Manokwari, Jubi/Antara – Universitas Negeri Papua Manokwari, Provinsi Papua Barat, meneliti bahasa dan budaya masyarakat lokal Papua karena saat ini ada dua bahasa lokal di daerah tersebut yang punah.
Dekan Fakultas Sastra Universitas Negeri Papua (UNIPA) Manokwari, Andreas Deda, di Manokwari, Minggu (27/9/2015), mengatakan dua bahasa yang punah adalah bahasa Suku Tandia dan Dusner di Kabupaten Teluk Wondama.
Saat ini, ada satu bahasa di Kabupaten Teluk Bintuni yang juga nyaris punah, yakni bahasa Suku Sebiar.
Penelitian dilakukan agar bahasa lokal masyarakat Papua tetap terjaga dan digunakan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
“Jurusan Sastra Inggris, saat studi akhir, mahasiswa kami wajibkan melakukan penelitian dan membuat karya ilmiah yang mengangkat bahasa lokal dengan menggunakan bahasa Inggris,” katanya.
Menurut Andreas Deda, bahasa lokal Papua akan terus menarik untuk diteliti dan dikembangkan, karena sebagian besar bahasa daerah di Indonesia, ada di Papua.
“Dari 700 bahasa di Indonesia, 300 lebih ada di Papua,” katanya.
Andreas menjelaskan setiap sub suku, bahkan marga, masing-masing memiliki bahasa berbeda. Bahasa terikat dengan karakteristik masyarakatnya.
Dari penelitian yang dilakukan selama ini, banyak seni masyarakat Papua dicurahkan ke dalam bahasa sukunya melalui lantunan lagu yang biasa digunakan dalam ritual adat.
Orang Papua tersebar di pesisir pantai hingga di puncak gunung. Kondisi lingkungan yang berbeda, dibarengi bahasa yang berbeda pula. Hal itu pun berpengaruh pada karakter dan cara berpikir mereka.
“Tidak heran, jika masalah di Papua selama ini cukup kompleks dan sulit diselesaikan,” katanya.
Dia menilai, 50 persen kebhinekaan Indonesia terdapat di Tanah Papua. Hal ini merupakan khasanah kekayaan bangsa yang harus dijaga dengan upaya serius.
Ia memandang, saat ini kesiapan sumber daya manusia dalam mempertahankan bahasa Papua hampir tidak ada. Kondisi ini akan berdampak buruk terhadap keberadaan bahasa daerah itu.
Saat ini sudah muncul fenomena di masyarakat Papua, ketika modernisasi hadir, identitas masyarakat tidak perlu dipertahankan, termasuk bahasa. (*)