Papua No.1 News Portal | Jubi
Pagi 6 Juli 2018, dua ibu yang tinggal di desa-desa bertetangga di pulau yang terpencil, Savai’i, di Samoa, membawa bayi mereka yang baru berusia satu tahun untuk menerima imunisasi campak, gondok dan rubela (MMR) rutin mereka.
Vaksin MMR yang digunakan saat itu aman untuk digunakan, tetapi perawat yang memberikan suntikan – menurut suatu penyelidikan yang dilakukan setelah itu – salah mencampur vaksin dengan obat bius yang sudah kedaluwarsa, bukan air. Beberapa menit setelah menerima suntikan, bayi-bayi itu berhenti bernapas.
Kematian dua bayi itu mengejutkan seluruh negara kepulauan itu, tidak hanya di Savai’i, pulau terbesar, tetapi juga di Upolu, pulau dimana ibukota, Apia, berlokasi, dan sebagian besar dari 200.000 populasi di negara itu berada.
Hidup Opalameko yang singkat
Rumah yang ditempati Punipuao Siu dengan suaminya, Timu’a, menghadap ke rumah sakit di distrik Safotu. Diluar jendelanya, ia diingatkan ke hari dimana dia membawa bayi laki-lakinya, Opalameko, anaknya yang keempat, untuk diimunisasi di sana. Mereka merayakan ulang tahun pertamanya dua hari sebelum dia meninggal.
Di sana, keluarga-keluarga biasanya menjaga kedekatan mereka dengan anggota keluarga yang sudah meninggal dunia. Sudah tradisi di Samoa untuk menguburkan anggota keluarga di halaman rumah, dihiasi dengan bunga plastik dan foto, atau di kompleks pekuburan kecil yang lebih dekat dari rumah mereka.
Kematian Opa – dan kematian Lannacallysta Tuisuesue di pagi yang sama – memicu rasa ketakpercayaan yang meluas di Samoa tentang imunisasi, rasa takut yang lalu didorong oleh gerakan anti-vaksinasi yang berkembang secara daring. Di seluruh negara itu, tingkat imunisasi yang sudah rendah terus anjlok.
Pemerintah Samoa menghentikan program imunisasi nasional sementara mengarahkan agar penyelidikan dimulai atas kematian dua bayi itu dimulai. Baru pada bulan April 2019 program tersebut kembali diteruskan – delapan bulan setelah kematian Opalameko dan Lannacallysta – menyebabkan ribuan bayi tanpa perlindungan penuh terhadap penyakit MMR ketika wabah campak melanda akhir tahun itu.
Delapan puluh tiga anak meninggal dunia, dan 1.868 dirawat di rumah sakit. Total 5.705 anak terinfeksi.
Dampak pada keluarga yang ditinggalkan
Orang tua yang ditinggalkan kelihatan tabah, biasanya berkata bahwa mereka telah meneruskan hidup mereka.
Tetapi menurut Kementerian Kesehatan Samoa, itu berbeda dengan perkiraan mereka. Kementerian itu memperkirakan bahwa 14% orang tua ditemukan berisiko mengalami masalah kesehatan mental, seperti depresi, kecemasan, atau gangguan stres pasca-trauma (PTSD).
Satu-satunya psikiater di negara itu, Dr. George Leao-Tuitama, yang mengepalai divisi kesehatan mental kementerian kesehatan, mengatakan jumlah sebenarnya bisa mencapai 20%, dan keluarga-keluarga dapat beralih ke penyalahgunaan alkohol atau narkoba akibatnya. Beberapa orang melaporkan telah mengalami kesulitan ketika kembali bekerja.
Enam bulan setelah wabah campak berakhir di Samoa, ini adalah kisah dari orang tua-orang tua yang kehilangan anaknya setelah menerima dua imunisasi yang fatal, serta sejumlah keluarga-keluarga yang anaknya meninggal selama epidemi campak.
