Jubi | Portal Berita Tanah Papua No. 1,
Den Haag, Jubi – Kendati kalah di persidangan Mahkamah Internasional (ICJ), dukungan bagi Kepulauan Mar shall terus berdatangan dari berbagai kelompok untuk menuntut pertanggungjawaban negara-negara pemilik senjata nuklir terhadap korban. Gugatan yang dilayangkan Kepulauan Mashall kepada negara-negara besar melalui ICJ itu ternyata menginspirasi banyak kelompok untuk terus memperjuangkan pelucutan senjata nuklir.
Rick Wayman dari Yayasan Perdamaian Tanpa Nuklir mengatakan bahwa lebih dari 100 organisasi masyarakat sipil menandatangani petisi dukungan terhadap Kepulauan Marshall. “Kepulauan Marshall telah menginspirasi korban dan negara-negara antinuklir lainnya untuk maju dan memperjuangkan keadilan,” ujar Rick.
Gerakan yang akan ditempuh oleh kelompok-kelompok tersebut barangkali akan berbeda. Namun, semuanya memiliki suara yang sama dan berani maju. “Kita tidak bisa menunggu negara-negara pemilik senjata nuklir itu untuk melucuti senjatanya sendiri,” ujarnya.
Pekan lalu, ICJ tidak mengabulkan gugatan Kepulauan Marshall terhadap Inggris, Pakistan dan India selaku negara pemilik senjata nuklir dengan alasan ICJ tidak memiliki yurisdiksi mengadili hal tersebut.
Selain terhadap ketiga negara tersebut, Kepulauan Marshall juga getol menggugat negara-negara pemilik senjata nuklir lainnya sejak 2014. Keenam negara lainnya, yaitu Rusia, Amerika Serikat, Prancis, Republik Rakyat Tiongkok, Israel, dan Korea Utara. Kesembilan negara tersebut telah melanggar Traktat Non-Proliferasi tahun 1968 yang menyepakati penghentian pengayaan uranium dan pelucutan senjatanya.
Kepulauan Marshall telah dirugikan akibat uji coba senjata nuklir milik negara-negara tersebut, khususnya AS yang telah melakukan 67 kali uji coba senjata nuklir selama kurun waktu 1946 hingga 1958.
Dari kesembilan negara itu, hanya Inggris, India dan Pakistan yang sempat hadir di ICJ untuk memenuhi panggilan ICJ. Enam negara lainnya tidak sama sekali datang.
Rick Wayman yang juga telah membantu Kepulauan Marshall selama proses persidangan, mengatakan bahwa proses persidangan berlangsung baik karena setengah jumlah anggota majelis hakim memiliki pendapat berbeda (dissenting opinions) yang berpihak pada penggugat.
Bahkan, dalam kasus melawan Inggris, majelis hakim terbagi dua hingga terpaksa ditempuh mekanisme voting. (*)