Papua No. 1 News Portal | Jubi
Nabire, Jubi – Pacific Media Centre (PMC) memrotes Facebook karena menyensor foto yang jadi bagian isi berita terkait kebebasan media West Papua. Direktur PMC, David Robie, menuding tindakan itu sebagai “tirani algoritma”.
Terkait hal ini Facebook telah didesak oleh banyak advokat kebebasan media untuk mengembalikan artikel yang ditariknya atas alasan melanggar aturan soal ‘ketelanjangan’ (nudity) itu.
Artikel yang dimaksud, mengutip RNZI (13/8/2020), adalah laporan terkait meningkatnya perhatian terhadap kebebasan media di Melanesia yang dipublikasikan oleh International Federation of Journalists (IFJ) dalam Pacific Journalism Review pada edisi terbaru mereka.
Laporan itu menyoroti situasi kebebasan media di kawasan Melanesia yang sangat perlu didorong, khususnya di Vanuatu, Fiji, PNG dan West Papua.
Penyensoran itu terjadi ketika David Robie, Direktur Pacific Media Centre, mencoba membagikan konten IFJ itu ke dalam beberapa grup media di Facebook, namun ia selalu menerima pesan pemblokiran saat mengirim konten itu dari platform media sosialnya (PMC).
Facebook menyatakan kiriman itu telah bertentangan dengan “standar komunitas soal ketelanjangan atau aktivitas seksual”.
Keberatan yang diatur secara otomatis oleh algoritma itu terkait dengan foto yang terlampir dalam artikel itu. Foto itu menggambarkan sebuah aksi protes yang diikuti oleh masyarakat asli Papua menampilkan dua laki-laki berkoteka, yang “dianggap ketelanjangan” oleh facebook.
Dr Robie tidak menerima balasan apapun dari raksasa media sosial itu atas upayanya berkali-kali mengajukan protes atas putusan itu. Bahkan kini laman facebooknya dituding melanggar “peringatan” standar penerobosan dan akan berlaku selama setahun.
Baca juga: Dosen Universitas Melbourne: Melanjutkan Otsus Papua bukan solusi terbaik
Terkait penyensoran itu, Reporters Without Borders juga meminta Facebook untuk mengembalikan artikel itu, dan bertindak lebih transparan dan bertanggung jawab terkait penghormatan terhadap kebebasan arus informasi.
“Kasus penyensoran yang benar-benar absurd ini menunjukkan derajat sampai dimana algoritma sepihak facebook itu menjadi ancaman serius bagi kebebasan arus informasi dan, lebih luas lagi, kebebasan pers,” ujar Daniel Bastard kepala urusan Asia Pasifik RSF.
“Karena Facebook sudah meletakkan dirinya sendiri sebagai semacam konveyor berita-berita dan informasi, (maka Facebook) terikat oleh persyaratan pertanggugjawaban dan transparansi, kami menyerukan bagian regional Facebook untuk mencabut penyensoran atas artikel ini.”
Dalam korenspondenya kepada Facebook, Dr. Robbie menyampaikan pengaduannya atas peghapusan sepihak kirimannya tersebut, dan proses Facebook yang “cacat” dalam pengajuan keberatan.
“Saya itu jurnalis, pembela kebebasan media, dan akademisi media dan sangat keberatan terhadap pemberitahuan pesan sepihak itu (berlandas pada algoritma dan bukannya nalar) terkait berita dan urusan-urusan terkini untuk kepentingan publik.”
“Semua orang yang punya nalar akan tahu bahwa foto yang dipersoalkan itu bukanlah ‘ketelanjangan’ dalam standar pedoman komunitasnya facebook,” kata Dr. Robie dengan kesal.
“Tidak ada proses yang layak untuk melawan atau menolak aturan sepihak itu,” ujarnya.
Dr. Robie mengatakan ia hanya mendapatkan jawaban dari fitur otomatis yang merespons bahwa terkait pandemi Covid-19 tenaga pengulas mereka atas keputusan (dalam hal ini terkait penyensoran) yang bisa melayani pengaduan, sedang berkurang.
Namun anehnya, lanjut Dr. Robie, konten asli IFJ di Facebook mereka tampaknya tidak diblok, hanya versi yang dibagi oleh Pacific Media Centre saja. (*)
Editor: Dewi Wulandari