Sebagian besar keluarga kehilangan setidaknya satu anak akibat campak saat wabah itu mematikan dimulai.
Tuivale Luamanuvae Puelua dan Fa’aoso Tuivale
Fa’aoso Tuivale dan Tuivale Luamanuvae Puelua kehilangan tiga dari lima anak mereka; pertama putra mereka yang berumur tiga tahun, Itila, kemudian putri mereka yang berumur 13 bulan, Tamara, dan hanya seminggu kemudian oleh saudara kembarnya, Sale. Dua putra mereka yang ditinggalkan syok, lalu bimbang.
Nasib keluarga itu menjadi perhatian pemain rugby internasional Samoa, yang lalu menyumbangkan dana untuk membangun rumah baru bagi keluarga itu. Sumbangan lainnya yang mereka terima digunakan untuk membangun makam kayu dengan atap dan lantai beton.
Di sini mereka meletakan foto-foto dan bunga plastik, dan lampu untuk menghiasi pintu masuk mausoleumnya.
“Kita sangat mencintai mereka, kita tidak ingin mereka kena hujan atau matahari,” ungkap Fa’aoso. “Kita ingin melindungi mereka.”
Tilomai Alofipo dan Alga Toetu
Tilomai Alofipo, seorang ibu dari enam anak, kehilangan putri bungsunya, Hazel – dinamai karena warna matanya – akibat campak pada bulan November lalu, lima hari setelah ulang tahun pertamanya.
Tanpa televisi atau telepon, pengetahuan Tilomai tentang wabah sangat terbatas, katanya, dan ketika Hazel berbaring di bangsal isolasi di rumah sakit setempat, dia tidak menyadari betapa beratnya penyakit itu. “Saya pikir dokter-dokter akan bisa menyelamatkannya,” katanya.
Kepergian Hazel membawa dampak yang signifikan pada kesehatan mental Tilomai, ia mulai berpikir untuk bunuh diri. “Orang-orang bilang dia sekarang di surga, dan saya percaya itu, tapi kepergiannya masih terasa berat.”
Alga Toetu, 24 tahun, kehilangan putrinya yang baru berusia 13 bulan, Blessing – anak satu-satunya – akibat campak pada pukul 9 pagi, 1 Desember 2019. Ia sekarang mengenakan pin berwarna merah muda dengan foto Blessing saat perayaan ulang tahun pertamanya, dan Alga tidak pernah melepas pin itu.
Sama seperti di banyak keluarga di Samoa, suami Alga bekerja di Selandia Baru dan mengirimkan uang untuk Alga. Dia tinggal bersama ayahnya, Manuele, seorang mantan sopir bus, dan ibunya, Faiane.
Cintanya untuk Blessing terlihat jelas dari upayanya untuk mendekorasi tempat peristirahatan terakhirnya, meski dengan dana terbatas.
Oli Lefauaitu
Oli Lefauaitu, seorang satpam, tinggal bersama istrinya, Moana, dan sembilan anak mereka di luar Apia ketika anak bungsu, putri mereka yang baru berusia 14 bulan, Si’iae, mulai sakit.
Si’iae sakit berhari-hari, Lefauaitu lalu menyadari gejala yang ia alami itu merupakan gejala-gejala campak. Si’iae dirawat di rumah sakit tetapi meninggal seminggu kemudian. Oli menguburkannya di bawah pohon jambu biji di kebunnya.
Menatap kuburan Si’iae, ditutup dengan terpal biru tua untuk melindungi dari hujan musiman yang membanjiri plot kebun mereka, ia bercerita tentang bagaimana keluarganya harus menyesuaikan diri dengan kehidupan tanpa Si’iae. “Kadang-kadang kita tidak bisa melakukan apa pun selain mengenang Si’iae,” katanya.
“Kita memandang kuburannya, seolah-olah kita melihat Si’iae duduk di sana. Kita selalu merasakan kehadirannya. Terkadang anak-anak lain bertanya di mana Si’iae, atau kita menangkap mereka mencium fotonya. Kita tahu mereka merindukan Si’iae.”
