan menulis. Tak ada yang salah dengan pengertian tersebut. Faktanya, kemampuan membaca dan menulis adalah prasyarat awal yang harus diselesaikan sebelum beranjak ke tingkat selanjutnya.
Penerbitan, penjualan dan pendistribusian buku jelas dibutuhkan sebagai pendukung aktivitas literasi, tetapi akan bermasalah jika gerakan tersebut disimplifikasikan hanya sebatas perbukuan, kemampuan membaca dan menulis. Mereduksi makna literasi dan gerakan literasi hanya seputar perbukuan, membaca dan menulis tidak akan membawa perubahan yang berarti dalam hidup. Persis pada titik inilah masalah utama dalam praktik literasi selama ini. Kita masih memandang gerakan tersebut sebatas pencetakan buku-buku, penjualan, pendistribusian, dan hal-hal yang berhubungan dengan keberaksaraan.
Baca juga: Perempuan adat sebagai simbol resistensi terhadap deformasi alam Papua
Pertanyaan yang bisa diajukan adalah, kalau buku-buku sudah terdistribusikan ke seluruh Papua dan masyarakat Papua sudah melek literasi, lalu apa selanjutnya? Kalau literasi dan gerakan literasi hanya dimaknai sebatas perbukuan, kemampuan membaca dan menulis, maka kurang literer apa kita yang hidup di tengah-tengah kemajuan teknologi seperti sekarang?
Kita membaca, menulis (baca: mengetik) di media sosial (Facebook, Instagram, Twitter, WhatsApp) setiap hari, pendistribusian buku-buku sudah semakin membaik; seharusnya kita lebih literer dibanding mereka yang hidup di abad ke-15. Apakah hanya seperti itu gerakan yang kita maksudkan? Mari kita berlayar ke Eropa—tempat di mana gerakan tersebut tumbuh subur dalam kedai-kedai kopi.
Literasi dan gerakan literasi sendiri mulai tumbuh subur pada awal tahun 1400 (sekitar abad ke-15), khususnya di kalangan kelas menengah dan pedagang di Florence, Italia. Gerakan tersebut membesar dan tersebar semakin luas dengan ditemukannya mesin cetak modern pertama oleh seorang pandai besi, Johannes Gutenberg dari Mainz, Jerma (Primadesi: 2018).
Baca juga: Seandainya 8 tapol Papua tidak ditahan
Gerakan tersebut tidak hanya berhenti pada aktivitas membaca dan menulis, melainkan membaca dan menanggapi berbagai fenomena sosial, budaya, ekonomi, politik dan berbagai perkembangan ilmu pengetahuan pada masanya. Untuk sampai pada taraf menanggapi, kelompok-kelompok tersebut harus melalui berbagai tahap, diantaranya, mengadakan diskusi-diskusi, debat-debat terbuka, melakukan korespondensi dengan sahabat pena, serta membaca buku dan realita yang terjadi di sekitarnya secara kritis. Konsekuensi logis dari semua tahapan yang dilalui ialah menghasilkan pribadi-pribadi yang memiliki sikap yang jelas dalam menanggapi persoalan di masyarakat.
Kita harus jujur bahwa simplifikasi-simplifikasi perihal makna literasi maupun gerakan literasi justru berkembang luas dan dipertahankan oleh negara serta (sebagian) kelompok maupun individu (sadar maupun tak sadar, sengaja maupun tak sengaja) yang mendaku sebagai penggiat literasi. Gerakan literasi semakin luas, tetapi pemahaman akan literasi tidak seluas persebaran gerakan tersebut. Kita masih terpaku pada pengertian jadul dari literasi: perbukuan, membaca dan menulis.
Bercermin dari pemahaman di atas, gerakan literasi yang menjamur di Papua rasanya perlu dipertanyakan, gerakan literasi seperti apa yang ingin kita capai? Manusia Papua seperti apa yang ingin kita persiapkan?
Gerakan literasi dan tuntunan akan kesadaran politik
“Indehome itu su tra berfungsi lagi. Kita su tidak bayar lagi. Tiga bulan awal saja yang kita ada pakai senang-senang ini. Pas su habis, mau isi tapi uang tidak ada yo. Kita mau isi barang itu (indihome) atau mau beli makan?”
