George Junus Aditjondro selalu berpihak pada mereka yang tertindas

Portal Berita Tanah Papua No. 1 | Jubi ,

Jayapura, Jubi – Biarpun ada pusat perbelanjaan modern di Singapura tetapi masih ada ruang bagi pedagang kaki lima(PKL) di sana. Itulah salah satu saran yang diberikan mendiang Dr George Junus Aditjondro sebagai fasilitator dalam menyikapi ambisi Makassar menjadi kota metropolitan dalam latihan penelitian INFID di Makassar, 11-25 Oktober 2009. Bahkan dalam latihan penelitian ini, mendiang menunjukan hasil penulisan buku berjudul Gurita Cikeas.

"Saya selalu mengamati kasus-kasus korupsi Presiden Republik Indonesia era Soeharto sampai dengan Gurita Cikeas. Jadi saran saya dalam melakukan penelitian maupun penulisan harus fokus pada bidang yang digeluti," katanya kala itu.

Tujuh tahun kemudian tepat di usia ke 70 tahun, Dr George Junus Aditjondro telah pergi menghadap Sang Pencipta,  pada Sabtu, 10 Desember, pukul 05.45 WITA, di Rumah Sakit Bala Keselamatan, di Jalan Woodward, Palu Selatan, Kota Palu, Sulawesi Tengah.

Jenazah aktivis dan peneliti George Junus Aditjondro rencananya akan dimakamkan di Talise, Kota Palu, Sulawesi tengah.

"Rencananya hari Minggu atau Senin," Arianto Sangaji, rekan George sebagaimana dilansir Tempo.co

Kehadiran George Junus Aditjondro di Kota Jayapura jelas memberikan angin baru bagi gerakan masyarakat sipil di Papua. Musa Sombuk dosen Fakultas Pertanian UNIPA Manokwari menilai perlunya investigative reporting agar penulisan bisa lebih mendalam. Pasalnya lanjut Musa Sombuk ada peristiwa-peristiwa kecil yang bisa berkembang menjadi lebih besar. Namun yang jelas Dr George Junus Aditjondro pengembang jurnalistik kampung di Papua sejak 1984 memberikan tips-tips dalam menulis berita dari kampung antara lain setiap pulang dari lapangan atau kampung harus menggambarkan lokasi peliputan terutama jarak dari kota ke kampung lengkap dengan peta-peta.

Kepada Jubi saat berkunjung ke Papua, mendiang Aditjondro mengatakan tidak semua orang atau pembaca mengetahui lokasi perjalanan jurnalistik terutama di daerah terpencil, sehingga dalam penulisan harus dilengkapi dengan peta lokasi maupun gambar atau foto sebagai pelengkap.

Dr George J Aditjondro bukan nama asing bagi para aktivis LSM mau pun lingkungan di Indonesia khususnya di tanah Papua. George justru melihat sosok almarhum Arnold C. Ap sebagai salah satu tokoh gerakan masyarakat sipil di Papua.

Bagi George, sosok Arnold Ap tak boleh dilupakan dalam gerakan masyarakat sipil di Papua. Bagi Aditjondro paitua  Arnold melalui group musik Mambesak berhasil membangun kecintaan terhadap lingkungan mau pun identitas suku dan budaya.

Mendiang George juga membangun gerakan masyarakat sipil di Papua era 1980 an yang membentuk Kelompok Kerja Ouikemene (KKO). Kelompok ini merupakan bentuk kerja sama antara badan kerja Gereja Katholik melalui Delsos dan Gereja Kristen Papua (GKI) di tanah Papua.

Kemudian KKO ini berkembang lagi menjadi Irja DISC atau Irian Jaya Development Information Service Center (DISC) dan menerbitkan bulletin yang diberi nama Berita Pembangunan Desa (BPD). Bahkan  Arnold Ap memberikan saran agar bahasa yang digunakan dalam penerbitan bulletin harus memakai bahasa yang merakyat sehingga masyarakat mengerti.

“Logo Irja Disc merupakan hasil disain dari Arnold Ap,” ujar George J Aditjondro.

Kedekatan George dengan Arnold dan juga Ketua Lembaga Antropologi Uncen Dr Daniel Ajamiseba serta Pembantu Rektor (PR) I Agus Kafiar memberikan peluang buat Irja DISC berkantor di Lembaga Antropologi Uncen di Abepura.

“Irja DISC waktu itu berkantor di Lembaga Antropologi Uncen atau Kantor Loka Budaya atau Museum Antropologi Uncen. Karena kantornya di Uncen dan Agus Kafiar sebagai Pembantu Rektor I dan Daniel Ajamiseba Ketua Lembaga Antropologi ikut menjadi penasehat bagi Irja DISC,” ungkap George.

Karena artikel-artikel yang diterbitkan di Irja DISC melalui billetinnya begitu keras dalam mengeritik pemerintah sehingga Irja DISC membentuk Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa (YPMD) – Papua untuk memberikan ruang bagi keterlibatan semua pihak, bukan hanya gereja saja.

YPMD Papua lahir pada 8 Desember 1984 dan menerbitkan bulletin yang dinamakan,”Kabar dari Kampung (KdK).” Terbitan Kdk ini menggunakan bahasa Indonesia versi Papua yang cukup sederhana dan dimengerti oleh semua pihak. Sejak tahun 1984 hingga tahun 1998 Kabar dari Kampung (KdK) masih terbit.

Direktur YPMD, Decky Rumaropen menjelaskan ide membuat buletin Kabar dari Kampung muncul saat berkunjung ke Papua New Guinea (PNG). Di sana ada media bagi masyarakat di PNG bernama Lik-lik buk yang bercerita tentang masyarakat kampung di PNG.

Lahirnya YPMD Papua diikuti pula dengan berdirinya Lembaga Bantuan Hukum (LBH)- Papua yang saat itu langsung mendampingi Dr Tom Wanggai dalam sidang makar di Pengadilan Negeri Kota Jayapura 1988.

George Junus Aditjondro terkena stroke pada 2012,sempat dirawat di Jogjakarta kemudian di Jakarta kemudian di Palu. Selama menderita sakit masih menemani istri keduanya, Erna Tenge, akademisi Universitas Tadulako.

Sebelumnya, George menikah dengan Bernadetta Esti dan dikaruniai seorang anak lelaki, Enrico Suryo Aditjondro. Setelah bercerai dari Bernadetta, mantan pendiri YPMD Papua itu menikah dengan Erna Tenge, akademisi perempuan kelahiran 1956 dari Fakultas Ekonomi, Universitas Tadulako. (*)

Related posts

Leave a Reply