Papua No. 1 News Portal | Jubi
Pejabat dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Merauke diminta melakukan investigasi ke lapangan sekaligus mendata guru dan fasilitas sekolah.
Persoalan pendidikan di Kabupaten Merauke mendapat perhatian serius dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Merauke.
Guna menindaklanjuti berbagai keluhan masyarakat tentang proses belajar-mengajar yang tak berjalan maksimal di kampung-kampung di daerah pedalaman DPRD Merauke menggelar pertemuan dengan mengundang sejumlah pihak terkait.
Di antaranya pejabat Pemkab Merauke seperti Asisten II Sekda Merauke, Jakobus Duwiri, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Tiasony Betaubun, dan dari inspektorat. Selain itu juga organisai Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), puluhan guru, dan unsure lainnya.
Pertemuan yang berlangsung selama beberapa jam itu dipimpin Ketua DPRD Merauke, Benjamin Latumahina, didampingi dua wakil ketua, yakni H. Marotus Solikah dan Dominikus Ulukyanan, serta anggota dewan lain.
Ketua DPRD Merauke, Benjamin Latumahina, mengatakan berbicara tentang pendidikan terutama di daerah pedalaman di jenjang Sekolah Dasar (SD) sepertinya mati suri. Sebab, katanya, guru tak berada di tempat tugas sehingga proses belajar-mengajar juga tidak berjalan dengan baik.
“Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Merauke, Tiasony Betaubun, harus menginventarisir berbagai persoalan dalam dunia pendidikan, jika itu dilakukan, secara perlahan akan mengalami perubahan,” ujarnya.
Selain itu, tambahnya, pejabat dari Dinas Pendidikan juga melakukan investigasi dengan turun ke lapangan, sekaligus melakukan pendataan terhadap para guru dan fasilitas pendukung, mulai dari bangunan sekolah hingga perlengkapan sekolah seperti meja dan kursi.
Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) tingkat SMA Kabupaten Merauke, Antonius Ohoitimur, mengatakan terdapat tiga tahapan dalam evaluasi sebelum seorang siswa dinyatakan lulus, yakni mengikuti ujian sekolah, ujian praktek, serta Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) serta Ujian Nasional Berbasis Kertas dan Pensil (UNKP) bagi sekolah yang belum memiliki sarana pendukung.
Dari evaluasi, katanya, hanya UNBK yang dibiayai dari dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Sedangkan ujian sekolah dan praktik tidak dibiayai provinsi.
“Kami berharap peran dari Pemerintah Kabupaten Merauke untuk bisa membantu dengan kesulitan yang tengah dihadapi sekolah, apalagi sampai sekarang dana BOS juga tak kunjung dikirim,” katanya.
Kemudian, lanjutnya, mekanisme penyaluran dana BOS sudah berbeda dari tahun-tahun sebelumnya yang biasa melalui provinsi sekarang langsung ke rekening sekolah. Sekarang dari pusat langsung ditransfer ke rekening sekolah masing-masing sejak 2020.
“Sampai sekarang belum ada penyaluran dana BOS sehingga dalam pelaksanaan ujian kami harus mencari jalan terlebih dahulu agar ujian praktik maupun ujian sekolah dapat dilangsungkan,” katanya.
Dia mengakui tanggung jawab pembiayaan untuk SMA sudah sepenuhnya di tingkat Provinsi Papua, namun perlu ada kebijakan Pemkab Merauke guna mendukung terselenggaranya ujian karena yang dididik adalah anak-anak Merauke.
Ketua MKKS tingkat SMP Gugus Kota, Paschalis Tethool, meminta khusus berkaitan dengan biaya untuk ujian sekolah dan praktik agar penyalurannya dapat dipercepat.
Selain itu, lanjut dia, juga dana BOS, sehingga para kepala sekolah, katanya, ‘tidak dilatih’ menjadi tukang pinjam uang.
“Mungkin perlu komunikasi intens dibangun agar dapat menyelesaikan berbagai problem yang ada,” katanya.
Ia melanjutkan, khusus SMP dalam gugus kota yang berjumlah 20 tinggal menunggu proses penyaluran. Jika ada sekolah yang melakukan penundaan ujian sekolah agar dapat disampaikan dengan cepat.
Paschal yang juga Kepala SMPN Buti mengusulkan kepada Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Merauke Tiasony Betaubun agar segera membentuk Tim Penjamin Mutu Pendidikan Daerah (TPMD).
Baginya, TPMD sangat penting karena menjadi nyawa untuk membantu sinergitas.
“Dengan demikian berbagai pembahasan yang dilakukan dapat dikomunikasikan secara baik dan bermartabat,” katanya.
Ia berharap dalam penyusunan anggaran di Dinas Pendidikan agar mengikutsertakan MKKS sehingga banyak hal dapat dibagikan, sekaligus mengurangi tensi yang membuat konflik internal yang ujung-ujungnya hanya menghabiskan tenaga.
Dia juga meminta perlunya kebijakan yang sungguh-sungguh dengan memberikan perhatian kepada pelajar Orang Asli Papua (OAP) agar ditetapkan satu atau dua sekolah, khusus pendampingan berpola asrama.
“Kebetulan dari Yayasan Amam Bekai saya diminta membuka salah satu sekolah setingkat SMA di Nasai, sekolah tersebut hanya dikhususkan bagi anak-anak Papua,” ujarnya.
Ditambahkan, dengan pendidikan berpola asrama, anak-anak OAP lebih berkualitas ketika melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. (*)
Editor: Syofiardi