Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh Michelle Nayahamui Rooney
Pada Senin, 22 Juli 2019 lalu, komunitas Papua Nugini di sekitar Canberra mendapatkan kesempatan, untuk menghadiri pertemuan informal dengan Perdana Menteri Papua Nugini (PNG) yang sedang berkunjung, James Marape, istrinya, Rachael, dan sekelompok delegasi menteri dan birokrat senior lainnya. Meskipun kecil, komunitas PNG yang berkumpul terdiri dari beberapa ratus penduduk tetap Australia asal PNG, sekelompok mahasiswa, personel tentara, birokrat yang ditempatkan di Australia, serta keluarga kami.
Salah satu topik yang dibahas dalam beberapa percakapan saya adalah pemandangan langka di mana bendera PNG dan Australia berkibar bersama-sama. Pertemuan itu, seperti bendera yang melambai, membangunkan semangat kebanggaan nasional, mengenang apa artinya menjadi orang PNG yang tinggal di Australia, dan dipenuhi dengan tanda-tanda yang mencerminkan hubungan sejarah dan modern yang dalam antara PNG dan Australia.
PM Marape dan segenap delegasinya sampai diam-diam dan bergabung dengan komunitas kami. Prosesi acaranya bersifat informal dan bebas, dan dimulai dengan menyanyikan lagu kebangsaan PNG, sebagai lambang 1975 sebagai tahun bersejarah di mana PNG diberikan kemerdekaan dari Australia, dan lahir sebagai bangsa modern.
Merenungkan sejarah kolonial dan misi Kristen dan sejarah sebelum era kolonial, paduan suara Canberra Peroveta, yang dipimpin oleh jubir komunitas PNG, Deveni Temu, menyambut para petinggi yang berkunjung itu dengan himne bahasa Motu, Sivarai Namo – Good News. Menurut penjelasan, lagu itu berbicara tentang menaikkan bendera kekristenan untuk menerangi seluruh dunia. Nyanyian ini diperkenalkan ke dalam bahasa lokal pada akhir 1880-an, saat masa-masa awal era kolonial dan misionaris di sepanjang garis pantai Papua. Sejalan dengan proses penyebaran misi, pada 1884 pemerintah Inggris mengibarkan bendera Inggris di Port Moresby dan menyatakan wilayah itu sebagai protektorat dari Kerajaan Inggris.
Dengan semangat nasional dan sentimen sejarah membingkai acara tersebut, pembicaraan bergeser ke arah PNG di masa modern ini dan masa depan, ketika PM Marape maju untuk membawakan sambutannya. Ia berbicara tentang perubahan kepemimpinan negara itu yang kita saksikan sebelumnya tahun ini, mengatakan hal itu menandai pergantian generasi, dari generasi yang lebih tua ke generasi muda. Menyebutkan visinya tentang masa depan PNG, ia mengenang kemajuan manusia dan bagaimana mimpi bisa berubah menjadi kenyataan.
Beberapa tema dalam pidatonya memiliki nuansa yang sama dengan pernyataan media resmi kedua pemerintah, sementara tema lainnya lebih disesuaikan dengan orang PNG yang tinggal di diaspora. Ia menekankan pentingnya persatuan, ia mengungkapkan bahwa meskipun PNG adalah salah satu negara yang paling beragam di seluruh dunia, baik secara budaya, bahasa, dan keanekaragaman hayati, namun salah satu prestasi terbesar PNG adalah setelah 44 tahun merdeka, negara itu masih menyanyikan satu lagu kebangsaan dan mengibarkan satu bendera nasional. Dia menambahkan dalam topik ini, PNG telah mengibarkan benderanya dengan bangga. Namun ia tetap berhati-hati, menyinggung referendum Bougainville yang akan datang menguji persatuan dan keragaman bangsa itu, dan bahwa para pemimpin perlu menangani hal ini dengan bijaksana untuk menjaga keharmonisan dan persatuan.
Marape menekankan bagaimana administrasinya ingin membingkai kembali narasi mengenai citra PNG dengan mengklarifikasi bahwa, ungkapan ‘mengambil kembali PNG’ adalah tentang bergeser dari hal-hal negatif dan pesimisme yang mendominasi citra PNG di mata umum. Ia juga mengklarifikasikan maksud ungkapan lainnya ‘richest black nation on earth’ yang pernah ia katakan sebelumnya, istilah ‘black’ adalah konotasi untuk persoalan-persoalan modern yang sedang dihadapi PNG, dan kata-kata itu tersebut ia pilih untuk menggambarkan masa depan yang lebih baik untuk PNG.
Ia menegaskan bahwa, meskipun posisi kebijakan luar negeri PNG yang lebih berpengaruh adalah ‘friends to all dan enemies to none’, PNG sudah lama menjadi sekutu Australia. Namun, ia menjelaskan bahwa kunjungan ini, atas undangan rekannya PM Australia, akan fokus pada negosiasi tentang agenda PNG.
Meskipun dia tidak membicarakan kebijakan atau rencana konkret tertentu, dia mengumumkan bahwa pemerintahnya telah memulai proses konsultasi dan akan meluncurkan cetak biru pemerintah untuk mencapai visinya sebagai ‘richest black nation on the planet’ untuk sepuluh tahun ke depan, pada 16 September mendatang, Hari Kemerdekaan PNG.
Seiring dengan beberapa pernyataan resmi yang telah ia keluarkan sebelumnya, beberapa isu yang juga ia sebut termasuk mengubah PNG menjadi negara penghasil makanan di Asia. Dia berbicara tentang mengkaji kembali industri ekstraktif. Dia juga memastikan kepemimpinannya mengikuti prinsip-prinsip kekristenan yang mengikat bangsa itu tetap bersatu.
Dia mendorong orang-orang PNG yang tinggal di luar negeri untuk bekerja bersama-sama dengan pemerintahnya dan dengan kampung halaman mereka, mengisyaratkan bahwa dia menghargai hubungan antarpemerintah dengan pemerintah, tetapi juga hubungan people-to-people.
Marape mengundang orang-orang PNG yang tinggal di luar negeri, untuk mengambil kewarganegaraan ganda di bawah undang-undang kewarganegaraan ganda, yang sudah diresmikankan oleh pemerintah PNG. Dia menyambut kaum pemikir untuk kembali ke rumah mereka di PNG.
Apa yang tidak ia bicarakan juga penting. Marape berhati-hati untuk tidak membahas persoalan-persoalan seperti kehadiran Tiongkok di wilayah Pasifik, atau kebijakan keimigrasian yang telah menjadikan PNG sebagai tuan rumah pusat pemrosesan pengungsi dan pencari suaka lepas pantai Australia di Manus.
Ia tidak menyebutkan isu-isu yang paling mendesak di negara itu seperti kekerasan terhadap perempuan, atau masalah pemberdayaan perempuan apa pun. Dia juga tidak menyebutkan apakah visi ‘the richest black nation’ ini akan adil dan didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi dan aturan hukum. Mungkin detail ini akan ada dalam cetak biru pemerintah nanti.
Dari luarnya, kunjungan tersebut tampaknya melambangkan suatu pergeseran dalam hubungan bilateral antara kedua negara, dan suatu kesempatan bagi kedua pemimpin, sebagai orang yang baru dalam posisinya, untuk membentuk agenda baru. (Development Policy Centre, Australian National University)
Editor: Kristianto Galuwo