Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Tim arkeolog dari Balai Arkeologi Provinsi Papua menemukan fosil kayu yang telah menjadi batu berbentuk batang pohon dengan berat sekitar 30 kg pada Sabtu, 17 Juli 2021. Fosil itu ditemukan di perbukitan sebelah barat Kampung Abar, Distrik Ebungfauw, Kabupaten Jayapura, Papua.
Peneliti Balai Arkelogi Provinsi Papua Hari Suroto mengatakan fosil kayu yang ditemukan pada ketinggian 162 meter di atas permukan laut (mdpl) tersebut diperkirakan berasal dari Zaman Pertengahan Miosen atau 15 juta tahun silam. Fosil telah mengalami proses geologi.
“Penemuan fosil kayu di endapan marin batu gamping kapuran, secara geologi endapan itu termasuk dalam zaman Miosen,” katanya di lokasi, di Kabupaten Jayapura, Papua.
Fosil tersebut ditemukan tak sengaja ketika Hari Suroto dan kawan-kawan sedang mencari serpihan gerabah peninggalan masa lalu di lokasi. Saat ini fosil kayu berada di rumah kepala suku Kampung Abar.
BACA JUGA: Situs yang diteliti Balai Arkeologi Papua harus dilindungi
Menurut Suroto, sekitar 15 juta tahun silam Pulau Papua terbentuk akibat tabrakan lempeng Pasifik yang bergerak ke arah selatan dan lempeng Australia ke arah utara.
“Ditemukannya fosil kayu tersebut menjadi data baru di Kawasan Danau Sentani dan Papua,” ujarnya.
Fosil yang pernah ditemukan di Papua sebelumnya adalah fosil mandibula (rahang bawah) kanguru di Nimboran, Kabupaten Jayapura pada 1979. Fosil yang ditemukan tim peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Jakarta tersebut dinamai Zygomaturus Nimboraensis.
Namun umur fosil kanguru itu belum diketahui karena masih dalam proses analisis isotop stabil pada fosil fauna untuk merekonstruksi lingkungan purba di Badan Geologi Bandung. Saat ini fosil rahang bawah kangguru tersebut disimpan di Labolatorium Paleontologi ITB.
Penemuan lain selain fosil kayu di Kampung Abar adalah tiga kepingan gerabah. Keping gerabah tersebut ditemukan pada ketinggian 166 mdpl pada Sabtu, 21 Juli 2021.
Uniknya kepingan gerabah yang ditemukan merupakan gerabah buatan lama yang saat ini tidak dibuat lagi di Kampung Abar.
“Sangat berbeda, saat ini yang dibuat di Kampung Abar dengan tanah liat murni, sedangkan gerabah temuan ada campuran pasir kuarsanya, pasir kuarsa yang berwarna putih-putih,” katanya.
Fungsi pasir kuarsa untuk menguatkan gerabah agar wadah tanah liat tidak mudah retak dan dinding struktur gerabah lebih kuat dibandingkan dengan gerabah buatan tanah liat murni.
Suroto menduga lokasi kepingan gerabah yang ditemukan merupakan daerah yang menjadi tempat persinggahan dari Suku Hawa. Menurut cerita rakyat dari Sentani suku tersebut lebih suka beraktivitas di atas gunung dan perbukitan dan jarang berakivitas di danau.
“Kalau kita lihat di sini gerabah ini kan hanya satu dua, berarti mereka tidak menetap, mungkin mereka bawa kemudian pecah, otomatis mereka tidak tinggal di sini,” ujarnya.
Tim dari Balai Arkeolog Provinsi Papua saat ini melakukan penelusuran kemungkinan adanya budaya bakar batu dengan mencari tumpukan-tumpukan batu di perbukitan Kampung Abar. Apabila ada kemungkinan, berarti ada dua jenis budaya, yakni budaya mengolah makan dengan sempe atau wadah tanah liat atau gerabah dan juga yang jenis pengolahan makanan selanjutnya, bakar batu.
“Apakah mereka ‘barapen’-nya model pegunungan dengan menggali tanah atau model pesisir yang hanya di permukan tanah saja. Jadi kemungkinan kalau kita menemukan kumpulan batu-batu akan sangat mendukung, tetapi kita masih cari,” katanya.
Kalau diperhatikan sekarang, kata Suroto, budaya bakar batu di Kampung Abar sudah menghilang dan yang masih eksis malah gerabahnya. Kemungkinan bakar batu merupakan teknologi Suku Hawa, tetapi karena kalah dalam perang dengan nenek moyang suku Abar yang datang kemudian akhirnya mereka meninggalkan daerah itu sehingga budaya tersebut juga hilang.
Dari cerita rakyat, kata Suroto, dulu di kawasan tersebut ada Suku Hawa yang lebih banyak di atas gunung dan perbukitan dan jarang beraktivitas di danau. Kemudian nenek moyang orang Abar datang yang budaya mereka budaya yang tidak bisa dilepaskan dari budaya danau.
“Sehingga terjadi perang suku dan wilayah Suku Hawa dikuasai suku nenek moyang Abar yang sekarang ini, terus karena mereka kalah dalam perang suku mereka meninggalkan daerah itu, akhirnya budaya tersebut hilang,” ujarnya.
Kepala Suku Kampung Abar Naftali Felle mengatakan Suku Hawa merupakan salah satu suku yang pertama hadir dan ada di pinggiran Danau Sentani bagian selatan. Menurut Felle suku Hawa berjalan dari arah timur menelusuri dan melewati beberapa kampung, yaitu dari Puay, Ayapo, Putali, dan terakhr di Kampung Abar.
“Suku Hawa terdiri dari tiga suku yaitu Suku Hawa Mundo, Hawa Kogolo, dan Hawa Kesa. Ketiga suku Hawa berpencar, terakhir di bukit-bukit dan di dusun-dusun kampung Abar dan menyebar, ada yang tinggal di Aimbea, Sekori, Sabiak, dan Aib,” katanya. (*)
Editor: Syofiardi