Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jakarta, Jubi – Eko Rusdianto, seorang jurnalis dari Maros, Pulau Sulawesi meraih Penghargaan Oktovianus Pogau dari Yayasan Pantau untuk keberaniannya dalam jurnalisme.
Rusdianto sering meliput diskriminasi dan pelanggaran hak perempuan dan minoritas seksual, hak masyarakat adat dan petani maupun kerusakan lingkungan hidup.
“Keputusan Eko Rusdianto buat menggali sebuah kasus, dan belajar soal liputan trauma, lantas mendapat kepercayaan dari ibu para korban buat menulis kekerasan seksual, serta bikin laporan yang kritis, membuat para juri sepakat bahwa ia sebuah keberanian dalam jurnalisme,” kata Coen Husain Pontoh dari Penghargaan Oktovianus Pogau, melalui siaran pers kepada Jubi, Senin, 31 Januari 2022.
Pada 6 Oktober 2021, laporan Rusdianto soal dugaan pemerkosaan tiga anak yang dilakukan ayahnya, seorang birokrat di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, terbit di laman daring Project Multatuli.
Liputannya berjudul “Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor Polisi, Polisi Menghentikan Penyelidikan.” Liputan tersebut menggemparkan dunia maya. Memicu tanda pagar #PercumaLaporPolisi viral di Indonesia. Website projectmultatuli.org mendapat serangan DDOS (Distributed Denial of Service) sehingga down, dan dicap berita bohong oleh Polres Luwu Timur. Puluhan media lain lantas menerbitkan laporan tersebut di website masing-masing.
Awalnya, Eko Rusdianto ingin menuliskan kisah “Ibu Lydia” namun merasa belum memiliki pengetahuan dan keterampilan soal liputan trauma, terutama terhadap korban kekerasan seksual. “Ibu Lydia” melaporkan mantan suaminya kepada polisi dengan tuduhan kekerasan seksual terhadap ketiga anak perempuan mereka.
Baca juga:
- Wartawan Amerika raih penghargaan Oktovianus Pogau 2021
- Oktovianus Pogau, Wartawan Muda Yang Kritis dan Tajam
Pada 2019, kasus ini dihentikan di Luwu Timur. Rusdianto mulai membaca berkasnya bersama kenalannya di Lembaga Bantuan Hukum Makassar. Dia juga bikin liputan soal seorang transgender perempuan, Pada 2020, Rusdianto belajar pada beberapa aktivis hak perempuan serta membaca soal liputan trauma. Dia mulai sering menulis soal diskriminasi dan kekerasan terhadap individu transpuan di Sulawesi termasuk Ho Chiang Seng (biasa dipanggil Hae), yang sudah 36 tahun meninggalkan Makassar, mengembara di Pulau Jawa.
Pada 2021, Project Multatuli menghubungi Rusdianto agar menulis kasus-kasus hukum yang mandek. Rusdianto mengusulkan tentang kasus kekerasan seksual di Luwu Timur. Dia ingin menyambung suara “Ibu Lydia” yang dicap mengalami gangguan jiwa di Luwu Timur gegara memperkarakan mantan suaminya.
“Keputusan membongkar kasus yang sudah ditutup polisi adalah sebuah keberanian. Ini sesuatu yang lazim dilakukan wartawan dalam masyarakat yang dukung demokrasi,” kata Pontoh. “Project Multatuli membuat kebijakan yang baik dengan menyediakan dana buat membongkar kasus-kasus dingin.”
Eko Rusdianto kelahiran September 1984, di kampung Kombong, Kecamatan Suli, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Dia kuliah jurnalistik di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Fajar.
Cinta pertamanya dalam dunia keilmuan, sebenarnya adalah Arkeologi. Rusdianto beberapa kali menulis soal gua prasejarah atau bahasa yang terancam punah. Eko Rusdianto belajar jurnalisme dan penulisan di Yayasan Pantau di Jakarta pada 2008 serta pernah mendapatkan beberapa penugasan jurnalistik.