Kutipan di atas adalah jawaban seorang kawan ketika merespons pertanyaan yang saya ajukan. Untuk pemasangan awal Indihome, dikenakan tarif sekitar Rp 500 ribu (5 mbps). Per bulan pengguna indihome dikenakan biaya sekitar Rp 300 ribu.
Fenomena ini adalah persoalan baru yang sedang berkembang di Tanah Merah (Boven Digoel). Masyarakat mulai berbondong-bondong menggunakan indihome tanpa memikirkan konsekuensi-konsekuensi ke depannya. Lebih gawatnya, pemasangan indihome hanya digunakan untuk memenuhi hasrat konsumtif di dunia maya tanpa tahu manfaat yang bisa didapat dari pemasangan indihome tersebut.
Budaya baru yang kelihatannya menarik, secara perlahan merusak kehidupan dan kemampuan berpikir manusia Papua. Belum lagi kita praktik-praktik lancung pihak-pihak terkait, yang justru semakin memberatkan kehidupan ekonomi masyarakat. Lingkungan sosio-budaya yang tidak sehat semakin memperparah tumbuh kembang manusia Papua.
Baca juga: Pembungkaman kebebasan eksistensial OAP dalam sistem NKRI
Kasus di atas adalah salah satu masalah yang ada di tengah-tengah masyarakat, dan pada titik inilah seharusnya gerakan literasi berperan sebagai gerakan penyadaran.
Memunculkan kesadaran politik dalam praktik-praktik literasi pada akhirnya membawa kita pada pemahaman yang lebih luas perihal pengertian dari literasi. Literasi tidak cukup dilihat sebagai aktivitas yang berhubungan dengan keberaksaraan, melainkan harus dipandang sebagai aktivitas membaca dan menanggapi fenomena sosial-budaya-ekonomi-politik, yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Terkait hal ini, John Storey (2018) dalam bukunya mengulas kembali tulisan Richard Hoggart tentang The Uses Of Literacy. Di sini John Storey memperlihatkan bagaimana Hoggart menunjukkan maksud dari salah satu bentuk melek literasi dan bagaimana seharusnya gerakan tersebut digunakan. Menggunakan pendekatan komparatif dan historis, Hoggart menggambarkan perubahan karakteristik budaya kelas pekerja di Inggris tahun 1930-an sampai dengan era 1950-an, beserta dampak-dampaknya.
Gerakan literasi di Papua menuntut para penggiatnya untuk memiliki kesadaran politik dalam kerja-kerjanya. Kesadaran politik ini, suka tidak suka, harus dimiliki guna menepis anggapan, bahwa gerakan literasi hanyalah sebuah epigon yang sarat akan selebrasi serta minim esensi.
Baca juga: NKRI Harga Mati: Slogan memusnahkan orang asli Papua
Kesadaran politik harus dimiliki sebagai langkah awal menata gerakan literasi di Papua. Kasus di atas adalah salah satu masalah yang saya temui di tengah-tengah masyarakat. Ada kasus (misalnya, kasus perusahaan yang merebut tanah masyarakat) yang lebih besar dan sangat kompleks jika berbicara soal literasi dan Papua sebagai tempat di mana gerakan tersebut hadir.
Perihal bagaimana gerakan literasi (saat itu disebut dengan gerakan Zending dan Misionaris yang salah satu programnya adalah pendidikan) digunakan sebagai alat untuk mempersiapkan manusia Papua dalam menghadapi berbagai perkembangan kala itu sudah dijelaskan sedikit banyak oleh P.J Drooglever (2010) dalam bukunya “Tindakan Pilihan Bebas!: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri”.
Dalam buku tersebut Drooglever menjelaskan bagaimana pendidikan (terlepas dari kepentingan Belanda mencari tenaga ahli untuk mengisi kekosongan dalam birokrasi mereka) yang diberikan oleh para Zending dan Misionaris diarahkan pada satu persiapan manusia Papua dalam menghadapi arus modernisasi. Selain itu, metode pendidikan yang menggabungkan budaya Papua dan ilmu pedagogi yang mereka bawa dari Belanda dapat diterima oleh masyarakat Papua.
