Gendang tifa di Sanggar Seni Rei May

Papua No. 1 News Portal | Jubi ,

TABUH tifa dengan irama yang cepat terdengar sangat keras di bawah rindang pepohonan jati putih pada sore Jumat, 27 Juni 2018. Belasan anak usia sekolah sedang berlatih gerak dasar wor mengikuti irama tifa. Gerak dasar wor biasa ditarikan masyarakat Kabupaten Biak Numfor.

Begitulah aktivitas Sanggar Seni Rei May di kaki gunung Siklop jalan lingkar utara, Kabupaten Jayapura. Lokasinya pun berdekatan dengan Pemandian Alam Club Pencinta Alam Hirosi Kemiri atau Kolam Pemandian CPA Hirosi di Kelurahan Hinekombe, Distrik Sentani.

Anggota sanggar yang berasal dari berbagai suku di Kabupaten Jayapura berlatih di sebuah bangunan permanen berukuran 10 X 8 meter persegi dengan lantai ‘tehel’ (tegel). Sanggar rutin menggelar latihan dua kali seminggu, Rabu dan Jumat.

Marshall Suebu, seniman dan pemerhati lingkungan di Jayapura, sore itu ikut menyaksikan latihan. Ia salah satu motor pendirikan Rei May pada April 2000.

Menurut Suebu, ide pendirian bermula dari berkumpulnya sejumlah seniman dan budayawan muda dari beberapa sanggar yang sudah ada. Mereka, termasuk Suebu, berembuk membuat satu sanggar seni sebagai tempat berhimpun generasi muda, sekaligus mempromosikan budaya lokal Papua, baik di dalam maupun di luar daerah.

“Karena sudah ada pengalaman kita terlibat di sejumlah sanggar, maka kami mendirikan lagi sanggar yang dinamai Sanggar Seni Rei May yang artinya syukur atau sukacita,” ujarnya.

Wadah tersebut terbentuk untuk menghimpun generasi muda yang aktif dan kreatif untuk berkreasi, sehingga ada ruang-ruang kreasi bagi mereka dalam meyalurkan minat dan bakat di bidang seni budaya.

“Sebab kalau tidak ada ruang bagi generasi muda untuk menyalurkan bakat mereka yang positif, maka sudah pasti larinya ke hal-hal yang sangat merugikan pemuda itu sendiri, padahal mereka punya potensi yang cukup untuk melahirkan karya-karya seni yang luar biasa dan itu berlangsung hingga sekarang, itu yang menjadi latar belakang berdirinya Sanggar Rei May,” kata Suebu.

Setelah didirikan, Sanggar Rei May didaftarkan ke kantor Kesatuan Bangsa, Pemkab Jayapura sebagai organisasi kemasyarakatan.

“Selain jadwal latihan rutin, ada jadwal latihan tambahan ketika ada permintaan pentas dan mengisi pada acara-acara tertentu,” ujarnya. 

Menurut Suebu, peran sanggar sangat penting untuk mempertahankan budaya lokal dan secara umum budaya Papua. Sebab di sanggar diajarkan karya seni tradisi kepada generasi muda.

Salah satunya “Tari Reimay” yang menggambarkan bagaimana ungkapan syukur masyarakat Papua, khususnya masyarakat Sentani atas anugerah Tuhan terhadap kehidupan mereka melalui hasil panen di kebun, hasil mencari ikan di danau, serta hasil berburu di hutan. Selain itu juga diajarkan Tari Noken, Pangkur Sagu, dan karya seni lainnya.

Selama 18 tahun beraktivitas, Sanggar Seni Rei May sudah mementaskan sejumlah karya seni. Anak-anak asuhnya tidak hanya tampil pada acara tahunan seperti festival budaya anak dan remaja tingkat Provinsi Papua dan nasional serta festival seni tari kreasi daerah, tetapi juga mengisi kegiatan seni pentas-pentas formal pada acara yang dihadiri pejabat dari pusat.

“Bahkan juga diminta untuk menjemput para pejabat negara dengan tarian penjemputan,” ujarnya.

Keunggulan Sanggar Seni Rei May, menurut Suebu, 80 persen anak asuhnya adalah generasi muda yang Bhinneka Tunggal Ika. Mereka benar-benar kreatif dan aktif untuk kegiatan sosialisasi seni dan budaya serta enerjik untuk menghasilkan karya seni.

“Tidak hanya di bidang seni dan budaya, tetapi juga lingkungan, generasi muda yang benar-benar bebas dari pengaruh miras dan narkoba,” katanya.

Di Rei May anggotanya juga tidak hanya latihan seni-budaya, tetapi juga dibekali materi kepemimpinan. Tujuannya agar nanti sanggar itu tidak hanya melahirkan penari-penari hebat, tetapi juga koreografer berbakat yang akan melanjutkan wadah berhimpun tersebut.

Kesuksesan Rei May sebagai grup seni juga tidak terlepas dari kepiawaian seorang koreografer. Ialah Jimmi Ondi yang mampu menciptakan gerak-gerak dasar menjadi sebuah karya seni yang luar biasa.

Jimon sapaan akrabnya, kepada Jubi, menceriterakan pengalaman setelah belasan tahun bersama Sanggar Seni Rei May.

“Memang tidak mudah meramu sebuah karya seni, lalu ditularkan kepada anak-anak didik di sanggar,” ujarnya.

Semua gerak dasar tarian Papua, tambahnya, diajarkan kepada anak-anak didik. Dari gerak dasar tersebut kemudian dirangkai dengan gerak tari modern.

Untuk pengembangan seni-budaya, Jimon berharap Pemkab Jayapura menyediakan ruang khusus untuk sanggar bisa tampil, sehingga kecintaan masyarakat terhadap budaya Papua tidak hilang.

Kristian Monim sudah lima tahun menjadi anggota Sanggar Seni Rei May. Ia mengaku banyak hal yang didapatnya. Monim telah mengikuti penampilan di festival budaya anak tingkat provinsi dan nasional, festival seni pertunjukan tingkat provinsi papua, dan acara lainnya di daerah.

“Saya masih ingin banyak belajar di sanggar ini untuk mengembangkan seni-budaya, khususnya budaya Papua,” ujarnya.

Anggota lainnya, Fransina Degei, yang sudah tiga tahun bergabung, mengaku di Rei May dia tidak hanya mendapatkan pelajaran seni budaya, tetapi juga kecakapan hidup, cinta lingkungan, dan dasar-dasar kepemimpinan. (*) 

Related posts

Leave a Reply