Empat mantan petugas penjara ungkap kekerasan terhadap tahanan di Fiji

Penjara Suva. - The Guardian/ Rick Rycroft/AP
Penjara Suva. – The Guardian/ Rick Rycroft/AP

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Sydney, Jubi – Empat mantan petugas penjara dari Fiji sedang mencari suaka di Australia dan mengklaim bahwa saudara ipar perdana menteri yang sekarang menjabat sebagai komisaris layanan pemasyarakatan, sering kali memerintahkan pemukulan dan penganiayaan tahanan, dan pada satu waktu, memerintahkan mereka untuk menyerang rekan staf mereka.

Read More

Laporan itu disampaikan kepada Guardian oleh empat petugas yang mengklaim Francis Kean, seorang tokoh yang berpengaruh di Fiji, melakukan intimidasi dan kekerasan pada napi dan petugas penjara.

Keempatnya menuduh Kean telah memerintahkan mereka untuk menyiksa tahanan dengan menempatkan mereka di sel isolasi tanpa tempat tidur dengan satu ember untuk toilet yang dikosongkan sekali sehari, dan menyemprot mereka dengan air sepanjang malam agar mereka tidak bisa tidur.

Dua petugas juga mengungkapkan bahwa Kean memerintahkan beberapa petugas untuk membuat mabuk rekan mereka dan memukulinya sebagai hukuman karena dianggap gagal melaksanakan tugasnya. Sebuah rekaman suara, yang diduga suara Kean memberikan perintah itu, telah didapatkan oleh the Guardian.

Keempat petugas itu meninggalkan Fiji dari 2017 sampai 2019, dan telah mengajukan permohonan pencarian suaka di Australia. Mereka adalah Rokodausiga Josua Talemaisolomoni (44) yang bekerja selama 21 tahun di penjara Suva, penjara terbesar di Fiji; Hendrik De Wachter (27); Robert Delana (43), yang memegang beberapa jabatan selama 10 tahun; dan Isikeli Ravula (31)yang bekerja untuk unit K-9.

Mereka juga mengklaim bahwa mereka sendiri menerima hukuman keras dari komisaris Kean.

Pada 2007, Kean mengaku bersalah atas gugatan pembunuhan setelah dia memukuli seorang pria dalam acara pernikahan keponakannya, putri dari Perdana Menteri FIji saat ini, Frank Bainimarama, yang juga adalah saudara ipar Kean. Pria itu meninggal karena pendarahan otak. Kean lalu divonis 18 bulan penjara, namun ia dibebaskan setelah beberapa bulan. Ia lalu diangkat sebagai komisaris pemasyarakatan pada tahun 2016.

Semua petugas menegaskan bahwa hukuman fisik adalah hal yang biasa di penjara, dan Kean sering mengisyaratkan penjaga penjara untuk memukuli tahanan.

“Dia tidak akan mengatakannya secara langsung,” kata De Wachter. “Dia akan berkata dalam bahasa Fiji: ‘cakava ga na ka e dodonu me caka’ (lakukan saja apa yang seharusnya dilakukan pada mereka). Dia lalu menggunakan ekspresi ini (gestur meninju pipinya).”

De Wachter berkata bahwa dia merasa ia ‘tidak memiliki pilihan lain’ selain mematuhi perintah Kean.

Delana menyatakan bahwa kekerasan telah menjadi bagian dari budaya penjara di Fiji sejak sebelum Kean menjadi komisioner, tetapi menuduh bahwa Kean berulang kali menginstruksikan petugas untuk memukuli tahanan tertentu.

Terlepas dari undang-undang media Fiji yang ketat, beberapa laporan terkait pemukulan dan kematian di penjara telah bermunculan sejak Kean menjabat sebagai komisaris.

Kate Schuetze, peneliti Amnesty International di Pasifik membenarkan bahwa meski kadang-kadang petugas penjara ditahan karena melakukan kekerasan, “kasus-kasus itu adalah pengecualian.”

Kean pernah berkomentar mendukung hukuman fisik – meskipun dia kemudian menarik komentarnya setelah diprotes – dan Schuetze mengatakan komentar ini dan riwayat kriminalnya mengkhawatirkan Amnesty.

“Ketika ada struktur budaya seperti itu yang menyanjung-nyanjungkan orang-orang yang melakukan tindakan kekerasan, itu menjadi norma dan diterima, untuk sesekali memukuli orang lain karena orang-orang tahu bahwa mereka bisa lolos begitu saja.”

The Guardian telah berupaya untuk menghubungi Francis Kean dan Fiji Correction Service untuk memberikan komentar, tetapi belum ada tanggapan hingga artikel ini diterbitkan. (The Guardian)

 

Editor: Kristianto Galuwo

Related posts

Leave a Reply