Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh Robert Huish & Sharon McLennan
Kiribati. Kalian mungkin tidak tahu di mana Kiribati terletak. Pengucapan namanya pun sangat rumit (Ker-a-bas).
Ini adalah republik kecil dengan populasi 114.000 orang yang bertebaran di antara 32 atol di tengah Samudra Pasifik, di dekat garis waktu internasional atau garis bujur 0 derajat dan tepat di garis ekuator.
Pohon-pohon kelapa berbaris di tepi pantai berpasir putih. Air berwarna warna biru kehijauan menghempas pasir. Tapi apakah tepat ini adalah pulau oasis yang ideal? Jawabannya adalah tidak semua.
Pertempuran Tarawa, perang mengerikan saat Perang Dunia Kedua, terjadi di Kiribati. Dan sekarang ini, perang melawan perubahan iklim menyerang pantainya, di tengah krisis tuberkulosis, kusta dan masalah kesehatan lainnya.
Sebagian besar kawasan negara Kiribati hanya memiliki ketinggian sekitar dua meter di atas permukaan laut. Panel Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memperkirakan bahwa permukaan air laut akan naik, setidaknya dua meter, sebelum tahun 2100. Proyeksi ini berarti Kiribati hanya punya waktu kurang dari 80 tahun.
Anote Tong, mantan presiden Kiribati, mengatakan bahwa untuk Kiribati “semuanya sudah terlambat”, dan bahwa komunitas internasional harus mempertimbangkan bagaimana orang-orang dapat bermigrasi dengan terhormat.
Sebagai tanggapannya, Australia dan Selandia Baru menawarkan solusi-solusi sementara, sedangkan Fiji menjual tanah seluas 5.500 are ke Kiribati dengan harga $ 8,77 juta. Jika semua I-Kiribati, sebutan untuk orang-orang dari negara itu, mendiami lahan ini, kepadatan populasinya akan menjadi sekitar 5.300 orang per kilometer persegi. Tingkat kerapatan ini melanggar standar minimum UNHCR mengenai luas kamp-kamp pengungsi.
Tetapi, ketika negara-negara lain berupaya untuk membantu I-Kiribati melarikan diri, Kuba justru mendorong mereka untuk tetap tinggal. Havana sedang mendidik dokter-dokter orang I-Kiribati secara cuma-cuma, dengan syarat mereka harus kembali bekerja di negara asal mereka. Mengapa Kuba melakukan hal ini?
Pertama-tama, mari kita lihat apa yang dilakukan oleh Selandia Baru dan Australia bagi Kiribati dan negara-negara Kepulauan Pasifik lainnya.
Mendorong migrasi ke luar negeri
Jacinda Ardern, Perdana Menteri Selandia Baru, pernah mengusulkan suatu program visa yang baru, visa pengungsi perubahan iklim, untuk negara-negara Kepulauan Pasifik, termasuk Kiribati. Namun pemerintah Selandia Baru lalu membatalkan rencana itu Agustus 2018, saat menanggapi keprihatinan para pemimpin Pasifik tentang penentuan sendiri rakyatnya. Menteri Keimigrasian Selandia Baru, Iain Lees-Galloway, menerangkan:
“Orang-orang Pasifik telah menyatakan keinginan mereka untuk terus hidup di negara mereka sendiri, dan pekerjaan yang dilakukan pada saat ini terutama dipusatkan pada mitigasi dampak perubahan iklim.”
Seperti apa bentuk upaya-upaya ini?
‘Kerja sama bidang pembangunan‘ Selandia Baru dengan Kiribati termasuk: membangun fasilitas-fasilitas rumah sakit, memperbanyak opsi keluarga berencana, memperkuat sektor perikanan, meningkatkan kualifikasi tenaga dokter, and memfasilitasi skema mobilitas tenaga kerja untuk membantu I-Kiribati mencari pekerjaan di luar negeri.
Sementara itu, inisiatif bantuan pembangunan Australia bagi Kiribati termasuk memindahkan pekerja berketerampilan rendah atau semi terampil ke Australia dengan visa kerja sementara, untuk membantu memenuhi kurangnya tenaga kerja musiman di negara itu.