Berkaca dari hal di atas, dalam bidang budaya, seharusnya gerakan literasi Papua yang tumbuh seperti pakis di musim penghujan, mampu mengorganisir diri bersama masyarakat, guna melihat masalah yang terjadi di sekitar mereka, sekaligus mengantisipasi berbagai budaya baru.
Baca juga: Mengukur efektivitas pemutakhiran data pemilih berkelanjutan
Gerakan literasi haruslah diarahkan pada sebuah pemahaman akan masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat, dan akhirnya bersama-sama merumuskan strategi dan taktik untuk menyelesaikannya.
Contoh kasus di atas (pemasangan Indihome) adalah salah satu bentuk budaya baru dalam masyarakat, yang secara sumber daya manusia belum siap hingga pada akhirnya budaya tersebut justru merusakkan kehidupan mereka.
Pemahaman akan kondisi budaya masyarakat—tempat kita menjalankan gerakan—haruslah dimiliki oleh kelompok maupun individu yang mendaku sebagai penggiat literasi. Bicara soal budaya di Papua berarti kita berbicara soal sebuah bangsa yang budayanya sebentar lagi hilang tergerus arus budaya lain.
Literasi dan gerakan literasi seyogianya menjadi pintu utama dalam mengantisipasi laju budaya baru yang masuk ke Papua. Selain itu, kita dituntut untuk sadar, bahwa hilangnya budaya Papua tidak terlepas dari campur tangan pemerintah Indonesia melalui berbagai regulasi/peraturan yang tidak berpihak pada OAP (orang asli Papua), salah satunya adalah pemekaran wilayah yang dipaksakan tanpa melihat kesiapan wilayah tersebut.
Kesadaran politik dalam memilih buku bacaan bagi masyarakat harus dipikirkan juga. Buku bacaan yang kita berikan, akan menentukan kualitas si pembaca. Tidak tepat rasanya jika kita secara serampangan memberikan buku untuk dikonsumsi oleh masyarakat tanpa memeriksa kualitas buku tersebut.
Baca juga: Pentingnya data dalam proses pembangunan daerah
Anggapan bahwa semua buku adalah ilmu jelas benar adanya, tapi perlu diingat, tidak semua buku mampu menumbuhkan sikap kritis, memperhalus kemanusiaan dan menghidupkan imajinasi para pembacanya. Buku-buku yang kontennya justru mengerangkeng kemampuan berpikir haruslah diperhatikan secara serius. Tanpa kesadaran politik dalam gerakan literasi, rasanya buku-buku yang dikirim ke seluruh Tanah Papua secara besar-besar akan percuma saja.
Hal tersebut sama dengan logika bahwa semakin banyak guru dan gedung sekolah, otomatis dapat meningkatkan kualitas pendidikan di Papua menjadi lebih baik. Fakta di lapangan menunjukkan hal sebaliknya.
Logika kuantitas mendahului kualitas seharusnya disingkirkan jauh-jauh. Papua adalah salah satu objek sekaligus contoh nyata dari logika kuantitas mendahului kualitas.
Berbagai gerakan maupun program dengan embel-embel “gerakan literasi”, “mendidik dari pinggir” dan program-program sejenisnya terang tak membawa perubahan yang signifikan.
Sudah saatnya gerakan literasi yang dimotori oleh generasi muda harus berani mengarahkan gerakan ini menuju sebuah gerakan pembebasan. Gerakan yang oleh Paulo Freire disebut “gerakan menghancurkan budaya bisu dalam masyarakat”. Gerakan yang menyadarkan masyarakat Papua akan penindasan yang mereka alami.
Sa percaya, semua yang mendaku sebagai penggiat literasi di Papua, sangat paham dengan kondisi Papua sekarang. Terlepas dari berbagai kepentingan individu maupun kelompok, kita semua mempunyai beban moral untuk meletakkan kembali literasi dan gerakan literasi pada jalurnya. Salam literasi. (*)
* Penulis adalah salah satu pendiri Rumah Baca CIBUK Boven Digoel
Editor: Timoteus Marten