Ekologi dan dunia yang berubah (2)

Papua No. 1 News Portal | Jubi ,

Oleh: I Ngurah Suryawan

Pada bagian pertama esai ini saya menggambarkan bagaimana sakralitas terhadap alam menjadi pengetahuan untuk menjaga keseimbangan relasi manusia dengan lingkungannya. Ruang-ruang hidup masyarakat lokal Papua terpelihara dengan konstruksi pengetahuan ini. Namun, perubahan sosial budaya yang dibawa oleh pembangunan dan modernitas mengakibatkan sakralitas tersebut luntur bahkan hilang. Salah satu yang kasat mata mulai berubah nilai dan orientasinya itu adalah tanah.

Masyarakat lokal di Kabupaten Merauke tidak terkecuali mengalami perubahan nilai dan orientasi mereka terhadap tanah. Selain orang Marori dan Kanum, justru orang Marind-lah yang memiliki jumlah dominan. Orang Marind juga menghadapi situasi yang terdesak kerena pengaruh dari kuasa kapitalisasi yang dibawa oleh mega proyek MIFEE dengan mimpi menjadikan Merauku sebagai lumbung beras di Tanah Papua. Di sisi lain, perampasan tanah demi mega proyek tersebut tak terhindarkan. Tanah lagi-lagi menjadi sumber kontestasi yang menandai transformasi dan modernitas yang menerjang Papua tanpa henti.

Muntaza (2013: 181) dalam studinya tentang orang Marind di tengah kepungan proyek MIFEE mengungkapkan, kontradiksi menjadi keseharian masyarakat di kampung-kampung yang dihadapkan akan pilihan untuk mempertahankan atau menjual tanahnya. Ia menekankan pentingnya memperhatikan sakralitas terhadap tanah sebagai rumah bagi kehidupan manusia selamanya. 

Tanah acap kali dipahami sebagai bagian dari bisnis (modal), atau di seberang jalan berbeda dilihat sebagai alas dari relasi social, yang tanah merefleksikan siatuasi ekonomi, social an politik masyarakat. Kedua titik pandang atas tanah tersebut mengabaikan aspek atau nuansa kebatinan suatu masyarakat atas tanah. Perspektif sakralitas tanah kerap kali diabaikan oleh banyak mata. Muatan sakralitas tanah umumnya dipandang sinis dan dilabeli sebagai pengetahuan mistis.

Muntaza (2013: 181) mengungkapkan bahwa pengetahuan akan sakralitas tanah dicap dalam bahasa Malind disebut sebagai shigo-shigo, yang diterjemahkan sebagai mitos oleh pemangku kekuasaan. Dalam bahasa ilmu pengetahuan, hal ini dikategorikan sebagai okult (occult).

Mengacu kepada genealogi bahasa, kata okult berasal dari Bahasa Latin yang artinya pengetahuan yang tersembunyi, yang tidak bisa diukur dengan metodologi pengetahuan positivistik. Baik pengkategorian pengetahuan tersebut ke kotak okult maupun dinyatakan sebagai shigo-shigo, praktik masing-masing merefleksikan bagaimana sebuah kata/kategori berinteraksi dengan kekuasaan bekerja untuk membungkam, meniadakan dan meluluhlantakkan pengetahuan tersebut, termasuk sakralitas atas tanah di dalamnya.

Oleh sebab itulah menjadi sangat penting untuk menggali secara terus-menerus pengetahuan yang tersembunyi di tengah masyarakat tersebut. Pengetahuan lokal tersebut adalah penanda yang sangat penting dalam totalitas kebudayaan relasi manusia dengan lingkungannya. Namun, menengok kembali ke okult, seperti yang diungkapkan oleh Muntaza (2013: 182) bukanlah sebuah romantisme, melainkan sebagai titik tolak perubahan Tuhan ke uang menjadi kenyataan yang tak terbantahkan.

Ia mengungkapkan: 

Menghidupkan pengetahuan okult tersebut juga harus dilekatkan sebagai upaya untuk memahami alam pikir dan alam hidup masyarakat yang bergerak di dalam dimensi waktu dan ruang yang bukan statis, melainkan dinamik. Upaya memahami alam pikir dan alam hidup tidak ditaruh dalam semangat romantisme, atau menghidupkan apa yang telah pudar. Namun lebih diletakkan dalam upaya memahami perubahannya dari masa ke masa. Dengan memahami alam pikiran masyarakat tersebut akan membantu menjelaskan bagaimana posisi masyarakat di dalam jejaring kekuasaan dengan hadirnya korporasi di dalam kehidupan mereka.

Situasi kontemporer di Merauke, saat kapitalisasi masuk hingga ke kampung-kampung, membuat masyarakat lokal mau tidak mau harus menanggapi perubahan tersebut. Suka atau tidak, perubahan telah berdiri di depan mata mereka. Oleh sebab itulah tuntutan untuk terbuka dan berubah adalah sebuah keniscayaan. Menutup diri berarti terlibas dalam perubahan tersebut. Kondisi yang ragu-ragu menyebabkan mereka kehilangan daya untuk menanggapi perubahan.

Situasi di Merauke malah sangat menyedihkan. Muntaza (2013: 204-205) kembali menggambarkan bahwa masuknya uang dalam jumlah besar, tidak hanya di level kampung, tetapi juga hingga ke level keluarga dan individu, berkontribusi dalam mengerakkan orang Merauke untuk melepaskan tanahnya, yang artinya mengubah sakralitas alam hanya sekadar aset untuk memperoleh uang.

Perlahan-lahan relasi sosial secara signifikan menjadi relasi yang ditengarai dengan uang, serta mendorong semakin tingginya pola konsumsi dengan menggunakan uang. Hal ini diperparah pada tubuh perempuan. Pemuda yang bekerja dan memperoleh gaji mampu membeli alkohol dan membayar jasa Pekerja Seks Komersil (PSK). Ini membuka jalan penyebaran HIV di kampung-kampung. Selain kasus HIV-AIDS, anak perempuan usia sekolah menjadi sasaran kebutuhan seksual dari pemuda-pemuda kampung yang bekerja di perusahaan. (*)

Antropolog dan dosen di Universitas Papua (UNIPA) Manokwari, Papua Barat

Related posts

Leave a Reply