Rusdianto mengirim naskah ke berbagai penerbitan Jakarta, termasuk Mongabay, Vice, Historia maupun New Naratif (Singapura), Al Jazeera (Qatar), dan South China Morning Post (Hong Kong). Tahun lalu, Rusdianto juga menulis kesulitan bekerja sebagai wartawan lepas buat Remotivi. Judulnya, “Koresponden dan Penulis Lepas, Sama-sama Cekaknya.”
Di Mongabay, Rusdianto banyak meliputan soal perampasan tanah serta perusakan lingkungan hidup, termasuk penggusuran tanah warga Seko, Luwu Utara, Sulawesi Selatan, buat pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air di Sae. Tempatnya terpencil dan tak bisa dilalui mobil. Seko, terletak sekitar 120 kilometer dari Sabbang, Luwu Utara, atau 600 kilometer dari Makassar. Rusdianto naik ojek sepeda motor, dua sampai tiga hari. Makan ongkos sekitar Rp 1 juta.
Dia juga menerbitkan antologi, termasuk “Titik Krisis di Sulawesi; Narasi Jurnalistik Atas Kehancuran Ruang dan Sumber Daya Alam (2020), Tragedi Di Halaman Belakang: Kisah Orang-orang Biasa dalam Sejarah Kekerasan Sulawesi (2020) serta Meneropong Manusia Sulawesi (2022).
Dalam pemeriksaan tahun 2018 terhadap kasus di Luwu Timur, Indonesian Judicial Research Society menyimpulkan berbagai prosedur yang cacat dari Dinas Sosial maupun Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak di Luwu Timur dalam menerima keluhan Ibu Lydia. Mereka mengusulkan kedua kantor pemerintah tersebut, maupun kepolisian, membuka kembali kasus dengan prosedur pendampingan baru terhadap korban kekerasan seksual.
“Kami hormat pada pergulatan serta kesulitan wartawan lepas macam Rusdianto dalam melawan kebekuan birokrasi kepolisian. Liputannya seyogyanya dipakai sebagai masukan buat memperbaiki kinerja Polres Luwu Timur, maupun kepolisian secara nasional, dalam mengungkap kekerasan seksual,” Pontoh.
Tentang Penghargaan Pogau
Nama Oktovianus Pogau, diambil dari seorang jurnalis muda Papua, kelahiran Sugapa pada 1992. Pogau meninggal usia 23 tahun pada 31 Januari 2016 di Jayapura, sesudah pulang dari perjalanan di Amerika Serikat sebulan sebelumnya. Tubercolosis dalam tubuhnya kambuh karena perjalanan di musim dingin.
Pada Oktober 2011, Pogau pernah melaporkan kekerasan terhadap ratusan orang ketika berlangsung Kongres Papua III di Jayapura. Tiga orang meninggal dan lima dipenjara dengan vonis makar. Pogau juga sering menulis pembatasan jurnalis internasional meliput di Papua Barat sejak 1965. Dia juga memprotes pembatasan pada jurnalis etnik Papua maupun digunakannya pekerjaan jurnalis untuk buat kegiatan mata-mata.
Penghargaan ini diberikan buat mengenang keberanian Pogau. Penghargaan pertama diberikan sejak 2017. Febriana Firdaus menjadi penerima pertama. Ia rutin diberikan setiap tahun: Citra Dyah Prastuti dari KBR Jakarta (2018); Citra Maudy dan Thovan Sugandi dari Balairung Press, Yogyakarta (2019), Yael Sinaga dan Widiya Hastuti dari Medan (2020); serta Phil Jacobson dari Mongabay, Chicago (2021).
Juri dari penghargaan ini terdiri dari lima orang: Alexander Mering (Gerakan Jurnalisme Kampung di Kalimantan Barat, Pontianak), Coen Husain Pontoh (Indo Progress, New York), Made Ali (Jikalahari, Pekanbaru), Yuliana Lantipo (Jubi, Jayapura) dan Andreas Harsono (Human Rights Watch, Jakarta). (*)
Editor: Syam Terrajana