Portal Berita Tanah Papua No. 1 | Jubi ,
Jayapura, Jubi – Siang itu, 8 Desember 2014, di Lapangan Karel Gobay Enarotali, Paniai, Papua, dihantam besingan peluru. Alpius Youw (17), Yulian Yeimo (17), Simon Degey (18), dan Alpius Gobay (17) tewas ditempat. Isak tangis membahana di langit Paniai.
Hingga genap dua tahun pada 2016, belum ada satu orang pun yang ditangkap untuk mempertanggung jawabkan tindakannya merenggut nyawa keempat pelajar tersebut yang kemudian dikenal sebagai korban kasus Paniai Berdarah.
Mengenang dua tahun kasus Paniai Berdarah itu, pada Jumat (8/12/2016) di halaman Museum Universitas Cenderawasih, belasan perempuan muda Papua ambil bagian dalam diskusi terbuka tentang pelanggaran hak asasi manusia dan drama yang mempertontonkan kekerasan, pembunuhan serta pengabaian negara terhadap orang asli Papua.
Dalam diskusi, rasa tidak percaya kepada pemerintah untuk menyelesaikan kasus Paniai Berdarah dan kasus pelanggaran HAM lainnya sering dilontarkan. Diantaranya tiga perempuan muda Papua saat ditemui Jubi, disela-sela kegiatan.
"Tidak ada harapan lagi (pada) pemerintah Indonesia akan menyelesaikan kasus Paniai Berdarah karena kasus pelanggaran HAM lainnya yang terjadi di Papua belum juga terselesaikan sampai hari ini," kata Tinike Rumkabu, Koordinator Bersatu untuk Kebenaran (BUK) wilayah Supiori-Biak.
"Misalnya kasus pelanggaran HAM di Biak, kasus Wasior dan Wamena berdarah. Sampai sekarang tidak selesai, rasanya kami tidak punya harapan lagi kepada pemerintah," tambah Tinike.
Pada kasus Biak berdarah, Tinike menceritakan banyak perempuan yang diperkosa dan dibunuh. Namun, tidak ada satu orang pun pelaku yang diadili.
Hal senada disampaikan Osina Lungga, Dessy Sroyer dan Andriana Hilapok. Mereka memandang pemerintah tidak serius menunjukkan keberpihakan negara untuk melindungi warganya dari bentuk-bentuk pelanggaran HAM bahkan yang harus berakhir diliang kubur akibat timah panas.
"Kita ketahui bahwasannya kasus pelanggaran HAM di Papua tidak akan diselesaikan di negara Indonesia, apalagi kasus Paniai berdarah," kata Osina Lungge.
"Saya tidak yakin akan diselesaikan dalam waktu cepat," ucap Dessy Sroyer, anggota BUK wilayah Biak-Supiori.
Bagi Dessy dan Osina, yang menyatakan kecewa atas kinerja pemerintah yang dinilai "jalan di tempat" tanpa kemajuan dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua, "hanya satu yaitu penentuan nasib sendiri untuk Papua Barat."
Perempuan Papua lainnya, Andriana Hilapok, yang bekerja pada sebuah LSM HAM, mengatakan, "kalau mau selesaikan persoalan Paniai… jangan buat tim banyak-banyak, cukup dengan tim yang ada. Jangan jadikan kasus ini sebagai proyek," katanya.
Kegiatan yang bertujuan mengenang berbagai kasus pelanggaran HAM di Papua yang dilaksanakan pada Kamis siang itu dihadiri puluhan pemuda dan pemudi yang peduli Papua dan beberapa organisasi HAM, politik, dan kemahasiswaan serta wartawan. Diantaranya SKP HAM Fransiskan, ALDP, Gempar Papua, KNPB, AMP, Somapa, BEM USTJ, PMKRI, Garda Papua, dan BUK Wilayah Biak Supiori.
Kendati rasa percaya kepada pemerintah dibawah pimpinan Presiden Joko Widodo seakan habis, setitik harapan pun tersirat. "Semoga tahun 2017 tidak ada lagi acara-acara untuk kasus Paniai Berdarah yang belum selesai." (*)