Jika orang-orang Pasifik ingin tetap tinggal di pulau-pulau mereka, mengapa program-program bantuan Australia dan Selandia Baru memiliki agenda yang tidak terlalu tersembunyi, untuk memindahkan orang-orang itu dari atol mereka?
Tentu saja ini jauh lebih baik daripada yang dilakukan USAID milik Washington, dan Global Affairs Canada dari Ottawa – badan bantuan asing dua negara dengan jejak karbon melambung itu – untuk Kiribati. Kedua negara tersebut tidak menawarkan bantuan apa pun untuk Kiribati.
Kuba mendidik dan melatih tenaga dokter I-Kiribati
Masuklah Kuba. Negara ini menawarkan hampir 40 beasiswa pendidikan medis cuma-cuma kepada Kiribati, yang akan meningkatkan jumlah tenaga dokter di negara itu dengan signifikan, dan semuanya dengan persyaratan bahwa mereka harus tetap tinggal di atol-atol.
Di luar bencana perubahan iklim, Kiribati juga menghadapi bencana kesehatan yang semakin parah. Hampir 700 kasus TB aktif dilaporkan pada 2018, bersama dengan 155 kasus kusta yang baru. Meski kedua penyakit ini dapat dirawat di rumah sakit di Tarawa, hanya sedikit ruang yang ada untuk upaya pencegahan penyakit-penyakit ini agar tidak terjadi kembali.
Selain itu, ada juga krisis demam berdarah. Hampir satu dari dua anak mengalami pengerdilan, dan satu dari empat orang dewasa menderita diabetes tipe 2. Keduanya adalah akibat dari isu malnutrisi. Terbatasnya sistem sanitasi juga berarti laguna-laguna di negara itu beracun, sekarang air hujan adalah satu-satunya sumber air minum.
Dengan hanya 59 dokter yang bekerja di Kiribati, masih banyak lagi yang diperlukan. Fasilitas perawatan TBC dan kusta di Kiribati sudah memenuhi keperluan dasar, tetapi hampir tidak ada kemungkinan bagi dokter untuk secara aktif bekerja dalam upaya pencegahan penyakit ini.
Pendidikan medis di Kuba terkenal di seluruh dunia karena memiliki rutin terbina dalam hal peningkatan kesehatan dari tingkat masyarakat.
Bertujuan untuk menyelesaikan masalah kesehatan di Kiribati
Mari kita bandingkan rencana Kuba – untuk meningkatkan sistem kesehatan dari dalam Kiribati sendiri – dengan izin kerja sementara dan permukiman kembali pengungsi di sepetak tanah yang terlalu padat.
Kuba memiliki pernyataan yang berani, menawarkan suatu program yang mendorong tenaga profesional dan terampil, untuk tetap tinggal di negara mereka di hadapan ancaman badai. Namun rencana Kuba itu memungkinkan ‘keinginan mereka untuk terus hidup di negara mereka sendiri,’ seperti yang diterangkan oleh Lees-Galloway.
Rencana ini juga sejalan dengan klaim Tong bahwa, pada saat Kiribati menghilang, “tidak ada yang akan kebal dari konsekuensi bencana alam akibat perubahan iklim.”
Bencana-bencana alam ekstrem akan mengubah keberadaan manusia. Dan ketika hal itu terjadi, pertanyaannya yang sama masih akan ada: Bagaimana kita akan saling menjaga dan merawat sesama?
Apakah negara-negara donor masih akan terlibat dalam kerja sama pembangunan yang mengembangkan kesehatan dan mata pencaharian bagi bangsa itu ke depannya? Atau apakah mereka akan tetap konsisten dengan memberikan beberapa visa kerja sementara untuk pekerja berketerampilan rendah? Selandia Baru telah menawarkan pelatihan dan dukungan tambahan kepada lulusan I-Kiribiati dari Kuba yang bekerja di Pasifik. Dukungan seperti ini sangat mendorong.
Tetapi Kuba, khususnya, menawarkan alternatif yang menarik tentang bagaimana kita dapat saling menjaga dan merawat selama krisis akibat perubahan iklim, terlepas dari di mana lokasi kita di planet ini. (The Conversation)
Robert Huish bekerja untuk fakultas International Development Studies di Dalhousie University, sementara Sharon McLennan adalah dosen bidang pembangunan internasional dari Massey University.
Editor: Kristianto Galuwo