Lanuola Mulipola
Peter von Heiderbrandt meninggal pada White Sunday, hari libur untuk nasional untuk merayakan anak-anak di Samoa, pada 13 Oktober, dalam usia 13 bulan. Tempat peristirahatan terakhirnya adalah sebuah pemakaman damai yang dikelilingi oleh pohon-pohon kelapa, menghadap ke Samudra Pasifik.
Ibunya, Lanuola Mulipola, seorang anggota polisi, berkata meski Peter bukan anak pertama yang terkena campak, dia yang pertama meninggal.
“Kepergiannya itu sangat memilukan,” katanya. “Natal tidak terasa seperti Natal tahun itu; kita pergi ke gereja dan pulang ke rumah. Kita tidak ingin merayakannya.”
Lanuola tidak bisa kembali bekerja sejak kematian putranya, ia menyibukkan dirinya dengan mengasuh ketiga anaknya yang lain. “Saya mencoba untuk kembali bekerja tetapi saya tidak bisa berkonsentrasi.”
Dia bertemu dengan seorang terapis, yang telah membantunya. “Saya menjelaskan apa yang saya alami. Saya ingin berbicara dengan mereka lagi. Saya punya nomor kontak mereka.”
Marieta dan Samuelu Tuisuesue
Anak perempuan Marieta dan Samuelu Tuisuesue yang berusia satu tahun, Lannacallysta, adalah bayi pertama dari dua bayi yang meninggal akibat menerima vaksin MMR yang salah dipersiapkan pada 2018. Lannacallysta adalah anak yang mereka nanti-nantikan – pasangan itu telah berusaha untuk hamil sejak mereka menikah tujuh tahun sebelumnya.
Akhirnya, karena khawatir itu tidak mungkin terjadi, mereka mengadopsi seorang putri dari saudara perempuan Marieta – beberapa minggu kemudian Marieta hamil dengan Lannacallysta.
Pada hari Lannacallysta dimakamkan di pekarangan rumah mereka, mereka mengadopsi lagi, kali ini bayi laki-laki berusia enam bulan dari saudara perempuan Marieta, Laauoleola junior, sekarang berusia dua tahun.
Nenek Lannacallysta, Tala Tualesi, berpendapat kematian Lannacallysta memulai serangkaian peristiwa fatal pada tahun berikutnya. ”Jika bayi mereka tidak meninggal dunia, semua anak-anak ini mungkin tidak akan meninggal.”
Fuatino Leuluai dan cucunya, Solovi
Fuatino memiliki kehidupan kelas-menengah di rumah fale, atau ‘open house’, Samoa tradisionalnya. Di dalam kediamannya ia memiliki microwave dan lemari es, dan rumah itu berdiri di sebidang lahan berukuran delapan hektar di mana mereka menanam nanas, ubi, limau gedang, dan mangga. Keluarga itu menjual kelapa, pisang, dan sukun untuk mendapatkan uang tambahan. Fuatino bangga akan putranya, Simiani, seorang polisi.
Tahun lalu, Simiani terkena campak dari seorang rekan kerjanya, dan tidak sengaja menularkannya kepada anak-anaknya: Solovi, 15, Kaio, 5, dan Adriana yang berumur 14 bulan.
Mereka semua dirawat di rumah sakit dan, meski anak laki-laki yang lebih tua bisa sembuh, Adriana meninggal setelah dua minggu, pada 21 November, meskipun telah menerima vaksinasi MMR pertamanya.
Fuatino menggambarkan kematian Adriana sebagai “tragedi paling besar yang menimpa keluarga ini.”
“Kita bertanya kepada dokter-dokter, apakah dia bisa diselamatkan, dan saat itu kita tahu dia tidak akan kembali.” (The Guardian)
Editor: Kristianto Galuwo